Chapter 4

1154 Words
Viko keluar dari kamarnya. Kakinya bergerak menuruni tangga menuju ruang tengah dan mengambil kuncinya yang tergeletak di meja TV. Minggu pagi ini dia akan mengunjungi Davika agar mereka makin akrab. Sembari bersiul kecil, dia berjalan keluar. Dia berhenti di teras ketika melihat Tristan—papanya—sedang duduk bersantai membaca berita dari tablet dengan secangkir teh di meja. “Good morning, Pa!” sapa pemuda itu dan menyalami tangan papanya. “Morning, boy! Mau ke mana? Masih pagi sudah rapi aja,” tegur papanya lalu mengecap tehnya yang masih panas. “Mau ke rumah om Riko, Pa.” “Ooh. Gimana? Kamu udah akrab sama ... siapa sih, namanya? Papa lupa.” “Davika, Pa.” Viko mengingatkan. Dia duduk di samping papanya, memutuskan untuk mengobrol pagi sejenak. “Aku sudah cukup akrab dengan dia, Pa. Tapi, Papa tahulah, dia itu belum terbiasa sama aku makanya dia masih agak jaga jarak sama aku.” Tristan tersenyum simpul. Pria paruh baya itu meletakkan tabletnya di atas meja dan menepuk pundak putranya. “Papa yakin kamu bisa akrab sama dia,” ucapnya menyemangati. “Pasti, Pa.” Mereka terdiam sejenak. Memandang halaman hijau mereka yang tak terlalu luas. “Viko,” panggil Tristan beberapa saat kemudian. “Iya, Pa.” “Kamu tahu ‘kan, Pak Riko itu manager keuangan di perusahaan dan Papa wakilnya.” “Iya, Pa, iya. Viko tahu.” “Papa sudah lama berteman dengannya. Dan, Papa harap kamu juga bisa berteman baik dengan Davika. Papa tidak mau ada masalah di antara kalian yang bisa menyebabkan pertemanan Papa dengan Pak Riko rusak.” Viko menghela napas lalu tersenyum, “Papa tenang aja. Viko tidak akan mengecewakan Papa.” Tristan terkekeh pelan, “good boy. Sudah sana, kamu pergi. Udah sarapan, ‘kan?” “Sudah, Pa. Kalau gitu Viko pergi dulu, ya!” pamit Viko lalu mencium punggung tangan papanya. “Kamu sudah pamitan sama Mama kamu?” tanya Tristan saat putranya baru saja akan beranjak pergi ke mobil. Viko nyengir kuda, “Belum, Pa. Mama kayaknya lagi di kamar mandi tadi. Viko pergi dulu, ya, Pa! Dah!” “Oke! Hati-hati bawa mobilnya. Kalau sampai mobilnya lecet, Papa tarik SIM kamu!” ancam Tristan dengan nada bercanda. Viko yang sudah berada di dalam mobil tertawa pelan, “sip, Pa!” tandasnya lalu mobilnya perlahan melaju keluar dari pekarangan rumah. ••• Viko menghentikan mobilnya tepat depan gerbang coklat setinggi tiga meter. Dia membunyikan klakson mobil dan tak lama gerbang itu dibuka oleh satpam. Viko tersenyum ramah ketika melewati satpam itu dan memarkir mobilnya di depan garasi rumah Davika. Pemuda itu keluar dari dalam mobil. Suasana rumah Davika yang sepi membuat Viko agak ragu untuk mengetuk pintu. Apa mereka sedang keluar rumah? Viko bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang rumah berlantai dua itu beberapa saat lalu memutuskan untuk mengetuk pintunya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdaster dengan rambut dicepol ke atas muncul. “Eh, ada Den Viko. Silakan masuk, Den,” sapa Bi Minah lalu bergeser, memberi ruang untuk Viko lewat. “Makasih, Bi,” ujar Viko melewati Bi Minah, “em, kok sepi sekali, Bi?” tanyanya. “Suasana begini, mah, sudah biasa, Den kalau hari Minggu. Pak Riko lagi di ruang kerjanya, Bu Karina lagi di ruang cuci, terus Non Davika masih tidur.” Bi Minah menjelaskan keberadaan majikan-majikannya. Viko mengangguk-angguk mengerti. Dia baru ingin bertanya ketika Riko keluar dari ruangannya yang memang berada di dekat ruang tamu. “Hei, Viko!”sapa Riko girang. “Eh ... hai, Om,” balas Viko canggung lalu menyalami papa Davika itu. “Om kira siapa yang datang. Ayo, silakan duduk,” ajak Riko ramah dan menuntun Viko menuju sofa. “Bi, buatin minum, ya!” “Baik, Pak.” “Eeh, Viko datang, ya?” suara dari arah dapur membuat Viko menoleh. Karina muncul dengan pakaian tidurnya dan tangan yang masih lembab. Viko segera menyalami wanita yang terlihat awet muda itu. “Iya, Tante. Selamat pagi,” ucap Viko. “Eeh iya, selamat pagi. Aduh, maaf ya, tangan Tante basah. Baru selesai mencuci soalnya,” celoteh Karina cerewet seperti biasanya. “Ah, tidak apa-apa kok, Tante,” elak Viko. Mereka bertiga duduk di sofa. Bi Minah muncul dari dapur, membawa tiga gelas minuman. “Diminum, ya,” kata Karina ramah. Viko mengangguk lalu menyesap minuman itu. “Oh iya, Davika masih tidur. Tadi malam dia begadang. Biasa, dia menggambar sampai teler sendiri,” kekeh Riko. “Hehehe, tidak apa-apa, kok, Om.” “Oh, iya, Viko,” Riko memperbaiki duduknya dan saling berpandangan dengan istrinya sejenak lalu beralih ke Viko, “saya mau ngomong sesuatu sama kamu. Viko yang melihat tatapan serius Riko mendadak gugup. “Emm, ngomong apa, Om?” “Begini, Davika sebentar lagi lulus SMA. Otomatis dia akan lanjut ke perguruan tinggi. Kami khawatir dengan keadaannya yang sampai sekarang masih sangat anti dengan keramaian. Davika tidak mungkin belajar dari rumah terus. Dia butuh keluar dan membiasakan dirinya dengan keramaian,” tutur Riko. Pria itu melanjutkan, “untuk itu, saya dan istri saya berharap kamu mau membujuk Davika bersekolah seperti biasanya. Kamu bisa bujuk dia satu sekolah dengan kamu.” Viko menganga di tempat. “Ta-tapi, Om ... tidak mungkin. Davika sudah kelas tiga dan sekarang sudah masuk semester genap. Saya tidak yakin pihak sekolah mau menerima. Belum lagi, persetujuan dari Davika.” “Kamu tenang saja, urusan sekolah biar saya yang urus. Kamu tinggal bujuk Davika. Saya sudah lihat sendiri kemarin bagaimana kamu cepat akrab dengan Davika. Saya percaya dia akan mendengarkan kamu, Viko,” ucap Riko yakin. Viko terdiam sejenak, mempertimbangkan semuanya. “Kami mohon ya, Viko. Tante tidak mau Davika terus seperti ini. Biar bagaimana pun Davika juga tetap manusia biasa. Dia butuh banyak orang dalam hidupnya. Tidak peduli separah apa fobianya,” lirih Karina memohon. Viko memijit kepalanya pelan melihat pasangan suami istri yang tengah memohon padanya. “Emm, kenapa Om dan Tante tidak mencoba bawa Davika ke psikiater. Siapa tahu dia bisa di beri obat.” Riko menghela napas berat, “sudah berapa kali, Viko. Tapi, obat itu tidak menjamin Davika sembuh dari fobianya. Buktinya sekarang dia belum mengalami perubahan apa-apa. Psikiater juga menyarankan ke saya agar memberi terapi pada Davika seperti mengenalkannya ke orang, tapi secara perlahan-lahan. Untuk itu saya perkenalkan kamu dengan Davika. Kalian kelihatannya sudah akrab padahal baru kemarin kalian berkenalan. Jadi, saya percayakan ini pada kamu. Tolong bujuk Davika, ya?” “Tapi, kami belum cukup akrab, Om. Davika masih menjaga jarak dengan saya.” “Tapi, Davika sudah bersikap terbuka, ‘kan sama kamu? Dia pasti sudah cerita tentang masalah fobianya ke kamu.” Viko mengangguk ragu. “Nah, intinya kalian sudah akrab. Jaga jarak masalah gampang, lama-lama dia akan terbiasa dekat dengan kamu. Dia juga seperti itu saat baru kenal dengan teman pertamanya.” “Kenapa bukan teman pertamanya saja yang membujuknya? Terus, kenapa tidak sedari dulu Davika dibujuk masuk sekolah?” “Sebenarnya, temannya itu mau. Tapi, saya tidak yakin percayakan Davika padanya karena dia sering bepergian keluar negeri. Jangan sampai Davika baru masuk sekolah dan temannya itu harus keluar kota, ‘kan bisa kacau. Davika pasti butuh waktu mencocokkan diri dengan keramaian dan dia pasti butuh orang yang dipercayainya senantiasa ada di sampingnya,” terang Riko panjang. “Jadi, kamu mau, kan?” tanyanya dengan nada mendesak. “Oo-oke, oke, saya akan coba bujuk Davika,” putus Viko, tak enak membuat orangtua Davika memohon padanya. “Tapi, saya tidak yakin Davika akan setuju—“ “Davika pasti setuju!” potong Karina tegas. “Kenapa Tante yakin sekali?” “Naluri seorang Ibu selalu benar, Viko,” ucap Karina melembut. Viko berkedip dua kali. “Eh, Viko ada disini?” Semua orang yang ada di ruang tamu menoleh ketika mendengar suara Davika. Mata gadis itu langsung bergerak gelisah ketika menyadari semua mata mengarah padanya. Dengan kepala tertunduk, dia berjalan ke ruang tamu dan duduk di tengah-tengah orangtuanya. “Davika,” panggil Viko pelan. Kaki kirinya mengetuk-ngetuk lantai. “Iya?” “Kira-kira, kalau aku ajak kamu sekolah bareng ... kamu mau?” Karina dan Riko yang mendengar itu langsung terperanjat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD