Chapter 2

1298 Words
Davika duduk di balkon kamarnya tengah sibuk mencoret di buku gambarnya. Sesekali dia menatap ke depan, melihat hamparan taman asri belakang rumahnya lalu kembali fokus pada buku gambarnya. Di sampingnya tergeletak gitar berwarna cokelat terang. Pensil di tangannya bergerak lincah di atas kertas gambar. Matanya yang berwarna coklat gelap menari-nari mengikuti gerakan pensil. Sesekali tangan kirinya terangkat untuk menyelipkan rambut hitam panjangnya yang terurai. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat buku gambarnya dan menatap hasil gambarnya dengan senyum puas terpatri di bibir mungilnya. Davika berdiri membawa buku gambarnya masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa biru muda. Dia meletakkan buku gambarnya itu di atas meja yang di penuhi tumpukan buku pelajaran dan beberapa buku gambar yang sudah penuh dengan hasil coretan tangannya. Kakinya melangkah, menuju tempat tidurnya yang masih agak berantakan. Tangannya baru saja ingin melipat selimut tebalnya ketika panggilan seseorang dari bawah terdengar. “Davika, ayo turun sayang!” Gadis itu menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, “sebentar, Papa!” Davika Amoreiza, nama lengkapnya. Usianya telah menginjak 17 tahun bulan lalu dan dia telah menghabiskan banyak waktu hanya di rumah. Fobia sosial yang dideritanya membuatnya menutup diri dari keramaian. Berada dalam keramaian membuatnya cemas, takut dan teringat kembali dengan kejadian memalukan sekaligus menjengkelkan itu. Davika tak mau mengingatnya lagi. Hingga dia akhirnya memutuskan menghindar dari bentuk keramaian apapun itu. Gadis itu buru-buru melipat selimutnya, mengganti pakaian tidurnya dengan baju kaos biru polos dan celana jeans selutut. Davika tak tahu apa yang membuat papanya memanggilnya turun, tapi setidaknya dia sudah membasuh muka dan menggosok gigi habis sarapan tadi. Dia segera keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Gadis berambut hitam panjang itu menghampiri papanya yang duduk di sofa ruang tamu. “Ada apa, Pa?” Riko, papa Davika menoleh lalu tersenyum dan menepuk sofa di sampingnya, menyuruh putrinya duduk. “Ayo, sini.” Davika menurut. Dia duduk lalu mengedarkan pandangannya pada seisi rumah yang sepi. “Mama mana, Pa?” “Biasa, lagi keluar kumpul sama teman-teman arisannya.” “Terus, Papa kenapa panggil aku? Hari ini bukannya hari Sabtu? Aku tidak belajar, ‘kan?” “Tidak, Sayang. Papa panggil kamu turun karena Papa mau kenalkan kamu sama anak teman Papa,” ujar Riko lembut. Davika berdiri tegak, menatap ayahnya dengan sorot takut, “tapi, Pa ....” Riko menatapnya dengan lembut lalu mengusap kepala Davika dengan sayang. “Papa tahu kamu takut. Tapi, kamu harus menghadapi ketakutan kamu itu! Jangan terus tenggelam. Kamu butuh banyak orang untuk dikenal. Jangan cuma Papa, Mama, bi Minah, pak Surya dan Kasya.” Riko menjeda sesaat perkataannya, “kami semua belum tentunya selamanya berada di dekatmu, Sayang. Jadi, Papa mau kamu terbiasa mengenal banyak orang. Oke?” Davika menunduk, “aku takut, Pa.” “Putri Papa pemberani, kamu pasti bisa! Coba ingat-ingat, waktu pertama kenal Kasya. Kamu juga begini, ‘kan? Tapi lama-lama kamu akrab sama dia. Papa yakin, kamu juga akan akrab sama anak teman Papa yang satu ini,” ucap Riko berusaha meyakinkan putrinya itu. Melihat raut wajah Davika yang belum juga berubah, Riko mendesah pelan, “Davika, mengenal banyak orang itu bukan hal yang menakutkan, kok.” “Tapi, Pa, aku dulu punya banyak teman dan mereka semua malah mempermalukan aku di depan banyak orang! Mereka menertawai aku!” Davika menaikkan volume suara di kalimat terakhir. Namun, dia langsung menunduk ketika sadar telah berbicara keras di depan papanya. “Aku tidak mau kenal banyak orang. Nanti mereka permalukan aku di depan banyak orang lagi. Keramaian itu mengerikan, Pa,” cicitnya kemudian. “Papa janji, kali ini kenal banyak orang dan keramaian itu tidak semengerikan yang kamu bayangkan,” janji Riko lalu menaikkan jari kelingkingnya. Davika langsung mencebikkan bibirnya, “aku bukan anak kecil lagi, Papa!” Riko tertawa lalu mengacak rambut putrinya. “Bagi Papa, kamu tetap putri kecil Papa yang suka nangis dan merajuk.” “Tapi, putri Papa ini pemberani!” “Mana ada pemberani? Baru lihat teman-teman Mama kumpul disini sudah nangis ketakutan!” ejek Riko. “Ish, Papa! Itu beda lagi!” “Iya-iya, deh! Papa mengalah.” Keduanya menoleh ke pintu ketika suara klakson mobil terdengar dari luar. Riko berdiri dan berjalan ke arah pintu sembari bergumam, “Itu dia. Dia sudah datang.” Davika mengikuti papanya berjalan ke arah pintu. Riko membuka pintu sementara Davika mengintip lewat jendela. Gadis itu berjengit kaget ketika melihat siapa yang datang. “Pa, dia laki-laki!” “Memangnya tadi Papa ada bilang kalau yang mau datang itu perempuan?” “Tapi tadi Papa tidak bilang kalau yang mau datang itu laki-laki. Aku tidak mau berteman sama laki-laki, Pa!” Mata Davika melotot panik. “Memang kenapa, Sayang? “Pa, dulu awal kenal Kasya aja aku lama baru akrab. Ini la—“ “Selamat pagi, Om.” Ucapan pemuda yang sudah berdiri di depan pintu memotong ucapan panik Davika. Gadis itu mundur lalu bersembunyi di belakang papanya membuat pemuda itu mengerutkan kening heran. “Selamat pagi, Viko. Ayo, Nak, silakan masuk!” ajak Riko. Viko mengangguk sopan lalu mengikuti Riko dan Davika masuk ke dalam rumah. “Maaf, Om, saya agak terlambat. Di jalan tadi kena macet,” ucap Viko setelah merapatkan bokongnya di sofa. Riko tertawa pelan, memaklumi. “Tidak apa-apa, Nak. Om sudah tahu keadaan jalan Jakarta.” Pria berumur empat puluh itu menoleh pada Davika. “Oh, iya, Viko. Kenalkan, ini putri saya. Namanya Davika.” Viko tersenyum lembut. Dia menatap gadis yang tengah menunduk itu dan mengulurkan tangannya, “Hai. Aku Viko Gabriel.” Davika menatap tangan Viko yang terulur dari balik rambut hitamnya. Dia ingin membalas uluran tangan itu, namun tangannya terlalu berat untuk diangkat. “Ha-hai. Davika Amoreiza,” cicitnya nyaris berbisik. Viko yang sudah terlalu lama menunggu, menurunkan tangannya dengan canggung. Pemuda itu hampir lupa gadis di depannya ini pengidap fobia sosial. Tak mudah bagi gadis itu untuk menerima uluran tangan orang yang baru pertama kali dilihatnya. “Hm, Om rasa kamu sudah lupa, ya? Putri Om ini memang suka malu sama orang baru,” kekeh Riko mencairkan suasana. Viko menggaruk belakang kepalanya lalu menyengir, “hampir lupa, Om.” Davika menyenggol pelan papanya itu sambil mendesis kesal. “Baiklah, Om rasa kalian perlu waktu untuk berkenalan lebih dalam. Kalau begitu Om tinggal dulu, ya?” ucap Riko beranjak dari sofa. Davika langsung menahan lengan papanya. “Pa ....” Riko membungkuk dan mencium kening putrinya, berharap itu bisa menyalurkan—setidaknya sedikit—keberanian. “Kamu pasti bisa!” bisiknya menyemangati lalu pergi dari ruang tamu. Selepas ayahnya pergi, ruang tamu itu jadi hening. Viko tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Dia tak punya pengalaman berteman dengan orang sejenis Davika yang mengidap fobia sesuatu. Sementara itu, Davika hanya menunggu untuk merespons pertanyaan dari pemuda di depanmerespon Bi Minah muncul dari arah dapur membawa dua gelas jus dan setoples biskuit. Wanita paruh baya itu menaruhnya di meja lalu segera pamit. Keadaan kembali canggung. “Emm, boleh kuminum jusnya?” tanya Viko kemudian. Terjebak dalam kecanggungan bersama seorang gadis benar-benar membuatnya tak nyaman. Davika mengangkat kepalanya, “bo-boleh, silakan.” Viko mengambil jusnya, menyeruput pelan lalu meletakkan kembali di meja. “Bicaramu formal sekali. Apa kamu ngomong begitu ke semua orang?” “Umm, hanya kamu. Ma-maksudku, hanya orang yang baru kukenal,” ucap Davika terbata. “Oke, baik. Aku disini bukan sekedar jadi tamu lewat aja, tapi tamu yang akan menjadi temanmu. Jadi, mau berteman denganku?” tanya Viko langsung. Davika terdiam sejenak, jari-jarinya meremas satu sama lain. “Tentu,” ucapnya pelan. “Aku ngerti, kamu baru pertama kali ketemu denganku, jadi kamu masih takut seperti itu. Tapi, aku akan berusaha jadi teman yang baik buat kamu,” kata Viko menatapnya dengan sorot lembut. Davika langsung menunduk malu. “Makasih.” “Sama-sama.” Viko memperbaiki duduknya. “Jadi, kamu sekolah di mana?” “Umm, rumah?” ucap Davika agak ragu. Viko langsung menepuk jidatnya, “ah, ya, tentu saja pengidap SAD sepertimu hanya bisa belajar di rumah. Di sekolah sangat ramai, kamu pasti tidak nyaman berada di gedung sekolah. Om Riko belum ngasih tahu aku soal ini.” Davika mengerutkan keningnya. Dari sekian kata yang diucapkan oleh Viko, dia hanya terpaku dengan satu kata. “SAD? Maksudmu aku ini menyedihkan?” “Ouch! Sorry bukan itu maksudku. SAD itu kepanjangan dari Sosial Anxiety Disorder. Aku hanya menyingkatnya, bukan bermaksud mengejekmu. Maaf kalau kamu tersinggung.” Viko menyatukan telapak tangannya di depan d**a lalu menyengir lebar. Davika menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dan tersenyum malu, “Aku yang seharusnya minta maaf, aku baru tahu soal singkatan itu.” “It’s okay. Tidak apa-apa.” “Sepertinya ada yang terlalu asik mengobrol sampai tidak sadar Mamanya sudah berada di sini.” Davika dan Viko menoleh bersama ke arah pintu. Di sana berdiri seorang wanita kisaran umur empat puluh tahun, bertubuh tinggi, rambut warna cokelat dengan bibir yang menyunggingkan senyum ramah. Dia Karina, mama Davika. “Mama?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD