Chapter 3

1089 Words
Keesokan harinya, sesuai dengan saran Chef Gilang aku berkonsultasi dengan Dokter anak yang bernama Nauval. Aku mengajak Septian masuk ke dalam ruangan setelah suster menyebutkan nomor antrian kami. Ruangan dokter anak ini berbeda dengan ruangan saat aku melahirkan Septian, ruangan ini penuh dengan gambar karakter kartun menjadi walpaper dinding. “Selamat pagi, dok.”kataku mengucapkan sapaan padanya. Septian duduk dipangkuanku. Ah, dia sangat tampan dan terlihat masih muda. Kuperkirakan usianya hanya beda setahun lebih tua denganku. “Selamat pagi, bu. Ada keluhan apa?”tanyanya. “Jadi begini, dok. Sudah usia 4 tahun ini, anak saya belum menunjukkan perkembangan dalam berbicaranya. Saya merasa khawatir.”kataku mengeluarkan keluhan. Semoga saja tidak ada yang terjadi apa-apa dengan anakku. Dokter Nauval mencatat semua keluhanku, “Apakah Ibu bekerja?”tanyanya. “Iya, dok.” “Suami Ibu juga bekerja?” “Suami saya sudah tidak ada.” “Apakah Ibu sering mengajaknya berbicara?”tanyanya. Memang karena kesibukkanku aku jarang mengajaknya berbicara, bahkan di akhir pekan aku lebih sering menyalakan televisi kartun anak-anak untuk Septian tonton. Sedangkan aku sibuk membereskan pekerjaan rumah yang sudah selama satu minggu tidak dikerjakan. Aku merasa bersalah. “Jadi begini dok, karena saya tidak memiliki suami, saya harus bekerja dari hari Senin hingga Sabtu, membuat saya harus menitipkan anak saya ke day care dari pukul 07.00 hingga 17.30 selebihnya anak saya langsung saya tidurkan lalu setiap hari Minggu saya juga sibuk membersihkan pekerjaan rumah. Jadi, saya jarang mengajak anak saya berbicara.”kataku akhirnya menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Aku takut jika dokter ini menjudgeku. Dokter Nauval tersenyum. “Saya akan memeriksa keadaan anak Ibu terlebih dahulu.”kemudian Septian diperiksa oleh dokter tersebut. Dalam hati, aku berdoa semoga tidak apa-apa. Sesudah pemeriksaan, kami duduk seperti semula. “Saya sudah memeriksa anak Ibu. Sebaiknya Ibu lebih mengutamakan perkembangan anak Ibu dibandingkan bekerja. Karena anak Ibu ini membutuhkan peran seorang Ibu dalam setiap fase perkembangannya. Seperti perkembangan berbicara, saya tidak menyalahkan Ibu yang terlalu sibuk. Tetapi, anak Ibu menginginkan Ibunya selalu bersamanya. Selain itu, ajak anak Ibu untuk selalu berbicara. Seperti saat makan, Ibu menggerakan makanan seraya berkata ‘Nak, Mari kita makan.’ atau ajak anak Ibu bercerita tentang kesehariannya agar melatih perkembangan berbicaranya maupun perkembangan lainnya. Hasil dari pemeriksaan ini, anak Ibu tidak apa-apa melainkan butuh seorang figur Ibu yang berada di sampingnya.”jelas Dokter Nauval membuatku ingin menangis. YaAllah, aku merasa bersalah telah melantarkan anakku. “Terimakasih, dok.” “Akan lebih baik Ibu berhenti bekerja dulu, Ibu bisa saja bekerja di rumah.”saran Dokter Nauval. Aku mengangguk, lalu berpamitan padanya. Setelah keluar dari ruangan, aku memeluk anakku dengan erat. Maafkan Bunda, Nak. Bunda tidak memperhatikanmu. Bunda merasa bodoh. ^^^ Aku memutuskan untuk berhenti bekerja di hotel. Aku sudah menyerahkan semua berkas pemberhentian kerjaku. Benar kata Dokter Nauval, aku bisa saja bekerja di rumah seperti halnya saat membantu Nenek menjual kue yang di rumah menawarkannya ke warung-warung kecil, atau secara pemesanan. Aku sudah pernah merasakan Nenek membantu bekerja membuat kue di rumah saja. Sebelum aku keluar dari gedung besar itu, aku menghampiri Chef Gilang yang baru saja hendak memasuki mobil. Aku yang sedang menggendong Septian di pangkuanku sedikit berlari kecil, “Chef..”panggilku. Dia menolehku terkejut melihatku yang sedang mengatur nafas karena berlari kecil seraya membawa Septian walaupun tubuhnya kecil. “Wah, Mesa. Baru saja saya merasa sedih mendengar kamu resign dari sini.”katanya setelah aku mengatur nafas. “Terimakasih, Chef untuk saran dan motivasinya. Saya minta maaf jika dalam bekerja banyak tingkah laku saya yang kurang profesional.” “Saya malah yang seharusnya berterimakasih sama kamu. Semua pekerjaan cepat selesai karena kamu berhasil membuat kue-kue yang lezat dalam waktu yang sebentar.” Aku tersenyum, “Sejujurnya saya merasa kehilangan saat kamu resign dari sini, tapi, saya tahu bahwa anak kamu butuh kamu berada di sampingnya. Saya berharap kamu selalu menjaga anakmu, dan semoga kalian berdua sehat selalu. Ah, jangan sungkan untuk meminta tolong pada saya.”katanya membuat bahagia. If I am near him, I feel, I have an older brother who is always given the strength to drive my life. “Thank you so much, Chef.”Aku sedikit membungkukkan badan di depannya, lalu pamit dari hadapannya. I don’t know, I feel lost. Saat diparkiran motor, aku bertemu Indria yang berdiri membelakangiku di dekat motorku, kulihat bahunya bergetar. She is crying. “Lo kenapa?”tanyaku setelah berada di sampingnya. “Mesita, lo kenapa engga bilang ke gue, kalau resign. Hikss.. Hiks..”tangisannya membuat anakku yang sedang tidur bangun. Aku menepuk pelan pundak Septian menyuruhnya tidur kembali. “Lo udah selesai kerjanya kan?”tanyaku melihat dia telah membawa tasnya. Dia mengangguk lalu mengelap sisa tangisannya. Aku mengajak Indria, sahabatku untuk pergi ke Coffee di daerah Blok M. Aku akan bercerita tentang masalah ini. Dia sudah seperti keluargaku sendiri. ^^^ “Jadi kenapa lo resign?”tanya Indria setelah meminum coffee rasa vanilla. Ah, aku jadi flashback, Rezal begitu menyukai coffee rasa vanilla buatanku. Memang bayangan Rezal masih tersimpan rapih dalam benakku. “Tadi pagi gue ke dokter anak, and he said that I should prioritize the his development. Jadi, gue memutuskan untuk resign.”kataku seraya mengelus rambut Septian yang sedang bersandaran di pelukanku. Ini sebuah keputusanku. “Memangnya Septian kenapa?”tanyanya seusai menyimak pembicaraanku. “Perkembangan berbicaranya terlambat karena kesibukkan gue.”aku menghela nafas berat. “Kenapa lo engga balikkan lagi sama Rezal?”tanyanya yang selalu membuatku sebal jika ia sudah menyuruh kembali pada Rezal. “Ndri, gue udah jawab dari dulu pertanyaan engga bermutu itu, kan?!”pekikku menahan amarah. “He still loves you and waiting for you, Mes.”aku tidak menanggapi perkataannya. Kemudian meminum green tea untuk menetralisir rasa amarahku. “Mesa, jalan yang lo pilih itu salah, sebuah hubungan perlu komunikasi. Jangan karena Ibu-nya yang selalu memaki lo, dan lo malah menghakimi Rezal. Padahal Rezal selalu melakukan yang terbaik buat lo.”cecar Indria mengomeliku. Aku tahu bahwa semua perkataannya tadi tidak salah. Karena semua yang kuperbuat ini adalah kesalahanku. Aku memilih tidak menjawab perkataannya dan menikmati minuman ini. Indria memang sahabat, dan seperti saudara yang selalu memberiku kritikan atau saran yang baik. She is very kind for me. “Di dalam pernikahan itu butuh sebuah komunikasi, Sa.”lanjutnya merasa pasrah melihat sifat egoisku kembali muncul. “Lagi pula ngapain gue balik sama Rezal? Gue udah cerai sama dia.”sanggahku membela diri. “Lo yakin udah cerai sama dia?”tanyanya balik. Ucapannya membuat mataku membelo, “Yaudah lah, gue udah ngirim surat perceraian ke dia.”kataku membalasnya tajam. “Apa dia udah tanda tangan dan kalian udah sidang?”tanya Indria lagi. Ah, iya, aku memang tidak mau ke sidang perceraian kami karena tidak ingin bertemu dengan wajahnya. Intinya bagiku kami sudah bercerai. “Tau ah, hari ini gue yang bayarin.”kataku seraya menitipkan Septian ke Indria. Kemudian berjalan menuju kasir, saat sudah selesai melakukan proses pembayaran. Tubuh tidak sengaja menabrak tubuh orang lain. Dia, Dokter Nauval. “Maafkan saya dokter.”kataku merasa bersalah. Dia tersenyum mengatakan tidak apa-apa. “Kamu bukannya Ibu dari pasien saya tadi?”tanyanya. “Iya, dok.”jawabku mantap. “Ah, boleh saya meminta nomer kamu?”tanya Dokter Nauval. Aku mengerutkan kening, “Untuk apa?”tanyaku heran. “Saya ingin mengetahui perkembangan berbicara pasien saya, secara gratis.”katanya. Mendengarkan kata ‘gratis’, I gave my number to him. “Thank you.” Dia kan, seorang dokter mana mungkin juga akan berbuat yang tidak aneh padaku. Alhamdulillah, lumayan dapat pengobatan gratis. Aku tersenyum senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD