Part 3

2383 Words
Waktu sepertinya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, setibanya aku di sekolah yang tak cukup jauh jaraknya dari rumah, ternyata aku lupa menanyakan kelas ke Bobi, temanku. Entah kenapa ini secara kebetulan atau memang sudah ditakdirkan aku kembali sekelas dengan si Bobi itu. Bobi adalah sahabatku, ia akan menjadi teman sekelasku lagi di kelas dua. Itu kata dia pada saat aku mengobrol dengannya via telepon tiga hari yang lalu untuk menanyakan soal adanya rolling kelas di sekolah. "Eh, Reinhard! Sudah dapat kelasnya belum?" Tiba-tiba saja Bobi muncul dari arah belakang seraya menepuk pundakku dengan sedikit keras. "Eh Bobi, ini aku lagi cari kamu,” jawabku. “Bagaimana caranya aku tahu? Informasi kita sekelas saja kamu yang ngasih tahu," tambahku. "Oh, iya yah, lupa! Ha ha,” kekehnya. “Ya sudah. Ayo kita langsung ke kelas, katanya hanya ada aku, kamu dan Dianra yang kembali sekelas, loh," lanjutnya sembari merangkul pundakku. "Tunggu sebentar, Bob." Aku lalu melepaskan tangannya dari pundakku. "Dianra? Kok bisa? Harusnyakan dia ada di kelas yang lebih baik dari kita," lanjutku. Bagaimana aku tidak terkejut, Dianra adalah siswi yang sekelas denganku di kelas satu, yang sangat populer dengan kecerdasannya di atas rata-rata. Akan tetapi, aku tidak begitu akrab dengannya. Bahkan dalam seminggu, hanya 2 atau 3 kali saja aku berbincang dengan Dianra, itu pun cuman untuk menanyakan beberapa tugas sekolah saja. Aku dan Dianra di kelas boleh dikatakan musuh dalam pelajaran, mungkin hanya aku yang berpikir seperti itu. Sesekali aku ingin mengelabuinya, selalu saja aku tertinggal beberapa step di bawahnya. Dia sangat rakus dengan masalah pelajaran yang terkadang membuatku iri ingin merebut nilai plus-nya dari guru-guru. "Iya, Dianra. Kenapa? Justru kamu bangga sekelas dengannya. Sudah cerdas, cantik lagi," khayal Bobi. "Iya , Bob, tapi ...." "Tapi apa?" Bobi langsung saja memotong pembicaraanku sebelum aku menjelaskan semuanya. "Oh aku tahu, pasti kamu takut tersaingi lagi darinya, kan?” tanyan Bobi seperti menghardik aku. “Secara, dulu kamu berusaha menjadi ranking di kelas, tapi Dianra selalu saja menghalangimu. Reinhard, sadarlah! Dia itu kecerdasannya di atas rata-rata anak pada umumnya. Jadi gak usah merasa tersaingi. Lagian, dia itu tidak ada apa-apanya ketimbang kamu yang sudah beberapa kali mewakili sekolah di berbagai event tingkat provinsi! Jadi–" Bicaranya yang seakan ingin memuji-muji diriku, langsung saja aku potong. “Iya, iya! Sudah cukup. Ayo kita ke kelas," ajakku. Itulah Bobi, sahabatku. Dia berbicara seakan tanpa menggunakan tanda jeda dan semakin melebih-lebihkan saja. Sebelum ia berbicara hingga berbusa dan membanjiri wajahku dengan percikan air yang keluar dari mulutnya, aku langsung saja menarik tangannya menuju kelas sambil menendang bokongnya itu. *** Setibanya aku di kelas bersama Bobi, sebelum memasuki ruangan, aku menengok ke atas pintu dan menerawang papan nama kelas yang bertuliskan “2 IPA D”. Pantas saja aku sekelas dengan Dianra, soalnya kelas ini termasuk yang sangat diperhitungkan dari guru. Lebih tepatnya kelas terbaik setelah "2 IPA B". Segera aku masuk dan mencari bangku kosong bersama dengan Bobi, dan ternyata bangku kosong itu berada paling depan sebelah kanan ujung yang berhadapan langsung dengan meja guru. Sekejap aku saling menatap dengan Bobi dan melihat sekeliling, semua bangku sudah terisi penuh oleh anak-anak yang lain. Jadi tanpa berpikir panjang, akhirnya kami ke depan dan duduk di bangku kosong tersebut dengan keadaan terpaksa. Kembali aku mengulang kebiasaanku di dalam kelas seperti dulu, sebelum guru mengabsen nama setiap muridnya satu per satu, aku selalu melihat dan menoleh sekeliling untuk melihat situasi. Dan kali ini aku menoleh untuk mengetahui lebih jelas wajah-wajah baru dari teman kelas baruku. Dan ketika nomor absen sudah berada di deretan huruf D, namanya kemuDianra disebut. "Dianra Pertiwi Abdullah.” Ibu guru menyebut nama itu dari arah depan. Ternyata bangku di sebelah kiriku diisi olehnya, Dianra si Abnormal. Seketika saja wajahku berubah heran, dia yang dari tadi duduk berdekatan di sampingku, tanpa sedikit pun ia mengajakku berbincang atau menegur sapa. Seperti layaknya orang yang baru pertama kali bertemu dan tidak saling mengenal satu sama lain. Terpikir sejenak dibenakku, haruskah aku menegurnya? Atau menyapanya? Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi sebelum dia yang pertama kali menegur sapa. Untuk apa juga aku menegurnya jika tidak ada sesuatu hal yang penting. Aku harap kalian juga sependapat denganku. "Ingat Reinhard! Dia akan menjadi sainganmu kembali di kelas ini. Jadi dia adalah musuhmu dalam setiap mata pelajaran. Ayo Reinhard! Jangan biarkan ranking di semester ini jatuh kepadanya, bagaimana pun caranya, kamu harus bisa!" batinku bak menyemangati diriku sendiri. Dianra Pertiwi Abdullah. Anak dari Tuan Abdullah, yang biasa aku sapa Pak Abdul saat sesekali bertatap muka di jalan raya dengannya. Lebih tepatnya, pertama kali aku mengenal beliau saat aku masih SMP. Waktu itu aku sering pergi bermain sepeda di kompleks perumahan si Bobi, kalau tidak salah nama perumahannya adalah Beringin Permai. Dan saat itu, aku belum mengenal Dianra. Sebenarnya, ayah Dianra adalah orang yang sangat tegas tetapi ramah ke siapa saja. Itu kata Bobi setelah aku membuat perkara dengan menabrak kaca spion mobil milik Pak Abdul. Itu sebenarnya bukan kesalahan aku, malainkan salah sepedaku yang rem tangannya tiba-tiba tidak berfungsi saat itu. Singkat cerita, awalnya aku tidak ingin mengaku dan meminta maaf tetapi karena dipaksa oleh Bobi,  akhirnya aku memberanikan diri. Aku rasa itu harus. Bagaimana pun, aku sudah berbuat salah, dan aku harus mempertanggung jawabkan kesalahanku itu. Aku mendatangi rumah Pak Abdul dengan rasa was-was, karena takut akan kena marah oleh beliau. “Assalamualaikum,” kataku sambil mengetuk pintu rumah Pak Abdul. Belum beberapa menit, seorang laki-laki separuh baya keluar membuka pintu. Dan itu adalah Pak Abdul. “Waalaikumsalam,” dijawabnya tegas. “Permisi, Pak,” kataku sambil menyalim tangannya yang diikuti oleh Bobi. “Bapak yang punya mobil itu yah?” tanyaku kembali sembari menunjuk mobil tersebut yang terparkir di depan rumahnya. “Iya, kenapa?” jawabnya dengan lantang, lalu kemuDianra ia melihat Bobi yang berdiri tepat di sampingku. “Ada apa Bob? Tumben kau jalan-jalan ke rumah Om. Mana ayahmu?” “He he, enggak papa, Om. Ayah? Ada kok di rumah, lagi sama Mama. Kebetulan libur kantor jadi di rumah saja sih Om,” jawab Bobi yang kulihat ada sedikit rasa grogi. Kutebak, ayah Bobi dengan Pak Abdul mungkin cukup akrab. Meski satu kompleks, tapi tetap saja harus melewati satu belokan lagi untuk bisa aku bilang tetangga dekat. “A–aku ke sini mau minta maaf, Om.” sambarku dengan terbata-bata. “Minta maaf? Oh, ini siapa yah? Baru liat,” tanyanya kembali dengan lantang dan suara yang lumayan keras. “Saya Reinhard, Om. Teman kelasnya Bobi,” jawabku dengan melirik Bobi. Sekali lagi, saat itu kami masih SMP. Jadi belum begitu tahu bagaimana bersikap tenang menghadapi orang yang lebih dewasa. “Terus, mau minta maaf apa?” Pak Abdul kembali bertanya dengan ekspresi heran. Kedua alisnya mengernyit. Aku tidak bisa lagi berkutip pada saat itu, air keringat dingin tak bisa lagi terbendung bercucuran mengeReinhardok sekitar wajahku. Seketika aku terpaku diam dan sulit mengeluarkan kata-kata. Dengan sergap, Bobi langsung angkat bicara dan mengatakan apa yang harus ia katakan yang intinya sesuai dengan rangkaian peristiwa saat aku menabrak kaca spion tersebut. Setelah Bobi selesai menjelaskan semuanya, yang bisa kulakukan hanya tertunduk untuk mewakili rasa bersalahku di hari itu. Pak Abdul kemuDianra berjalan menuju depan rumah, di mana ia memarkirkan mobilnya. KemuDianra ia lihat kaca spionnya sudah berserakan di tanah, hanya meyisakan penutupnya saja. “Siapa tadi namamu, Nak?” tanya Pak Abdul dengan lantang kembali. “Ro ... Reinhard, Om,” jawabku seperti orang gagap. “Kau tinggal di mana?” “Di kompleks perumahan sebrang, Om. Perumahan Anggrek.” “Mana ayah dan ibu kau?” tanya dia kembali seperti ingin menghardikku. “Di rumah, Om,” jawabku dengan sedikit rasa takut. Sepertinya ia akan mengadukan hal ini pada orangtuaku. Saat itu, ayahku masih bisa dikatakan belum pergi dari rumah. Masih bersama kami. “Tahu nomor telepon rumah?” Lagi-lagi dia bertanya yang semakin membuat aku takut dan menerka jika ia ingin mengadukan ini pada orangtuaku. Aku jawab tidak tahu, karena saat itu aku memang tidak tahu sama sekali nomor telepon rumah. “Om, tolong jangan adukan ini ke ibu dan ayahku. Aku benar-benar minta maaf. Reinhard tidak sengaja Om.” Aku merengek, dan kau tahulah perilaku anak SMP yang masih bisa dikatakan belum cukup usia untuk menghadapi masalah kala itu. “Baiklah! Kalau begitu biar kau sendiri katakan ini pada orang tuamu. Bilang, terima kasih dari Pak Abdul.” “Maksudnya, Om?” Kini aku yang berbalik tanya padanya. Aku heran. “Iya! Karena  sudah membesarkan anak yang jujur seperti kau. Jarang anak seusiamu sekarang mau meminta maaf pada orang yang lebih tua, mereka cenderung lari dari kesalahannya,” jawab Pak Abdul seperti sedang menasihati aku. Kutengok Bobi, dia juga ikut menyimak. Saat itu aku menduga Pak Abdul akan memarahiku, lalu mengadu pada Ibu dan ayahku. Ternyata aku salah menduga. Justru dia memaafkanku sekaligus tidak harus menyuruhku untuk mengganti rugi apa yang telah aku perbuat. Dan saat itu aku juga belum bisa apa-apa selain meminta maaf, mau dapat uang dari mana coba. Sedangkan statusku masih anak ingusan yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Betul kata Bobi, dia sebenarnya ramah meski terlihat sangar. Namun orang-orang termasuk aku terkadang gugup jika berhadapan dengan Pak Abdul. Itu dikarenakan suaranya yang sangat lantang ketika berbicara dengannya. Mungkin, saat itu beliau lahir dengan nuansa yang tegas saat masa penjajahan Belanda dulu. Suatu kehormatan bisa mengenal Pak Abdul. Hingga suatu hari, saat aku sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Aku melihat beliau masuk ke kelasku saat penerimaan rapor semester satu. Di situlah awal aku mengetahui bahwa Pak Abdul adalah ayah dari Dianra. Aneh, aku mengenal Pak Abdul begitu baik. Sedangkan anaknya yang merupakan teman kelasku sejak masuk SMA, susah mengajaknya untuk lebih akrab. Dia hanya terfokus pada nilai mata pelajaran saja. Cerdas, tapi tak ingin berkawan denganku itu percuma. Dianra termasuk tipikal yang sulit berbaur dengan teman sekelasnya sendiri, melainkan sering berbaur hanya pada perpustakaan dan guru saja. Mungkin, nilai baginya adalah segalanya, hingga setiap mata pelajaran harus ia seriusi. Seperti kimia. Dia adalah anak OSN kimia dan sudah sering mengikuti seleksi tingkat provinsi. Beda halnya denganku, lomba yang sering aku ikuti selalu tidak berkaitan dengan OSN melainkan bakat dan kelebihanku seperti lomba menulis puisi, cerpen, karya tulis ilmiah, debat dan juga cerdas-cermat. Bagiku dia itu beda, sungguh beda dari yang lain. Dianra menggunakan waktu seharian di sekolah untuk belajar, tetapi aku lebih cenderung untuk biasa-biasa saja. Itulah kenapa aku sebut dia si Abnormal, yang dalam sehari bisa menerima semua mata pelajaran dengan tenang dan tanpa ada beban sama sekali dalam menjawab soal-soal. Namun dia tetap saja sama sepertiku. Merupakan pelajar yang masih harus banyak belajar. *** Bel pulang sekolah pun berbunyi. Segera kukemas beberapa buku di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas, lalu kutinggalkan ruang kelas untuk menjadi hening kembali. Seperti biasanya, aku selalu pulang sekolah dengan berjalan kaki karena jarak rumahku tidak begitu jauh dari sini. Namun, sebelum pulang ke rumah aku harus terlebih dulu menjemput Rahayu dan Bayu di Taman Alun-alun Kota. Mereka pasti sedang menungguku di sana saat ini. Kini kedua adikku sudah saling berdekatan sekolah yang jaraknya hanya berbataskan dua deretan rumah saja. Bayu telah duduk di bangku kelas enam SD. Sedangkan Rahayu, setelah tamat dari salah satu pondok pesantren putri yang ada di dalam kota, ibu memasukkannya ke SMA swasta khusus putri.                 Setibanya aku di taman kota, kulihat keduanya sedang asyik bercanda gurau di bawah pepohonan yang rindang. Tawa mereka yang begitu mencolok seakan tertusuk di batinku. Mereka seperti merasakan kebahagiaan kecil meski suatu masalah besar telah menimpa hidup mereka.                 Menurutku, kepergian Ayah merupakan satu-satunya masalah terbesar dalam hidupku, tentu juga dalam hidup keluargaku. Mungkin Rahayu sudah mulai memahami semua ini, akan tetapi dia enggan memperlihatkan kesedihannya padaku dan Ibu, terlebih pada Bayu. Tetapi Bayu sama sekali belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika dipikir-pikir, lebih baik masalah besar ini tetap dirahasiakan dari Bayu, agar kekecewaan dalam hatinya tidak berdampak buruk bagi masa depannya kelak. "Bayu, Rahayu! Cukup mainnya. Ayo pulang! Sebelum Ibu tiba lebih awal di rumah," pekikku memanggil mereka berdua dari arah Halte Bus. Aku seperti mengusik kebahagiaan kecil mereka, tapi jika kami tidak tiba di rumah lebih awal sebelum Ibu pulang, pasti beliau akan sangat khawatir.                 Dan akhirnya kami pun berjalan sambil beriringan, Bayu memegang tangan kiriku sedangkan Rahayu berjalan tanpa memegang tangan Bayu seperti biasa.                 Kami berjalan begitu pelan dan entah kenapa ada yang berbeda dengan Rahayu hari ini, sekilas tampak ada kemurungan di raut wajahnya. Begitu kusut, seperti ada sesuatu yang mengganjal yang ia pendam di hatinya saat ini.                 “Rahayu, ada apa?” kutanya dia dengan masih terus melangkah pelan.                 Dia terkaget dari lamunnya. Matanya yang tadi memandang kosong, sontak tersadar. “Ah, tidak ada apa-apa, Kak,” dijawabnya.                 Tidak ada apa-apa berarti ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Apa yang Rahayu pikirkan kira-kira? Dan sebagai seorang kakak, aku harus menanyakan hal ini padanya selepas tiba di rumah. ***                 Setibanya aku di rumah dengan wajah yang begitu letih, aku merasa tenggorokanku begitu kering seperti dehidrasi. Lalu aku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih untuk aku minum. Seperti biasa, aku dan adik-adikku tiba di rumah lebih awal dari Ibu. Kesibukannya di kantor begitu padat, bahkan dia kadang lembur hingga tengah malam. Rahayu dan Bayu sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Aku ingin ke kamarnya Rahayu untuk menanyakan soal yang tadi, tapi kuurungkan niatku itu. Rahayu butuh istirahat, dan soal ini, biar nanti malam saja aku menanyakannya. Aku langsung ke atas menuju kamar dengan perasaan yang penat. Kubuka pintu lalu kulempar tas ke arah meja belajar, dan segera kurebahkan badanku di atas tempat tidur. Dalam beberapa menit aku tertidur pulas dengan masih mengenakan seragam sekolah, dan pada saat aku bangun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Astaga! Sudah pukul tujut malam? Baru juga rebahan," ucapku kaget seraya melihat jam weeker yang ada di atas meja. Dan mata ini masih setengah sadar. Setelah aku membersihkan badan yang berlumuran keringat dan mengganti pakaian, aku kembali mengingat semua kejaDianra yang terjadi di hari ini.                 Ada beberapa yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kelas baru, teman baru, suasana baru, dan bahkan guru yang sudah lama mengajar di sekolah seperti terasa asing bagiku. Namun entah kenapa perasaan dan suasana hatiku masih saja sama seperti kemarin. Tidak ada yang berubah. Aku masih saja terbayang oleh ayahku. Begitu melekat sakitnya atas apa yang ia perbuat terhadap aku, Ibu dan adik-adikku di masa itu.                 Sewaktu aku ingin menghibur diriku sendiri, selalu saja ada yang mengganjal di hati. Bahagia ini kadang menghampiri dan sekonyong-konyong pergi, lalu memainkan temali kesedihanku kembali. Mungkin bagimu tidak, tapi apa yang aku rasakan justru menjadi beban hidup bagiku.                 Seberat apa pun hari yang akan aku hadapi esok, sedih atau bahagia. Itu akan tetap sama saja dari hari-hari sebelumnya. Memang tak terlihat oleh kalian, tapi aku merasakannya. Apa yang sudah pergi menghilang tanpa jejak, tidak mungkin semudah itu bisa kita terima begitu saja. Semua perlu waktu untuk benar-benar lupa.                 Jika dibolehkan, hari ini akan aku sebut hari yang baru untuk mengulang hari-hari yang telah berlalu. Bukan aktivitasnya, melainkan rasa sakit yang masih sangat membekas di hati. Yang menamparku kembali terjatuh di lubang penuh penyesalan karena sempat menjadi anakmu, Ayah. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD