Part 4

2141 Words
Pip pip pip Terdengar suara klakson mobil dari arah depan rumah, dan itu pasti Ibu. Aku segera ke bawah dan langsung menemuinya, lalu setelah itu aku akan menemui Rahayu untuk menanyakan apa yang terjadi dengannya hari ini. "Ehh Ibu, sudah pulang?" kataku pada Ibu yang baru saja tiba sambil menuruni anak tangga. "Baru saja. Oh, yah, mana adikmu? Apa mereka sudah pada tidur?" tanyanya sambil berjalan menuju ruang keluarga. "Bayu, paling ada di kamarnya sedang main PS. Kalau Rahayu, mungkin sudah tidur, Bu," jawabku. "Oh, yah, bagaimana kerjaan Ibu di kantor?" lanjutku bertanya pada Ibu untuk memastikan apakah ia sudah melupakan kejaDianra di pagi hari tadi. "Semuanya baik-baik saja, hanya ada beberapa masalah kecil dengan Bos Ibu. Kenapa kamu menanyakan hal itu? Tidak seperti biasanya," jawab Ibu heran. Lagi-lagi dia mencurigaiku. "He he, tidak Ibu. Cuman ingin tahu saja. Barangkali Bos Ibu baper sama Ibu, " candaku seraya tertawa kecil. Ibu berbalik ke arahku, sambil tersenyum. “Ada-ada saja kamu, Reinhard.” Ah! Kamu harus liat senyum ibuku tadi, itu sangat manis. Suatu hal kecil yang selalu aku rindukan. "Ke kamar Rahayu dulu yah, Bu. Ada sesuatu yang ingin aku ambil." “Iya.” Aku meninggalkan Ibu sendiri di ruang keluarga menuju kamar Rahayu. Aku tidak akan berlama-lama mengobrol dengannya sebelum ia teringat akan masalah pagi tadi, lalu kemuDianra menceramahiku kembali. Aku tidak ingin membuatnya merasa terbebani akan masalah yang menurutku sudah tidak perlu lagi untuk diungkit-ungkit. Sekarang aku sudah jarang mengobrol begitu banyak hal dengan Ibu, tidak seperti dulu lagi. Entah kenapa, tapi begitulah adanya. Mungkin bisa jadi, bila satu saja teguran yang aku dapat darinya, itu akan membuatku tidak merasa baik dan akan emosi sesaat. Batinku membara, pikiranku menjadi tidak terkendali dan berbagai perkataan buruk akan terlontar kasar dari mulutku. Atau mungkin saja karena aku yang belum bisa menerima keadaan yang sebenarnya. Jika kalian ada di posisiku, kalian akan melakukan hal yang sama, mungkin. Semuanya penuh kemungkinan. Tok tok tok "Rahayu!” sapaku. “Buka pintunya, Kakak ada perlu," tambahku seraya menggoyang-goyangkan gagang pintu. "Sebentar, Kak Reinhard." Rahayu pun membuka pintu kamarnya dan kulihat kedua matanya sembap dan tampak sedikit memerah, seakan baru saja menitikkan air mata. Aku masuk ke kamarnya sembari menutup pintu dengan rapat, lalu kupandang Rahayu yang terdiam tanpa menyambutku dengan kata-kata. Aku semakin khawatir ada apa dengannya. Aku sudah di dalam kamarnya, dan ia tidak ingin angkat bicara atau pun memperlihatkan wajahnya padaku. Aku tahu Rahayu, ia tidak akan menceritakan masalahnya padaku dengan begitu saja tanpa aku pancing dia. "Hei, ada apa denganmu? Sepertinya habis nangis, yah, Yu?" Tanpa berpikir panjang aku langsung saja melontarkan pertanyaan padanya. "Ah, tidak kenapa kenapa Kak," jawabnya sambil mengusap kedua pipinya. "Rahayu! Jangan bohong sama aku. Kak Reinhard tahu, kamu pasti ada masalah kan?” tanyaku. “Di jalan pulang tadi, aku tidak sengaja melihat raut wajahmu, dan itu agak berbeda dari sebelumnya. Seperti ada yang kamu sembunyikan dari Kakak!" jelasku kemuDianra. "Sebenarnya, Kak ..." Lalu ia berdiri mengambil tasnya. KemuDianra Rahayu memberikan selembar surat padaku yang ia ambil dari dalam tas hitam polos miliknya itu. "Apa ini, Ayu?" tanyaku kembali sambil membuka surat tersebut. "Tadi, sewaktu jam istirahat, wali kelasku memberikan kami surat itu satu per satu,” kata Rahayu sembari menatap kilas surat yang ada di tanganku. “Katanya akan ada rapat orangtua murid pada jam istirahat selasa depan, Kak.” “Terus?” “Iya, lalu Ayu ke ruang guru dan memberitahukan pada Bu Amel kalau Ibu tidak bisa hadir karena kesibukannya di kantor. Tapi dia tidak mengerti hal itu, Kak! Dia hanya bersih tegas bahwa salah satu orangtua kita harus datang. Paling tidak ada yang mewakiliku, karena rapat ini sangat penting katanya." Rahayu menjelaskan itu semua hingga air matanya menetes kembali dan akhirnya aku pun terbawa suasana. Aku mencoba menenangkan Rahayu dan berpikir untuk mencari solusi terbaik. "Hey, hey, Rahayu! Dengarkan, Kakak," pintaku sambil memegang kedua pundaknya. "Nanti aku coba bicara dengan Ibu, dan akan kuperlihatkan surat ini padanya. Pasti Ibu mengerti dan akan aku bujuk Ibu untuk menghadiri rapat orangtua di sekolahmu." "Jangan Kak, kumohon jangan!" seru Rahayu seraya menatapku dan memohon untuk tidak mengatakan hal ini pada Ibu. “Loh, kenapa?” kutanya heran. “Jangan, Kak Reinhard.” “Kenapa jangan?” "Sudah cukup, Kak. Aku tidak ingin kembali menyusahkan Ibu. Apalagi hanya masalah rapat di sekolahku. Aku tidak mau mengganggu pekerjaan kantor Ibu, Kak!” Disekanya air matanya. “Aku akan coba bicara pada wali kelasku lagi besok, akan kubuat dia untuk mengerti." Sebenarnya, aku juga tidak ingin ibuku yang pergi untuk menghadiri rapat ini, karena aku tahu kesibukan Ibu di kantornya pasti sangatlah padat. Dan percuma juga aku memberi tahunya, ia pasti akan balik menyuruhku atau menyuruh pamanku. Tanpa berpikir panjang aku mengatakan pada Rahayu bahwa aku yang akan menghadiri rapat tersebut di sekolahnya. Itu menjadi solusi pertama sekaligus terakhir yang sempat aku pikirkan, tidak ada jalan lain menurutku. Sebenarnya sih, aku bisa saja menyuruh paman atau bibi, adiknya Ibu. Rumahnya tidak begitu jauh dari kompleks perumahanku. Namun ketika aku mengatakan hal ini pada mereka, itu tidak akan berguna, karena akarnya pun akan kembali bertanya padaku, kenapa bukan ibumu saja yang menghadiri rapat orangtua di sekolah Rahayu. Sudahlah, itu hanya membuang waktu saja, ya kan? Dan setelah aku mengatakan pada Rahayu bahwa aku yang akan menghadiri rapat di sekolahnya, pertama ia menimbang, tapi kemuDianra ia setuju dengan itu. Aku beranjak meninggalkan kamar Rahayu dan menyuruhnya untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini. Semua akan baik-baik saja tanpa Ibu yang menghadiri rapat, atau pun tanpa Ayah yang menjadi penyelamat. Selagi Rahayu berbagi kesedihannya padaku, aku pastikan semuanya akan teratasi dengan “baik-baik saja”. Aku tidak bisa melihat Rahayu menangis hanya karena masalah kehadiran orangtua. Walaupun ayahku tidak ada, aku akan coba menggantikan posisinya. Oleh karena itu, aku harus terus memastikan Rahayu dan Bayu baik-baik saja. Memang sulit, tapi inilah kenyataannya yang harus aku terima dengan lapang. Bicara tentang seorang perempuan. Dalam keluarga kecilku, aku memiliki dua wanita yang harus aku pastikan untuk tetap “baik-baik saja”. Pertama ibuku, lalu Rahayu. Apa pun masalah mereka maka aku akan tetap mencoba menjadi penawarnya. Aku kakaknya, aku anak pertamanya, dan ini sudah kewajibanku. Aku tahu, bagi seorang istri tanpa suami adalah ketegaran yang harus dihadapi oleh ibuku, dan bagi seorang putri tanpa ayah adalah kesedihan yang harus Rahayu tanggung seumur hidup. Akan tetapi selagi aku masih ada untuk mereka, maka tak akan kubiarkan air mata mereka jatuh percuma membasahi bumi hanya untuk seorang pecundang seperti ayahku. Sekalipun aku tetap berharap lebih, bahwa suatu hari nanti ayahku akan kembali ke kehidupan kami seperti sediakala. *** Hari yang ditunggu-tunggu oleh Rahayu akhirnya tiba, begitu pun aku. Pada jam istirahat pertama, aku harus segera menemui Rahayu di gerbang sekolahnya untuk menghadiri rapat orangtua tersebut. Dan saat bel istirahat berbunyi, aku segera menuju meja piket untuk meminta izin terlebih dulu pada guru yang bertugas di meja izin. Lalu kemuDianra aku berlari menuju sekolah Rahayu. Sekolahku dengan sekolahnya tidak memerlukan angkutan umum atau pun ojek untuk itu, dengan berjalan atau berlari aku bisa tiba di sekolah Rahayu dalam beberapa menit saja. Tidak begitu jauh, tapi tidak begitu dekat, hanya melewati beberapa simpang saja. Tampak dari arah yang tak begitu jauh, aku melihat Rahayu sudah menunggu kehadiranku di depan pintu gerbang sekolahnya. Lalu aku lebih terbirit-b***t lagi menuju Rahayu. "Huh," dengusku dengan sedikit terengah-engah. "Rahayu, apa rapatnya sudah dimulai?" tanyaku. "Baru saja mau dimulai, Kak. Semua yang hadir di rapat ini adalah orangtua. Dan hanya aku sendiri yang orangtuanya tidak hadir, apa Kak Reinhard tidak merasa canggung nanti?" gerutu Rahayu dengan memasang wajah cemasnya. "Enggak apa-apa, Yu! Memang kenapa kalau Kakak masih anak-anak? Setidaknya ada yang datang untuk mewakilimu. Bukankah begitu kata wali kelasmu?" "Tapi, Kak–” "Tenanglah Rahayu, ada Kakak! Jangan terlalu khawatir seperti ini. Aku sudah ada di sini bersama kamu, ayo kita segera masuk." Lalu kutarik tangan Rahayu dan bergegas menuju ruang rapat. Aku menyuruh Rahayu untuk menunjukkan jalan ke ruang rapat tersebut. Aku sudah berada di depan ruangan. Sebelum memberanikan diriku masuk ke dalam, Rahayu berbisik padaku bahwa dia tidak bisa ikut masuk, karena hanya orangtua siswi saja yang boleh masuk. Maka dari itu, aku menyuruh Rahayu ke kelasnya saja dan menungguku di sana sampai rapatnya selesai. Lalu aku berjalan perlahan memasuki ruangan. Dengan sedikit rasa cemas, aku mencoba untuk memberanikan diri meski puluhan orangtua siswi menatapku dengan tercengang-cengang. Aku duduk di bangku paling belakang, sebab tinggal bangku itu saja yang belum terisi. Aku duduk di antara seorang bapak yang mengenakan batik dan wanita separuh baya. Mereka berdua terus saja menatapku dan salah satu dari mereka mengajukan pertanyaan padaku. "Nak, apa kamu orangtua dari salah satu siswi di sini?" tanya Bapak itu sedikit heran, lalu dengan spontan aku menjawab, "Tentu saja tidak, Pak! Apa Bapak tidak melihat saya memakai seragam sekolah? Aku ke sini hanya mewakili adikku, Rahayu.” "Memang ke mana orangtuamu?” tanya Bapak itu lagi setelah menerawang. “Ini kan Rapat penting, Nak. Harus mereka yang menghadiri, bukan anak-anak sepertimu." Aku terdiam kemuDianra oleh karena bingung harus jawab apa. Aku berpikir sejenak apa yang harus aku katakan. Dan hal yang mustahil jika aku mengatakan bahwa ayahku sudah meninggalkanku dan ibuku tidak tahu menahu tentang pertemuan ini. Aku rasa, sama halnya akan membuat malu Rahayu ke orangtua temannya jika mengatakan yang sebenarnya. "Mereka berdua sedang lagi di luar kota, Pak. Jadi aku yang mewakili adikku," jawabku sedikit berdusta. “Tapi mereka tahu, kan?” tanya Bapak itu lagi. Ada apa dengan bapak –bapak ini, antusiasnya tinggi sekali untuk mengajukan pertanyaan padaku. “Iya, Pak. Mereka tahu.” Itu terpaksa aku lakukan untuk mencegah pertanyaan-pertanyaan aneh dari bapak itu. Aku tidak suka ditanya-tanya dari orang yang belum kukenal sebelumnya, apalagi bertanya soal ke mana orang tuaku pergi, kenapa bukan mereka yang hadir. Aku tidak acuh dengan semua pertanyaan itu dan jika kau di posisiku, maka kau akan melakukan hal yang sama. Mungkin. Jelang beberapa menit, akhirnya rapat berada di puncak pembahasan. Dan orangtua siswi diharuskan hadir pada pertemuan ini untuk membahas mengenai adanya rencana pembangunan beberapa ruang praktik baru, dan itu membutuhkan partisipasi dari orangtua siswi dalam keikut sertaanya sebagai donatur. Mendengar pemberitahuan itu, sepertinya aku harus berbicara dengan ibuku. Sebab hal ini memang benar-benar penting dan aku rasa jika soal biaya pembangunan sekolah, Ibu pasti tidak akan menolaknya. Setelah sejam berlalu dan pertemuan pun selesai. Aku kemuDianra menuju kelas Rahayu untuk memberitahukan hal ini, lalu kembali ke sekolahku setelahnya. Di kelas, Rahayu sedang menungguku di depan pintu. Dia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai rapat tadi dan aku pun mencoba menjawab semuanya, tetapi dengan tidak mengatakan hal yang terjadi pada saat di dalam ruang rapat tadi ketika ada seorang bapak yang mengajukan beberapa pertanyaan padaku. Aku tidak mau jika Rahayu sampai tahu dan kembali menyalahkan dirinya sendiri atas hal tersebut. "Ya, sudah. Kak Reinhard balik ke sekolah dulu. Jam izinku sudah mau habis,” ucapku sambil berjalan kecil dengannya menuju gerbang. “Iya, Kak.”  “Oh iya, nanti kalau pulang jangan lupa kamu jemput Bayu di sekolahnya, dan kalian berdua duluan saja balik ke rumah. Soalnya aku masih ada rapat organisasi." "Siap, Kak Reinhard. Terima kasih sebelumnya Kak, sudah mau datang untuk menghadiri rapat tadi." Dengan senyum aku membalas ucapan terima kasih Rahayu. “Seandainya ada Ayah ... aku pasti tidak akan ngerepotin, Kak Reinhard,” ucap lagi Rahayu dengan wajah yang murung setelah kami berada tepat di depan gerbang sekolah. “Rahayu! Jangan merasa tidak enakan seperti itu,” ucapku, “aku ini kakakmu. Meski aku bukan ayahmu, tapi aku berusaha untuk menggantikan posisi Ayah.” “Iya, Kak.” Rahayu menitikkan air mata kemuDianra. “Rahayu rindu Ayah, Kak!” “Iya, Rahayu. Aku tahu itu. Dan kita semua mesti rindu dengan Ayah,” kujawab dengan tidak terlalu menunjukkan kesedihanku pada Rahayu. Aku berusaha untuk tetap tegar di hadapannya meskipun hati ini sedang rapuh. “Mungkin ayah kita sudah pergi sejak lama, tapi bukan berarti kenangan kita harus pergi juga bersama dengan Ayah, Yu! Aku tahu, Rahayu orang yang tegar. Kuat seperti Ibu,” jelasku lagi. Lalu ia tersenyum sembari menyeka air matanya itu. “Sekali lagi, terima kasih, Kak.” “Iya, Yu. Ya sudah, kakak pergi dulu.” … Aku meninggalkan Rahayu di gerbang sekolahnya seorang diri dan menuju ke sekolahku. Di jalan, aku kembali memikirkan Rahayu. Akhirnya aku bisa sedikit lebih bertanggung jawab padanya sebagai seorang kakak, untuk menggantikan posisi ayahku. Aku tahu, ketika Rahayu melihat orangtua teman-temannya datang menghadiri rapat tadi, sementara dia hanya dihadiri oleh kakaknya saja. Pasti terbesit rasa piluh dan kesedihan menyelimuti hatinya saat ini. Kendati Rahayu merindukan sang ayah, tetap saja ia menaruh rasa kecewa. *** Sekarang aku berada di kelasku. Seperti biasa, aku duduk di pelantaranku seorang diri menunggu pelajaran berikutnya. Aku ambil salah satu buku dari dalam laci, buku itu memang khusus untuk kumpulan puisi karanganku sendiri. Aku suka menulis, bahkan menulis sajak-sajak puisi. Bagiku, itu cara tersendiri untuk mengekspresikan sebagian kesedihanku, bahagia juga jika ada. Meluangkan waktu dengan bermain di nalarku sendiri, seperti beradu pendapat dengan mata melalui otak dan juga batin. Kuambil pena dan kubuka lembaran yang masih kosong di dalam buku tersebut. KemuDianra tangan kasarku mulai merangkai kata demi kata menjadi sebait sajak beruntun.     KAU LIHAT NANTI, AYAH Ayah! Kini kepercayaan anakmu sedikit demi sedikit akan mulai memudar Entah esok atau lusa Ketika suatu masa, terjadi suatu masalah lagi, maka kami akan tetap menyalahkanmu untuk segala hal. Kau lihat nanti, Ayah.   AYU, RAHAYU-KU. Ayu, jangan sedih Ada kak Reinhard Rahayu, jangan nangis Kan, ada kak Reinhard Ayu, Rahayu-ku Izinkan aku hapus air matamu Rahayu… Kau tak pantas menangis, karena kau terlihat manis, ketika terseyum tipis.       BERSAMA SEPIKU, DI KELAS Aku di kelas. Sepi rasanya… Rangga bilang, pecahkan saja gelasnya biar ramai. Tapi di kelasku tidak ada gelas. Aku bilang, mainkan saja papan tulis dengan spidol. Lalu, biarkan gurumu memarahimu. Aku rasa, setelah itu akan ramai. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD