Chapter 3

1389 Words
“Mama?” “Hai, Sayang! Mama bawain sesuatu buat kamu!” seru Karina sembari duduk di sofa samping Davika dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Tadaaa!” “Wah, buku gambar baru! Makasih, Ma!” Davika menjerit kesenangan dan mengambil buku gambar yang masih baru itu. Dia mengamati benda itu dengan sorot senang tanpa memedulikan Viko yang keheranan. Ada, ya, orang yang dikasih buku gambar, senangnya bukan main? Viko bertanya-tanya dalam hati. Seolah mengerti raut wajah Viko, Karina tersenyum kecil. “Tidak usah heran, Nak. Davika ini suka banget menggambar. Jadi, dikasih hadiah begini dia pasti senang banget.” “Kenapa tidak pakai kanvas saja?” tanya Viko. Karina mengelus kepala putrinya yang sibuk memandangi sampul buku gambar bermotif Doraemon. “Dia suka menggambar pakai pensil,” ucapnya pelan lalu menoleh pada Viko dengan tatapan menyelidiki, “oh, iya, kamu siapa? Tumben banget Davika mau ngomong berdua sama tamu. Apalagi saya belum pernah lihat kamu.” “Oh iya, Tante, kenalkan saya Viko,” ucap Viko ramah dan mengulurkan tangannya. Karina membalas uluran tangan pemuda itu. “Karina. Oh, jadi kamu Viko, anaknya pak Tristan itu?” “Iya, Tante.” “Wah, maaf, ya, Tante kira kamu siapa. Papanya Davika sudah pernah bilang sama saya kalau mau kenalin Davika sama kamu. Tapi, saya belum pernah ketemu kamu jadi saya tidak tahu.” Tawa pelan Karina mengudara. “Iya, tidak apa-apa, Tante,” ucap Viko tersenyum kikuk. Ibu Davika cerewet sekali, tak sama seperti anaknya yang irit bicara. “Ya sudah, kalian terusin ya obrolannya. Mama mau ke dalam dulu,” pamit Karina lalu beranjak berdiri. “Tadi Papa bilang Mama pergi arisan, kenapa pulangnya cepat sekali?” tanya Davika. “Oh itu, arisannya tidak jadi karena banyak teman Mama yang punya halangan mendadak.” “Oh.” Karina mengelus kepala Davika, “Mama tinggal, ya!” pamitnya lalu berjalan menuju lantai dua. Namun, beberapa saat kemudian, kepala Karina menyembul dari balik dinding. “Oh iya, Mama saranin kalian ngobrolnya di taman belakang!” ucap wanita itu lalu menghilang di balik dinding. Davika dan Viko terkekeh pelan. “Mama kamu lucu banget,” komentar Viko. “Hmm, Mama memang begitu.” sahut Davika, menarik buku gambarnya di sofa. “Jadi, bagaimana? Ngobrol di taman boleh juga,” usul Viko. Davika menatap Viko yang juga menatapnya lembut. Gadis itu spontan menunduk lalu berdiri, “bo-boleh, ayo ke sana,” ucapnya pelan. Dia mulai berjalan dan Viko mengikutinya dari belakang. Viko tersenyum kecil ketika menyadari langkah gadis itu terlalu cepat, seolah tak ingin jalan dekat-dekat dengan Viko. Mereka tiba di taman. Viko mengedarkan pandangannya melihat seluruh isi taman itu. Ibu Davika itu memang benar-benar tepat merekomendasikan tempat ini. Seluruh tanah taman itu di tutupi rumput hijau pendek. Berbagai macam bunga ada di taman itu. Bunga matahari, mawar, melati, dan berbagai macam bunga yang tak diketahui Viko tertata rapi di taman itu. Pemuda itu mengikuti Davika yang berjalan menuju pohon mangga besar. Di bawah pohon itu ada kursi besi sepanjang 3 meter dan ayunan yang menggantung. Davika duduk kursi besi, namun langsung bergeser menjauh ketika Viko duduk di sampingnya. “Maaf,” cicit Davika takut Viko tersinggung. “Tidak apa-apa. Aku paham, kok, karena kita baru kenal. Aku yakin lama-kelamaan kamu bakal terbiasa di dekatku. Kita teman, ‘kan?” Viko tersenyum manis. Untuk pertama kalinya, Davika membalas senyuman Viko tanpa canggung, tanpa rasa takut, “hm, iya. Teman.” Viko tersenyum lega. Setidaknya, hari pertamanya bertemu dengan Davika mengalami kemajuan yang baik. Pemuda itu mengedarkan pandangannya lagi. Bola matanya berhenti, menatap sebuah balkon dari lantai dua rumah Davika. Sebuah benda berwarna cokelat membuatnya tertarik untuk bertanya, “yang di balkon itu , gitar, ya?” tunjuknya. Davika mengikuti arah telunjuk Viko. “Iya, itu gitarku. Kenapa?” “Kamu bisa main gitar?” Davika mengangguk. Viko bertepuk tangan dengan senang, tak menyangka gadis anti sosial seperti Davika bisa bermain gitar, belum lagi tentang keahliannya dalam menggambar “Wah, bagus, dong! Lain kali boleh, dong, kita main gitar bareng. Aku juga punya gitar di rumah,” ucapnya semangat. Davika menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga dengan raut wajah malu, “boleh, Viko.” “Kamu berbakat banget, deh. Pintar menggambar dan main gitar,” puji Viko, “oh iya, kapan-kapan aku juga boleh lihat hasil gambarmu?” “Boleh, kok.” “Siap. Kalau boleh sekalian ajarin aku, ya!” Davika tersenyum kecil menyadari betapa cerewetnya pemuda itu. Dirinya juga tak bisa berbohong, Viko adalah teman mengobrol yang heboh, walaupun pertemuan awal mereka agak canggung, tapi tak masalah. “Iya, iya.” ucapnya setuju. “Oh iya, Dav. Kata Om Riko kamu sebaya denganku. Berarti sekarang kamu sudah kelas tiga SMA juga, ‘kan?” tanya Viko. Davika mengangguk. “Jadi, selama ini kamu cuma belajar di rumah?” “Iya, Viko.” “Gimana rasanya?” “Apanya?” “Ya, gimana perasaan kamu belajar cuma dari rumah aja?” Davika memutar bola matanya ke atas seolah sedang berpikir, “umm, gimana, ya? Biasa-biasa aja, sih. Kadang aku cuma belajar lewat video call, biasa juga guruku langsung datang ke rumah, apalagi kalau ujian.” Viko tampak tak puas dengan jawaban Davika. “Maksudku, apa kamu tidak merasa kesepian belajar sendirian?” Davika menggeleng lalu menunduk sedih, “awalnya, sih, iya. Rasanya sunyi sekali. Tapi, lama-lama aku terbiasa.” Viko mengangguk paham. Dia paham dengan keadaan Davika. Gadis itu juga pasti pernah merasa kangen dengan suasana kelas namun fobia menghalangi gadis itu untuk mengobati rasa rindunya. “Dav,” panggil Viko beberapa saat kemudian. “Iya?” “Hmm, aku boleh tahu karena apa dan sejak kapan kamu fobia sosial begini?” tanya Viko hati-hati. Davika tak langsung menjawab. Dia menunduk membuat Viko berpikir pembahasan itu mungkin terlalu sensitif untuk gadis itu. “Eh, maaf, kalau aku lancang nanyain itu. Aku tidak bermaksud—“ “Tidak apa-apa, Viko. Aku cuma berpikir mau mulai cerita dari mana,” potong Davika memang senyum terpaksa. “Eh, iya, maaf.” Viko menggaruk belakang kepalanya. Davika mengangkat kepalanya, menatap langit biru yang bersih tanpa awan. “Waktu itu aku masih kelas empat SD. Setiap pulang sekolah, semua murid di sekolahku pasti dijemput orangtuanya. Hari itu aku nungguin Papa jemput aku. Tapi, sebelum Papa datang, teman sekelas aku sengaja dorong aku ke selokan sekolah. Aku kotor karena air lumpurnya ...,” suara Davika perlahan melemah. “Hei, kalau tidak bisa, jangan diterusin,” ujar Viko lembut. Tangannya terangkat ke udara, ingin mengusap bahu gadis itu namun terhenti ketika mengingat bahwa gadis itu masih menjaga jarak dengannya apalagi sentuhan fisik. “Aku bisa, kok,” ucap Davika, menarik napas panjang lalu mulai melanjutkan ceritanya. “Semua temanku yang melihatnya menertawai aku. Mereka mengejek aku yang cuma bisa diam di bawah selokan. Yang paling aku benci, para orangtua yang berdiri di gerbang waktu itu hanya diam melihat aku tanpa ada niat menolongku. Waktu itu aku malu sekali. Untung saja, tidak lama setelah itu Papa datang dan langsung bawa aku pulang. Aku ... aku ... sejak itu takut melihat keramaian. Aku selalu teringat dengan kejadian itu dan rasanya memalukan sekali,” lirih Davika. Dia diam-diam mengusap pipinya yang membentuk jejak aliran mata. Viko yang mendengarkan terbawa suasana. Dia mengepalkan tangan dengan kesal. “Kenapa Papa kamu tidak menuntut ke sekolah kamu waktu itu?” tanya Viko. “Kelakuan mereka waktu itu sudah di luar batas wajar, tahu!” imbuhnya kesal. Davika menggeleng lemah, “teman kelas yang dorong aku itu anak pemilik yayasan yang menaungi sekolah. Sebenarnya Papa ingin menuntut, tapi aku tidak mau, nanti masalahnya makin rumit. Toh, itu juga tidak akan menghilangkan fobia aku,” ucapnya lemah. Waktu itu, papanya belum naik pangkat, hanya karyawan biasa di perusahaan yang bergerak di bidang angkutan, sedangkan pemilik yayasan sekolah itu benar-benar kaya. Orang itu bisa saja memenangkan masalah itu hanya dengan mengeluarkan uang sebanyak mungkin. Terlepas dari semua itu, Davika bersyukur karena kini papanya sudah naik pangkat menjabat sebagai manajer keuangan perusahaan itu. Yah, berkat kerja keras selama bertahun-tahun. Viko mengangkat kepalanya menatap langit. Dia mencoba menempatkan diri pada posisi Davika. Baru membayangkan saja, dia bisa merasakan bagaimana malunya berkubang di selokan dan dilihat banyak orang, apalagi Davika yang merasakannya langsung. Pemuda itu menoleh menatap Davika yang duduk agak jauh darinya. “Davika,” panggilnya pelan. Davika menoleh. Mata gadis itu terlihat merah dan sembab. “Iya?” “Aku ... akan jadi teman yang baik buat kamu,” janji Viko. Davika mengulum bibirnya ke dalam dan mengangguk, “terima kasih, Viko. “Sama-sama.” Davika tersenyum. Ketika mengingat sesuatu, dia duduk tegak dan menghadap pada Viko. “Oh, iya, selain kamu, aku juga punya teman satu. Cewek,” ungkap Davika. “Oh, ya? Dimana dia?” “Dia tidak ada di sini. Beberapa hari yang lalu dia keluar negeri. Kalau nanti dia datang, pasti akan kukenalkan kamu padanya. Mungkin kita bertiga bisa jadi teman yang baik!” ujar Davika semangat. Melihat itu, Viko tersenyum kecil. “Bagus. Tapi, temanmu itu memangnya lagi kemana?” “Dia lagi di Be—“ “Davika, Viko, ayo masuk! Sudah waktunya makan siang!” ucapan Davika terpotong oleh panggilan Karina dari pintu rumah. Davika dan Viko menoleh ke arah Karina. Keduanya lalu saling menatap malu. Saking asyiknya ngobrol, mereka hampir lupa suasana sudah makin siang. “Iya, Ma! Sebentar!” balas Davika. Gadis itu berdiri lalu menoleh pada Viko, “ayo, masuk,” ajaknya lalu berjalan duluan dengan langkah yang sedikit cepat. Viko berdiri lalu tertawa pelan. Dia akrab dengan gadis itu ternyata belum bisa mengikis jarak antara mereka. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Tanpa sadar, telah melupakan obrolan tentang teman Davika yang sedang tak berada disini.Mi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD