PART 2

1724 Words
Masih dengan menikmati suasana Jerman, Mama Deri coba menghubungi anaknya untuk percobaan yang dia yakin bakal dituruti. Nada sambung hingga terputus dua kali menandakan Deri sedang sibuk dengan pekerjaannya karena saat ini jam Indonesia menandakan sekitar pukul 15.00 WIB. Bunda Melan tidak kalah cepat dengan segera menghubungi putrinya. Beberapa detik tersambung...Melan pun mengangkat. "Halo Bunda, sehat? Kenapa Bun? apa sekarang Bunda lagi kesepian ditinggal Ayah kerja? Jam segini biasanya Bunda lagi jalan-jalan di taman, apa Jerman lagi nggak bersahabat?" "All is well sayang, Bunda lagi ngopi-ngopi aja ini, terus keinget kamu. ", sambil cengingisan dan melirik ke Mama Deri. "Melan yakin, keinget yang dimaksud Bunda ini bukan sekedar inget. Udah, Bunda ngaku aja, mau kasih kabar apa? Bukan jenis berita kedua seperti sebelumnya, kan?" "Putri Bunda pinter banget sih, tapi selamat karena pernyataan terakhirmu memang benar. Bunda ada calon nih, Bunda harap kamu mau coba untuk kenalan ya?" "Tuuh kan? Bunda please, Melan lagi banyak kerjaan banget, lain kali aja ya? Takutnya malah ngga fokus, Bun." "Jangan banyak alasan Mel, Bunda cuma minta kamu buat kenalan dulu, bukan langsung nikah. Jadi ngga perlu alasan fokus-fokus apa itu..." "Melan tahu, kalau udah masalah ini Bunda bakalan ikut campur terus, Melan nggak bisa misal harus ditelponin Bunda tiap hari buat laporan." "Ehm....gini deh, kali ini kamu turuti Bunda dan Bunda bakal nuruti kamu. Deal?" Menghela nafas dalam, dan terlebih dahulu menjawab dalam hati 'di iyain aja dulu deh, daripada jadi panjang'. "Oke Bun, Melan akan coba ketemu, tapi Bunda jangan ikut campur apapun ya, Melan lagi pusing bulan ini. Melan nggak mau Bunda berharap lebih, Melan takut ngecewain Bunda. Ini calon kesekian kali yang Bunda bawa buat Melan." "Oke oke, Bunda setuju. Kalau gitu minggu depan di restoran hotel Edelweiss, jam makan siang. Kamu pergi ke sana, nemuin yang namanya Deri. Reservasi atas nama Ayah ya, meja nomor 10." Di ujung telepon, Melan menggeleng-gelengkan kepala. "Sudah Melan duga, Bunda tetep kan, terlalu siap. Tapi Melan mengingatkan ya, Bunda jangan berharap tinggi sama apapun yang terjadi nanti. Seperti sebelumnya." Terang Melan yang sudah kesekian kalinya gagal mendapat pendamping karena pilihan Bunda ada yang terlalu sombong, ada yang terlalu pasif, ada yang masih punya pacar, dan lainnya. Belum jodoh, itu hal yang bisa membuat Bunda mampu menerima keputusan Melan. Dari samping, Mama Deri mengajukan pertanyaan ke Bund. "Gimana ini Deri malah belum jawab? Melan yang kata Jeng Eti bakal susah aja ternyata nurut gitu. Seneng deh dengernya." "Sabar Jeng, Deri lagi sibuk mungkin. Tapi kalau boleh saya tanya, apa keluarga Jeng Anggi ngga keberatan besanan sama keluarga sederhana kami?" Mengatupkan bibirnya, lalu tersenyum halus, Mama Deri menjawab pertanyaan yang mengejutkan tersebut. "Kita ini udah sama-sama tua ya Jeng, udah tau bagaimana kenyamanan itu adalah hal utama yang dicari dari sebuah keluarga. Bagaimana Jeng Eti dan Mas Dirga, saya dengan Papanya Deri bisa bertahan sampai sekarang dan semoga seterusnya adalah modal yang bagus untuk berbesan. Semoga bisa menjadi teladan untuk anak-anak kita. Jangan menghitung materi Jeng, biar laki-laki yang mikirin itu, kita hanya harus mempertahankan fondasinya tetap kokoh. Yang terpenting adalah hati, dan saya melihat keluarga Jeng Eti sangat romantis dan terhormat. Itu melebihi apapun. Bahkan keluarga kami belum pasti mendapat kehormatan seperti kalian. Semoga Deri sama Melan bisa cocok, dan aku pastiin Deri bakal menuhin kebutuhan Melan Jeng, dia bukan anak manja kok, Jeng Eti harus percaya sama saya ya?" Mereka tertawa seiring meresapi jawaban Mama Deri yang dirasa sangat bijak. Disela hela tawa, Deri menghubungi Mamanya melalui telepon. Tak perlu waktu lama untuk membujuk dan merayu Deri sebab pria itu langsung mengiyakan permintaan sang Mama. Bagaimanapun, selama ini Deri sayang sama keluarganya. Daripada harus ribut, dia memilih untuk mengkondisikan segala kondisi hingga menjadi realistis. Cocok dan tidak itu masalah belakangan, toh Mamanya bakal nyerahin semuanya sama Deri. *** Deri memasuki restoran dengan langkah cepat karena menyadari keterlambatannya. Saat ini Melan sudah duduk di meja nomor 10 dengan memainkan ponsel miliknya. Setelan kerja berwarna coklat yang dipadu blezzer cream pastel membuat Melan begitu manis. Melan menghentikan jarinya dan mendongak ke atas begitu Deri berdiri di hadapannya. Gagah dan maskulin. Sedikit jambang Deri membuat Melan menelan salvina nya tanpa suara. Kemudian Melan berdiri menyambut uluran tangan Deri. "Selamat siang, saya Deri. Maaf untuk keterlambatan saya." "Melan. Silahkan duduk.", jawab Melan seraya merapikan rok nya kembali. Kedua manusia yang saling berhadapan itu hanya terdiam saling memandang dengan tatapan santai namun tegas yang susah diartikan mau kemana arah pembicaraan. Secara fisik, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Melan dengan kecantikan yang sudah tidak diragukan lagi, mengurai rambutnya dengan sedikit poni menggantung di pipi adalah keputusan tepat untuk sekedar memikat. Deri dengan postur tegapnya sekitar 10cm di atas Melan, d**a bidang dan kharisma yang terpancar sudah hampir membuat Melan kelabatan. "Ya, oke kita mulai. Sebelum sampai di sini, saya rasa anda sudah mendapat catatan latar belakang saya. Panggih Handeri Risyad, dan kalau tidak salah anda Melanie Sanjaya." "Dan ijinkan saya mengingatkan, kita bukan sedang dalam meeting lunch yang membahas kontrak kerja atau sejenisnya. Jadi apa boleh kalau kata saya dan anda diganti dengan kata yang lebih santai?" Sekian detik memperhatiakn cara bibir wanita itu bergerak membuat Deri terpesona. "Oke, hmmm aku mau to the point. Tentang rencana keluarga kita, apa kau keberatan atau mau mengikuti alur dan menjadikan mereka tenang untuk sekian waktu? daripada kita yang terus menerus ditekan. Atau mungkin sekarang kau akan langsung pulang dan meninggalkan pertemuan ini?" Melan suka, Melan mengagumi pemikiran Deri. Melan sependapat dengan pernyataan Deri. Melan menjawab dengan logika yang masih bersemayam di otaknya. "Apa yang menjadi keyakinanmu tentang hal ini?" "Entahlah, aku hanya belum merasa dirugikan jadi aku juga belum merasa keberatan. Bagaimana denganmu?" "Sejujurnya aku ingin menghindari tekanan dari Bundaku dulu, kemudian jika dirasa baik, tidak ada yang perlu dihindari. Kita belum tahu apa kita cocok, tapi mari kita bersikap biasa saja. Kau hanya perlu menambahkanku di kontak kenalanmu dan aku juga begitu. Kita akan saling menghubungi jika membutuhkan. Aku sudah tidak bisa bersandiwara di depan Bunda, dan kalau bisa memang jangan terlalu melibatkan orang tua dulu." "Alasanmu seperti berputar tapi aku menangkap intinya adalah kita sama-sama tidak mau mengecewakan orang tua, tapi kita juga tidak mau terbebani dengan adanya perjodohan ini.", Deri menanggapi. "Kurang lebih seperti itu, makanya aku nggak mau orangtua kita terlalu ikut campur dulu.", sela Melan. Deri mendelik menatap Melan dengan senyum yang sudah mencuat tidak bisa disembunyikan lagi. Melan diam dan meresapi pembicaraan mereka barusan. Entah apa yang dirasakannya sekarang, ini berbeda. Deri sadar dan dia mencoba menetralkan suasana dengan memanggil pelayan untuk memesan. Pelayan menyodorkan menu untuk mereka, sementara Melan bertahan dengan lamunannya. "Jangan berpikir terlalu keras karena hanya akan membuatmu berhenti dari keadaan ini terlalu cepat. Kalau boleh mengingatkan, setengah jam lagi waktu makan siang kita akan habis.", ucap Deri. Tersadar dari lamunannya, Melan pun segera memesan makanan dan minuman sekenanya, pun diikuti oleh Deri setelahnya. Sembari menunggu pesanan, mereka memutuskan untuk berkenalan secara sngkat. Suasana sudah sedikit mencair dengan senyum yang pelan-pelan mereka tunjukkan satu sama lain. Beberapa pertanyaan mengintimidasi dan beberapa pertanyaan menjelaskan diri mereka dilontarkan dengan baik. Pengalaman blind date yang sering Melan lakukan membuat dirinya memiliki cara cepat untuk menceritakan hal pribadi yang daritadi belum disebutkan. Melan memulai, "Aku suka minuman strawberry dan cemilan coklat, Aku tidak mempunyai alergi apapun, Lebih memilih pantai daripada gunung, Sering begadang, Wanita karir, Pacaran terakhir empat tahun lalu, putus karena LDR, Anak tunggal, Lulusan Jerman, Tabungan pribadi, Apartemen pribadi tapi masih nyicil, Anti politik, Mobil pribadi, Bisa masak tapi jarang banget, Dan Target nikah tahun depan. Mendengar penuturan Melan, Deri hanya mengatupkan mulut sambil memainkan ujung jempol dan telunjuknya. Dia pun tak lupa merekam satu demi satu hal yang diungkap Melan. "Berapa persen nilai kejujuran dalam semua statementmu tadi?", tanya Deri. "Aku bisa menjaminnya 100%, kecuali hal-hal yang diluar kendali bisa merubahnya untukku." "Oke, mungkin akan terdengar pengecut jika aku tak memperkenalkan diri sepertimu, Nama kecil Panggih, kakak tingkatmu di SD, beda 3 tahun seingatku, Baru saja jadi CEO walaupun belum terlalu percaya diri, Mobil Pribadi, Tabungan pribadi, Beberapa aset pribadi, Apartemen hadiah dari kantor, Paling suka coffe latte, Harus sering lembur walaupun sangat benci lembur, Anak Tunggal Lulusan Amerika, Mencintai kedua orangtua, Membenci kebohongan, Pacaran terakhir dua tahun lalu, putus karena tidak sejalan, Menyukai kartun atau animasi, Dan tidak ada target menikah.", ucapnya mengakhiri kalimat. Melan terpaku mendengar ucapan terakhir Deri yang mengatakan tidak ada target menikah, dua persepsi hinggap di benaknya. Satu, dia tidak perlu tertekan untuk memikirkan pernikahan dalam waktu dekat, siapa tahu mereka tidak cocok. Dua, jika mereka cocok maka ini menjadi buruk jika pria itu memang tidak menyukai komitmen. Diluar pemikiran tersebut, Melan memilih membiarkan hubungan mereka mengalir apa adanya sesuai kesepakatan menit-menit sebelumnya. Tidak mau banyak berharap dan tidak terlalu ambil pusing karena dia harus fokus untuk karirnya saat ini. "Kurasa hal itu sudah cukup untuk memulai perkenalan kita. Mari makan karena aku sudah tidak memiliki banyak waktu, beda denganmu yang mungkin tidak perlu memberi alasan apapun pada atasan.", ucap Melan. Dengan tergesa Melan mulai menyantap hidangannya, begitupun dengan Deri yang sejak tadi masih memperhatikan pergerakan Melan mulai dari ujung kepala, wajah, hingga jari lentiknya yang sedang memainkan sendok garpu, lalu beralih ke sedotan di gelasnya. Hal yang membuat hati Deri mulai terpikat. Wanita berwibawa. Ketertarikan fisik kali ini begitu kuat, ungkap Deri dalam hati. Deri berkilah, "Aku tidak bisa melanjutkan makananku, aku harus pergi, dan kuharap kau bisa menikmati makananmu, juga menikmati pertemuan kita hari ini. Permisi.", pamit Deri sambil berdiri yang disusul tatapan aneh dari Melan' "Apa kau lupa tak meminta nomor teleponku dan membayar bill sebagaimana pria bersikap?" Tertawa, "Haaa apa yang kau pikirkan? Aku sudah mempunyai nomormu dari Mama, nanti aku akan menghubungimu. Dan biar aku melunasi tagihannya di kasir agar tak mengganggumu menghabiskan iga yang sudah sangat ingin kau santap itu. Nikmati makananmu dengan santai.", Deri melangkah dan berkata. "Sampai jumpa Mel." Melan menanggapi dengan biasa namun hatinya bergemuruh kenapa tidak ada sedikit waktu lebih lama untuk mereka mengobrol. Akhirnya dia memilih menghabiskan makananya kemudian segera kembali ke kantor, biarlah bayangan Deri hilang seiring kesibukannya nanti sesampai di kantor. Bukannya segera menginjak pedal gas mobil yang sudah dinaikinya sejak tadi, Deri justru menunggu Melan di parkiran berharap bisa melihat keelokannya sekali lagi. Jika bertahan di hadapan Melan, ia hanya akan makin canggung dan takut akan terlihat aneh, lalu menurunkan wibawanya. Tak lama, wanita dengan setelan manisnya itu sudah siap memasuki Mazda merah kesukaannya. Dia tidak menyadari bahwa sejak tadi Deri memperhatikan dirinya hingga mobil merah itu melaju. Deri yang berniat mengekori Melan pun lebih mengurungkan niat karena dia berbisik pada dirinya , 'kau bukan lagi ABG Der, sadarlah!!'. Sesampainya di kantor, ponsel Melan memunculkan notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal. 'Aku sudah sampai di kantorku, jika saja kau ingin tahu informasi ini. Selamat bekerja. (Deri).' Kilatan binar yang ditahan mata Melan hanya menimbulkan sedikit ujung bibirnya terangkat. Ekspresi itu membuatnya bertanya pada diri sendiri. 'Ada apa denganku? Ini terlalu dini.', ucapnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD