TIGA

921 Words
Erick membawa Aisha ke halaman belakang sekolah. Disini tidak seperti yang kalian pikirkan dimana rata-rata halaman belakang pasti tidak terawat, sepi dan hanya terdapat gudang. Semua itu berbanding terbalik, disini halaman belakangnya mempunyai taman yang dihiasi berbagai macam bunga, kursi taman dan kolam ikan kecil. Erick membawa Aisha kesalah satu kursi agar Aisha duduk. Erick heran kenapa Aisha sedari tadi hanya diam tak berkata apa-apa. Apa gadisnya masih sakit? Aisha tidak sakit, dia hanya sedang memikirkan pernyataan Erick tadi. Bukankah dulu Jojo yang meminta Aisha untuk merahasiakan hubungan mereka, maksudnya backstreet. Memang gak penting sih bagi orang tau akan hubungan mereka karena Aisha dan Jojo hanya butiran debu bila ibaratkan seperti itu. Tapi tetap saja kan jadi pertanyaan kenapa sekarang Erick malah dengan gamblangnya mengumumkan hubungan mereka? Itulah yang ada dipikiran Aisha sekarang. "Erick" panggil Aisha pelan, Erick hanya menoleh dan mengangkat alisnya pertanda bertanya apa. "Kenapa kamu malah bilang tentang hubungan kita didepan semua orang tadi" "Memangnya kenapa?" tanya balik Erick, nadanya ketus. Aisha meringis dalam hatinya melihat keketusan Erick, "Bukannya kamu dulu yang minta backstreet?" Pertanyaan Aisha membuat Erick spontan menegakkan tubuhnya, berusaha bersikap biasa saja agar Aisha tidak curiga. "Aku berubah pikiran" jawab Erick singkat "Secepat itu? Maksud aku, dulu kan kamu yang ngotot dan mewanti-wanti aku supaya jangan sampai ada yang tahu kecuali Intan" ucap Aisha hati-hati, karena Aisha tahu Jojo yang sekarang lebih cenderung emosional. Erick dengan cepat mencengkeram lengan Aisha agar menatapnya penuh, Aisha takut akan tatapan Erick yang tiba-tiba berubah tajam. "Ingat ini baik-baik Ai" ingat Erick dengan nada rendah, Aisha menahan nafasnya takut. "Apapun yang aku katakan, itu sifatnya final dan mutlak. Tidak ada siapapun yang bisa mengubahnya kecuali aku. Paham?" sentak Erick diakhir, membuat Aisha menganggukkan pelan. Jantungnya berdetak sangat kencang, takut akan sifat Erick yang seperti ini. "Dan aku mau semua orang tahu bahwa kamu adalah milik aku. Milik seorang Erick. Itu jawaban pertanyaan kamu!" Erick tiba di rumahnya yang begitu besar, dia hanya tinggal bersama kakeknya dan beberapa pelayan. Jangan tanya dimana orang tuanya, karena Erick sangat malas membahasnya. Lebih tepatnya enggan karena itu hanya akan membawanya pada luka lamanya. Erick membanting kasar tubuhnya diatas ranjang berukuran sedang yang berada didalam kamarnya. Kamar Erick seperti kamar laki-laki pada umumnya yang cenderung didominasi warna-warna gelap seperti abu-abu. Kamar Erick termasuk kamar yang besar dan cenderung mewah. Dimana ada kamar mandi, walk in closet, ruang belajar, sofa dan perabotan lainnya. Erick berdecak kesal ketika suara ponselnya berbunyi dan sukses membuat Erick mengumpat. “Kenapa om?” ujar Erick, ketika mendapati bahwa omnya yang sedang berada di belanda menelfonnya. Fyi, om Erick itu berprofesi menjadi dokter. Rahang Erick mengetat ketika mendengar perkataan omnya yang bernama Reyhan “Jangan biarin dia sadar om, dia gak boleh sadar dalam waktu dekat ini” “Aku gak peduli, dia pantas menerimanya. Ini gak sebanding dengan apa yang dia udah lakuin dulu” tangan kiri Erick mengepal mengingat apa yang sudah b*****h itu lakukan padanya dulu. Erick tidak bisa melupakan itu dengan mudah, karena baginya itu sudah sangat-sangat fatal. “Aku mohon om” ucap Erick dengan nada memelas berbanding terbalik dengan ekspresinya saat ini. “Thank you, om” ucap Erick sebelum menutup telfonnya. Erick menyeringai samar sebelum beranjak ke kamar mandi membersihkan diri. Berbeda dengan Erick, jauh di sana Reyhan memandang langit cerah sambil menghela nafasnya kasar. Kapan mereka akan akur? Erick menuruni anak tangga sambil memakai jaket kulitnya yang berwarna hitam, dia akan bertemu Axel—sahabatnya. “Mau kemana Ken?” tanya sang kakek yang tengah duduk santai dikursi pijat. Sang kakek, memang selalu memanggil Erick dengan nama depannya yaitu Ken. “Ketemu Axel Kek. Kakek udah makan?” Erick mendekat sambil mencium tangan Kakeknya—Prambudi. Sikap Erick yang hormat seperti ini sangat jauh berbeda dengan tampilan badboynya. “Sudah Ken, nanti jangan pulang terlalu malam ya?” “Baik Kek. Erick pergi dulu ya?” “Hati-hati” ucap Prambudi sebelum Erick melangkahkan kakiknya menuju garasi yang terletak disamping rumahnya. Malam ini, Erick lebih memilih menaiki motor sport berwarna biru, motor kesayangannya. Erick menyelakan motornya, mengatur gas dan pergi menembus gelapnya malam. "Ngapain ngajak gue kesini?" tanya Erick meninggikan suaranya, mengingat saat ini mereka tengah berada di club malam terkenal di Jakarta. "Minumlah, ngapain lagi?" sahut Axel cuek, menegak lagi cairan favoritnya. Sudah gelas kesekian, tapi Axel masih saja menegaknya. Herannya, dia tak terlihat mabuk sama sekali. Maklum, Axel sudah terbiasa meminumnya sehingga tubuh Axel menjadi kuat dari pengaruh Alkohol. Erick berdecak kesal, Erick kira ada hal penting yang dibicarakan karena Axel menelfonnya dengan nada yang serius. Pada kenyataannya? Cih, Erick berdecih dalam hati. "Lo buang-buang waktu gue aja. Gue cabut!" ujar Erick yang langsung ditahan Axel. "Mau kemana Lo? Temenin gue minum dululah, lagian Lo baru aja sampai masa iya langsung cabut gitu aja" "Gue ada urusan lebih penting dibanding nemenin Lo yang lagi galau. Minta temenin aja salah satu cewek disini, pasti mereka mau asal Lo bayar" "Ya jelaslah, mereka kan cewek bayaran. Eh, tapi Lo mau pergi kemana? Ini udah malem" "Bukan urusan Lo" "Jangan-jangan Lo mau ketemu cewek ya?" tebak Axel, matanya mengerling jahil. Melihat Erick yang diam dan mengalihkan pandangannya, membuat Axel yakin bahwa sahabatnya itu ada sesuatu dengan seseorang. Tunggu, jangan-jangan gadis itu, mengingat Erick pernah membahasnya beberapa kali. "Lo udah ketemu sama dia?" "Jahat banget, Lo gak cerita sama gue. Tapi gue maklum sih, secara Lo kan bucin. Dihidup Lo, cuma satu cewek itu aja padahal banyak cewek lain di dunia ini. Apa sih keistimewaan dia, sampai-sampai membuat seorang Erick berubah bucin?" ujar Axel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bacot Lo Ax, gue sumpahin Lo bakal lebih bucin daripada gue hanya karena cewek. Gue pergi!" Erick melenggang pergi meninggalkan Axel yang tertawa mendengar sumpahan Erick. "Gue? Bucin? Hahaha! Gak mungkin. Mana ada cewek yang bisa bikin gue lebih bucin dari darah?" Axel masih terkikik geli, tidak percaya omongan Erick yang baginya hanya lelucon. Well, kita lihat saja nanti!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD