Chapter 2

1080 Words
After I delivered Septian to day care. Aku kembali ke pekerjaanku, sebenarnya rasa takut mulai menghampiriku. Aku takut jika Chef Gilang marah padaku, karena aku akan mengambil jatah cuti sementara mengurus Septian. Tidak, aku harus bisa mengatakannya. Aku melirik Chef Gilang yang masih sIbuk menghias kue tart dengan buttercreams warna putih. Tim Chef Gilang memang khusus membuat cake atau deseert yang akan dimakan oleh para tamu undangan acara di hotel ini atau para tamu yang menginap di hotel di pagi hari, entah itu berasal dari Indonesia atau luar negeri, tim kami yang akan membuatnya dengan rasa yang lezat. Sudah dua tahun lebih aku bekerja di sini, awalnya aku melihat lowongan pekerjaan di koran yang k****a pagi hari. Kemudian aku mengikuti, dan beruntungnya aku lolos di tahap seleksi. Chef Gilang yang menunjukku untuk bergabung di timnya. Dia adalah orang yang baik, sudah memiliki istri yang cantik, dan dua orang anak yang cantik nan tampan. Jam sudah menunjukkan waktu istirahat. Aku berjalan menghampiri Chef Gilang di saat semuanya sudah mulai mencari makan siang. “Chef.”kataku memanggilnya. Dia menoleh ke arahku sambil melepaskan apron ditubuhnya. “Kenapa?”tanyanya. “Ada yang mau saya bicarakan.” Chef Gilang mengajakku makan di luar hotel, cafe sebrang hotel. Kami makan siang seraya berbicara. “Katakanlah.”katanya. Aku menghembuskan nafas. “Saya mau bercerita, jika sudah lama ini saya merasa ada yang salah dengan Septian, anak saya yang sudah berusia 4 tahun. Sampai saat ini, dia belum bisa berbicara. Saya merasa takut terjadi apa-apa dengannya.”kataku. Chef Gilang sudah mengetahui bahwa aku memiliki anak, dan suamiku sudah tidak ada. Perkataan yang selalu kubuat pada semua orang terkecuali Bunda Anzan. “Kamu harus membawa Septian ke dokter anak, Mes.”kata Chef Gilang dengan rasa khawatir. “Iya.” “Ah, coba kamu temui Dokter Nauval, dia adalah dokter anak yang saya kenal. Di Rumah Sakit Fatmawati, kamu tahu kan, daerah Fatmawati?”tanya Chef Gilang. Aku mengangguk. Aku sangat mengenal dengan baik daerah Fatmawati, daerah saat pertama kali aku berpijak di Jakarta Selatan. “Coba saja kamu konsultasi ke sana.”sarannya membuatku lega. Chef Gilang ternyata orang yang pengertian dan peduli. Aku bersyukur memiliki ketua tim seperti dia. “Terimakasih, Chef. Saya akan mencoba konsultasi ke sana.”kami melanjutkan makan siang kami. Nasi dan Ayam ini membuat makanku berselera seperti ada sebuah semangat baru karena dukungan dari Chef Gilang. “Saya masih tidak menyangka di usia kamu yang masih muda ini sudah memiliki seorang anak.”katanya membuatku tersenyum tipis. Aku juga merasa tidak menyangka sudah memiliki seorang anak dan mengurusnya seorang diri. Padahal rasanya baru kemarin aku bertemu Nenek yang mengadopsiku sebagai seorang cucu saat berusia 15 tahun di Panti Asuhan. Beliau mengeluarkanku dari kesedihan dan membuatku bahagia. Selain itu, berkat beliau aku pandai memasak kue. Nenek memang seorang penjual kue, sehingga aku yang tidak bersekolah memilih untuk membantu Nenek untuk membuat kue. “Kamu tahu, Mesa? Jika adik perempuan saya masih ada, mungkin usianya seangkatan dengan kamu.”aku baru tahu jika Chef Gilang memiliki seorang adik perempuan. “Lalu kemana adik perempuan Chef Gilang?”tanyaku. Dia menggeleng, lalu meminum air putih yang ada di hadapannya. “Saya memiliki seorang Ibu yang cantik. Kata Ibu saya mirip dengan dirinya, sedangkan adik perempuan saya mirip dengan Ayah.”katanya sambil menerawang. “Ketika saya melihat wajah kamu, saya teringat Ayah saya.”lanjutnya membuatku tertawa kecil, “Kenapa kok jadi saya yang membuat Chef Gilang mengingat Ayahnya?”gumamku. “Memangnya kemana Ayahnya Chef Gilang?”tanyaku kembali. Raut wajah Chef Gilang berubah menjadi datar dan masam, “Saya tidak pernah mau bercerita tentang keluarga saya ke orang lain.”katanya datar. Perkataannya membuatku sakit, aku merasa terlalu ingin mencampuri kehidupan orang lain. Padahal aku tidak pernah seperti ini. “Saya minta maaf Chef.”ungkapku merasa bersalah telah membuka luka lamanya. Jadi benar, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. “Tapi kenapa saya ingin menceritakannya ke kamu?”aku mengerutkan kening. “Ibu saya adalah seorang perempuan yang baik dan sangat menyayangi keluarga, saat saya berusia 7 tahun, saya senang akan memiliki adik karena Ibu sedang hamil. Tetapi kebahagian itu hanya sebentar.”Chef Gilang bercerita seolah-olah ia sedang melihat semua masalah di masa lalunya. “Ayah saya seorang dokter, beliau sangat sIbuk. Ternyata di belakang Ibu dia bermain api dengan salah satu suster di rumah sakit hingga memiliki anak laki-laki yang sudah berusia satu tahun. Akhirnya Ibu menggugat cerai pada Ayah, sehingga saat Ibu melahirkan adik perempuan.. Ah, saya tidak bisa meneruskannya.”katanya terlihat rapuh. Kenapa saat Chef Gilang bercerita ada rasa sakit dihatiku? Mengapa aku seolah-olah seperti keluarga yang merasa sedih karena perselingkuhan Ayahnya. Aku merasa iba ternyata dibalik wajah tegas Chef Gilang memiliki sirat kesedihan tentang keluarganya. “Maafkan saya Chef, sudah membuka luka lama.”kataku merasa bersalah. Dia tersenyum, “Lalu apakah kamu mau bercerita tentang keluargamu?”tanya Chef Gilang. Akhirnya aku bercerita pada Chef Gilang, “Saya adalah seorang anak angkat dari Panti Asuhan yang berada di Bandung, Nenek mengadopsi saya saat berusia 15 tahun. Saya belajar membuat kue dan bisa membuatnya karena Nenek seorang penjual kue di sana. Saat saya berusia 19 tahun, saya menikah dengan Rezal yang berusia 22 tahun.”kataku bercerita tentang kisahku yang tidak pernah kubagikan dengan orang lain. Sama seperti halnya Chef Gilang, entah kenapa aku ingin berbagi kisah pada dirinya. “Kenapa kamu bercerai dengan suamimu?”tanya Chef Gilang hati-hati. Aku tersenyum pahit, “Itu karena Ibu Mertua saya merasa bahwa saya tidak pantas menjadi menantu di keluarganya. Saya sering disakiti oleh perkataannya yang menyakitkan. Sehingga saya memutuskan untuk bercerai dengan suami saya.” “Apa suami kamu tahu masalah kamu dengan Ibu Mertua?”tanyanya langsung kujawab, “Tidak, saya tidak pernah menceritakan semua masalah saya dengan Ibu Mertua padanya.” “Kalian kurang berkomunikasi.”gumamnya pelan tidak terdengar olehku. “Apa suami kamu menerima keputusan kamu untuk bercerai?”Aku kembali mengingat tentang Rezal yang mencoba menggangguku sampai aku tidak bisa menghitungnya saat dia selalu berhasil menemui tempat tinggalku saat di Bandung sehingga aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta Selatan agar dia berhenti. “Suami saya sering kali mengganggu saya, Chef. Hingga saya yang tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar, diterakhir pertemuan kami, saya menumpahkan amarah saya bahwa saya tidak ingin hidup bersamanya lagi.” “Kenapa kamu tidak ingin hidup bersamanya lagi, padahal jelas suami kamu tidak bersalah dan dia ingin hidup bersama kamu, Mes.”katanya membuatku tertegun aku mnegetahui semua ini karena keegoisanku untuk tidak bertemu dengannya padahal kami tidak mempunyai masalah di dalam pernikahan. “Karena jika mengingat wajahnya membuat saya mengingat wajah Ibu Mertua yang mengatakan hal-hal menyakitkan.”kataku seraya menahan air mata yang hendak jatuh. “Ah, maafkan saya juga telah membuka luka lamamu.”katanya merasa menyesal. “Semua ini pilihan kamu. Hidup ini adalah keputusan kamu, kalau kamu sudah mengatur kehidupan kamu bagaimana ke depannnya, berarti langkah selanjutnya adalah kamu harus bertanggungjawab membuat hidupmu bahagia. Saya tidak menyalahkanmu, karena hiduplah sesuai dengan keinginanmu karena itu adalah hal yang terbaik dan terasa nyaman.”kata Chef Gilang memberiku motivasi. “Terimakasih, Chef.” “Jangan lupa konsultasi dengan dokter anak, namanya Nauval.”nasihatnya mengingatkanku. Aku tidak salah bercerita tentang kehidupanku pada Chef Gilang, dia adalah orang yang peduli dan selalu membuatku tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD