Miss You, Mom And Dad

3062 Words
Evans dan Kiara kini sedang berada di salah satu toko pakaian. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Kiara menuruti permintaan Evans untuk membelikannya baju. Bagaimanapun, dia tidak mungkin hanya mengenakan satu pasang baju itu setiap hari. Ia tidak mungkin juga mengenakan baju Evans terus meskipun pria baik hati tidak mempermasalahkannya sama sekali. "Ambil saja mana yang kau inginkan. Kali ini kakak akan membayarnya berapapun. Anggap saja ini bonus dari pekerjaanmu yang luar biasa," jelas Evans saat mereka memasuki toko pakaian itu. Kiara melangkahkan kakinya ragu, tapi ia tepis kemudian keraguannya. Evans tidak akan memintanya membayar itu kembali. Ia sudah mengenak sosok bosnya itu. "Makasih, kak," balasnya dengan senyum. Beruntung juga hari ini kuliah siang, dia bisa membeli baju dulu sebelum ke kampus. Ia memilih beberapa potong pakaian yang dia suka. Tetapi tetap saja dia melihat harganya terlebih dahulu. Jika baju itu mahal, ia tidak akan mengambilnya. Terkumpul sudah beberapa potong pakaian pilihan Kiara. Kebanyakan pilihannya adalah kemeja agar bisa digunakan ke kampus. Hanya sedikit kaos yang diambilnya. "Kenapa hanya sedikit? Kau yakin sudah cukup?" tanya Evans saat Kiara membawa semua baju pilihannya ke kasir untuk dibayar. Kiara mengangguk. Sudah cukup menurutnya. Lima potong kemeja yang akan bisa dia gunakan bergantian selama seminggu untuk ke kampus, tiga potong kaos untuk dipakai di rumah, dua jeans dan tiga celana pendek. Beberapa pakaian dalam, itu yang penting. Evans kembali menyeret Kiara menjauhi kasir setelah meminta wanita berseragam hitam itu untuk menunggu. "Ambil saja sebanyak yang kau mau, tidak perlu memikirkan harganya," perintahnya lagi. "Sini kakak bantu," kata Evans menarik tangan gadis itu mendekati rak-rak pakaian tempatnya tadi memilih. Evans memilah-milah kemeja yang digantung. "Bagaimana dengan yang ini, sepertinya sangat pas untukmu," katanya menempelkan satu kemeja bermotif bunga-bunga di bagian depan tubuh Kiara. Kemudian memaksa tangan Kiara untuk memegangnya sebelum dia memilah kemeja lainnya. Demikian juga yang dia lakukan ketika berada di rak kaos dan baju rumahan. Mengambil beberapa jeans lagi setelah menanyakan ukuran Kiara. Dan juga dua pasang flatshoes, saat Evans menyadari Kiara tidak mempunyai sepatu untuk digunakan ke kampus siang nanti. Saat ini dia hanya menggunakan sandal rumahan. Keduanya kembali dengan tangan Kiara yang penuh dengan baju-baju pilihan Evans. Ketika pria ini berbaik hati, dia sama sekali tidak punya daya untuk menolaknya. Alhasil, jadilah belanjaannya menggunung seperti itu. "Cepatlah berganti pakaian. Kau harus bekerja bukan pagi ini?" perintah Evans saat mereka tiba di cafe. Kiara mengangguk, membawakan semua belanjaannya ke kamar tempat dia tidur. Turun dengan cepat ke loker dan mengganti seragamnya. Ini masih jam sebelas pagi, yang berarti dia masih punya waktu tiga jam untuk bekerja sebelum berangkat ke kampus. Tadi pagi-pagi sekali, teman-temannya pelayan di cafe sudah mendengar cerita tentangnya yang kabur dari rumah. Ia terkpaksa menceritakannya karena semuanya pada ingin tahu saat melihat Kiara turun dari lantai dua yang mereka sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke sana dan tidak tau menau tentang apa yang ada di sana. Tebakan mereka itu hanya ruang kerja Evans, bos mereka saja. Kiara mengambil satu kemeja yang dia beli tadi dan segera memakainya. Ia harus buru-buru jika tidak ingin terlambat. "Hei, ada angin apa kau berubah penampilan? Kau baru memenangkan lotre? Dan kau juga lebih cepat sepuluh menit dari biasanya," goda Joanna saat melihat Kiara tiba dengan penampilan barunya. Eh, bukan. Dengan baju barunya. Karena gayanya masih sama seperti Kiara yang biasanya. No make up dan rambut dicepol. "Hanya sedikit keberuntungan setelah kesialan," balasnya santai dan duduk di sebelah Joanna. "Tapi kau terlihat cantik, Kia," imbuh Alan yang sejak tadi memandangi Kiara tanpa berkedip. Meneliti Kiara. "Jangan menggodaku, Lan. Aku tidak tertarik," balas Kiara dengan nada jenaka. Joanna tertawa dan menepuk-nepuk pundak Alan. Seakan menyemangati pria tampan itu. Ya, sahabatnya itu memang lumayan tampan. "Ah, kuliah satu ini memang membosankan!" gerutu Joanna tepat setelah dosennya melangkahkan kaki dari pintu kelas. Hampir tiga jam mereka hanya duduk diam mendengarkan ceramah dari dosen satu itu. Tanpa jeda, terdengar seperti dongeng sebelum tidur saja karena hanya interaksi satu arah. Tapi sayangnya tatapan dosen cerewet itu tak mengijinkan siapapun untuk tertidur. Benar-benar menyiksa. "Loh, kenapa menunggu angkot? Bukannya kau pulang dengan bis? Kau mau kemana?" tanya Joanna saat Kiara tidak ke halte bis seperti biasanya. Sahabatnya itu hanya berdiri di depan gerbang kampus. "Oh, aku harus ke cafe dulu," bohong Kiara. Tidak sepenuhnya bohong memang. Dia memang akan ke cafe, tetapi tidak akan pulang ke rumah. Joanna menganggukkan kepalanya, mengerti. Tapi tidak dengan Alan. Pria itu sepertinya penasaran kenapa Kiara ke cafe lagi. Bukankah dia bekerjanya pagi? "Kenapa ke cafe lagi, Kia? Kau sudah bekerja kan tadi pagi? Ada yang ketinggalan di cafe?" selidik Alan. Kiara menyadari maksud perkataan Alan. Sahabat laki-lakinya itu pasti sedang mencurigainya. Apalagi setelah melihat Kiara dengan tampilan barunya. "Aku ada urusan sebentar dengan kak Evans. Ini masalah pekerjaanku. Tadi belum sempat diselesaikan karena sibuk," bohong Kiara, berharap Alan tidak akan menanyainya lagi. Ia bukan pembohong ulung yang bisa membuat cerita secepat itu. Ia tidak menceritakan seluruh kisahnya bukan karena dia pembohong, tapi dia tidak terlalu terbuka soal pribadi. "Oh begitu. Aku pikir kau akan bekerja lagi malam ini. Hampir saja aku ingin kesana dan memarahi bosmu itu." Kiara tersenyum miris. Kenapa Alan harus memarahi Evans? Bosnya itu tidak pantas mendapat perlakuan kasar seperti itu. Evans sudah seperti malaikat penolong baginya yang seperti mengetahui keadaannya dan langsung berada di sana saat dia membutuhkan pertolongannya. "Kau terlalu berlebihan, Lan," celutuk Joanna. Angkot yang mereka tunggu beda arah. Joanna sudah mendapatkan yang dia tunggu dan meninggalkan dua sahabatnya itu. Hanya beberapa detik kemudian, yang ditunggu Kiara juga datang. Sedangkan Alan membawa motor. Itu sebabnya dia sering menawarkan diri untuk mengantarkan Kiara, tapi selalu ditolak. Kiara sudah tiba di cafe. Dia membersihkan diri dan memutuskan untuk melayani cafe lagi hingga malam nanti. Kebetulan tidak ada tugas yang harus dia kerjakan malam ini. Semacam mengabdikan diri karena si pemilik cafe sudah banyak membantunya. "Kalian jangan lupa makan!" Evans mengingatkan karyawannya akan satu hal itu. Ya, seperti itulah dia yang sangat peduli dengan orang di sekitarnya. Pandangannya kemudian tertuju pada sosok Kiara. Seingatnya Kiara bekerja pagi. Evans melangkahkan kaki mendekati Kiara. "Kau bukannya kerja pagi? Kenapa sekarang bekerja lagi?" tanyanya. Kiara menoleh lantas tersenyum. "Aku lagi tidak ada kerjaan, kak. Daripada bengong saja di kamar, lebih baik aku bantu-bantu di sini. Lagian pelanggannya lagi banyak," balas Kiara yang menunjuk ke arah pelanggan dengan gerakan mata. Evans memang melihat cafe lagi sangat ramai. Penuh, mungkin. "Tenang saja, kak. Aku tidak akan meminta bayaran tambahan. Anggap saja sedikit balas budi," kata Kiara lagi. Evans tersenyum. "Ya sudahlah. Kau jangan lupa makan malam," perintahnya yang diangguki Kiara dan mengangkat kedua jempol tangannya setelah mengapit nampan kosong yang tadi dipegangnya. Evans tersenyum kecil. Gadis satu ini, batinnya sambil melangkahkan kaki meninggalkan Kiara. *** "Ma, bagaimana ini? Kita makan apa malam ini? Tadi pagi sama siang sudah membuang uang dengan membeli sarapan yang tidak berasa itu," rengek Luna pada Salsa. Ya, mereka dilanda kebingungan sekarang. Bagaimana tidak, satupun dari ketiganya tidak ada yang mengerti masalah dapur. Apalagi yang ada di dapur mereka adalah tungku. Kompor gasnya sudah lama tidak digunakan dengan alasan menghemat. Ah, Kiara yang mengambil keputusan itu. Membuat di jaman ini masih menggunakan tungku. Tapi wajar bukan? "Kalian jangan membuat mama pusing. Kalian sendiri yang membuat mama emosi dan mengusir Kiara dari rumah. Sekarang bantu mama memikirkan sesuatu!" perintah Salsa pada kedua putrinya. Sial, mereka sama sekali tidak tau dimana Kiara bekerja atau kuliah. Tidak pernah mengenal satupun teman Kiara. Intinya, mereka tidak tau apa-apa tentang Kiara selain nama dan kenyataan bahwa gadis itu cocok menjadi pembantu mereka karena sungguh pekerja keras. Mencoba menelepon, sama sekali tidak terhubung karena ponsel Kiara sudah rusak dan tidak bisa menyala lagi. Ponsel butut itu sudah masuk museum dan Kiara belum berencana menggantinya. Bukan tidak berencana, tapi belum memikirkannya karena uang. Jadilah menikmati hidup di jaman dimana ponsel belum diciptakan. Tidak buruk! Kiara bukan seperti anak di abad dua puluh satu lainnya yang ketergantungan benda canggih itu. "Sebaiknya kalian beli saja lagi. Tidak mungkin kita tidak makan," perintah Salsa. Kedua gadis kembarnya menghela nafas. Berat ternyata hidup mereka tanpa gadis kucel yang selalu mereka siksa itu. Lala menerima uang pemberian ibunya dan keduanya pergi menyusuri jalanan mencari makan malam yang mungkin lebih baik dari yang mereka makan pagi dan siang tadi. Sepayung berdua karena hujan masih saja turun sejak menjelang malam tadi. "Ah, ini benar-benar menyebalkan," gerutu Luna. "Bukan hanya menyebalkan, kak. Tapi juga menjijikkan. Lihat ini, bagaimana kalau di bawah genangan air ini ada cacing atau makhluk menjijikkan lainnya?" kata Lala menanggapi kakak kembarnya. Selama ini dia memang tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ayahnya dulu adalah seorang pengusaha terkenal. Keduanya adalah anak manja ayahnya. Sang ayah akan melakukan apapun untuk memenuhi permintaan mereka, membahagiakan mereka. Hidup layaknya tuan putri yang bisa dengan mudah mendapatkan apa saja yang diinginkan. Tapi ternyata ayahnya terlibat kasus penipuan pada kliennya dan berujung pada kematian karena pihak yang ditipu mengetahuinya. Terjadi usaha saling melenyapkan di antara kedua pihak. Jadilah segala sesuatu yang ditinggalkannya untuk menyelesaikan masalah itu. Perusahaannya sendiri harus berpindah tangan. Tidak seberapa yang tersisa saat semuanya terselesaikan. Mereka tidak bisa kabur karena kasusnya sampai ke pihak berwajib. Kemanapun mereka pergi, akan ditemukan juga. Pada ujungnya mereka berakhir di rumah itu saat ibunya memutuskan untuk menikah lagi demi menjaga taraf hidup. Tapi semuanya sirna karena hanya sekejap mereka bisa menikmati hidup yang pernah dirasakannya dulu. Lelaki paruh baya yang mereka andalkan akan membuat mereka menjadi ratu lagi ternyata meninggal dunia. Lagi-lagi mereka harus menelan pahitnya kehidupan. Keberadaan Kiara cukup membantu mereka karena tak harus melakukan pekerjaan rumah. Setidaknya masih bisa memerintah gadis yang hanya dua tahun lebih muda dari mereka itu untuk melakukan apa saja keinginannya. Licik memang. Dan kondisi itu harus berakhir juga setelah dua tahun lamanya. Mereka tidak mempunyai siapa-siapa lagi sekarang untuk diperintah seperti itu. Harus melakukannya sendiri mulai sekarang, dan ternyata menyakitkan. "Ma, kita harus cari Kiara secepatnya. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa tabungan kita habis tanpa sisa," usul Luna. "Iya, ma. Melelahkan sekali harus membeli makanan di luar. Harus mencuci sendiri. Lala tidak mau lagi, ma," tambah Lala. "Atau, mama menikah lagi saja. Cari duda tua yang kaya, yang sebentar lagi akan meninggal. Jadi kita menjadi ahli warisnya," ide Lala lagi. Tapi ide itu membuat mamanya tersenyum licik. "Benar juga kata kamu La, kenapa mama tidak mencari pria seperti itu saja? Bukan seperti Jack yang hanya seorang karyawan." Salsa memeluk kedua putrinya dan mencium pipi Lala. "Ah, kamu memang anak mama. Mama akan cari pria seperti itu. Sebelum menikahinya, mama harus memastikan kalau dia punya warisan yang cukup untuk menghidupi kita hingga tujuh turunan," kata Salsa dengan seringai liciknya. Wanita ini ternyata masih belum berubah. Malah semakin gila lagi. Kecintaannya pada uang membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik. "Lalu kita akan membiarkan Kiara begitu saja sudah menelantarkan kita?" tanya Luna lagi. Salsa menatap putri pertamanya. "Tidak akan, sayang. Nanti setelah kita kaya, kita akan lebih mudah untuk menemukannya. Jadi yang paling penting untuk saat ini adalah menemukan pria kaya untuk menjadikan kita kembali kaya." Salsa tersenyum dan menyusun rencananya. "Tapi kalau memang tidak menemukan pria tua yang kaya, kalian menikah dengan pemuda kaya. Kalian siap?" tanya Salsa menatap kedua putrinya bergantian. Sifat licik Salsa ternyata menurun dengan baik pada kedua anaknya. Sempurna sekali! Apa karena ternyata ayah kandungnya juga licik? Entahlah, mungkin mereka hanya belum menyadari sisi baiknya saja. Terlalu terobsesi menjadi orang kaya yang berkuasa atas segala hal di dunia ini. *** "Kia, apa yang kau pikirkan? Kenapa bengong saja?" tanya Evans saat melihat Kiara terduduk di salah satu kursi cafe dengan kepala menunduk. Masih dengan seragam pelayan yang melekat di tubuhnya. Kiara mengangkat wajahnya menatap Evans. "Ah, tidak apa kak," katanya dan menyembunyikan sesuatu yang dia pegang tadi di bawah meja. Cafe sudah mulai sepi, hanya beberapa orang yang masih menikmati makan malam telatnya. "Apa itu?" tanya Evans menyadari Kiara menyembunyikan sesuatu di tangannya. Mendekati Kiara dan ikut duduk untuk mengetahui apa yang ada di tangan Kiara. "Bukan apa-apa," elak Kiara lagi memaksakan senyumnya untuk Evans. "Apa kau merindukan keluargamu? Kau ingin pulang dan kembali bersama mereka?" tanya Evans hati-hati. Kiara menatap Evans dan menggeleng. "Aku tidak punya keluarga lagi, kak. Aku hanya merindukan ayah dan ibu," akunya pada akhirnya. Dia mengangkat tangannya dan menunjukkan apa yang dia sembunyikan tadi. Foto masa kecilnya bersama kedua orang tuanya. Mungkin saat itu dia masih berusia lima tahun, seingatnya. Saat mereka sekeluarga sedang liburan ke Jepang di musim dingin. Menggunakan mantel tebal dengan bulu-bulu di topi yang melingkari wajah. Ketiganya tersenyum ke arah kamera. Evans menatap foto itu. Kiara kecil ternyata sudah sangat cantik dan menggemaskan, terlebih dengan pipi tembem dan mata coklatnya yang bulat. Wajah yang dia punya delapan puluh persen milik sang ibu yang juga sangat cantik. Sangat disayangkan Kiara harus menerima semua takdirnya yang sangat menyedihkan ini. Seharusnya dia hidup senang bak seorang putri. Evans bangkit dari duduknya dan memeluk tubuh mungil itu. Menarik kepala cantik Kiara untuk bersandar di dadanya. Mengelus punggung yang sedikit bergetar, sepertinya Kiara sedang menangis. Beruntung posisi mereka ada di pojok ruangan, mungkin tidak akan ada yang memperhatikan mereka sekalipun kondisi sepi seperti ini. "Sebaiknya kau naik saja, ganti seragammu dan istirahatlah," kata Evans setelah beberapa menit memeluk Kiara. Kiara mengangguk di pelukan Evans. Evans menggiringnya ke belakang untuk naik ke lantai dua. Beberapa pelayan yang masih tersisa melihat keduanya dan saling memandang karena bingung. Kiara merebahkan tubuhnya di kasur empuk, menarik bed cover hingga lehernya. Mencoba menutup mata dan istirahat. Hari ini memang cukup lelah, walau dia cukup menikmatinya. Keinginannya untuk ikut bekerja lagi saat malam memang tulus, tidak ada unsur paksaan sedikitpun. Kiara merasakan tubuhnya menggigil. Dia semakin meringkuk memeluk kedua lutut dengan kaki ditekuk di atas kasur seperti bayi. Nyatanya bed cover tebal itu tidak sedikitpun memberikan kehangatan bagi tubuhnya yang kedinginan. Apa yang terjadi padanya? Dia tidak menyalakan AC ruangan ini sama sekali. Lalu kenapa rasanya sangat dingin? Giginya bahkan gemelutuk karena bergetar. Erangan tak bisa ditahannya lagi untuk tidak keluar dari bibirnya. Evans terbangun mendengar suara-suara aneh dari sebelah. Kenapa Kiara mengerang sejak tadi? Dia bergegas menuju kamar Kiara. Diraihnya saklar untuk menyalakan lampu karena kamar itu gelap sekali. Mungkin Kiara sengaja mematikan semua lampu agar bisa tertidur. Evans terkaget mendapati Kiara yang meringkuk di kasur. Erangannya masih belum terhenti walau matanya terpejam. Dengan langkah cepat, dia mendekati Kiara. Hal pertama yang dia lakukan adalah menempelkan punggung tangannya di kening Kiara. Panas! Evans berbalik lagi untuk mengambilkan air hangat dan handuk kecil. Hanya dalam satu menit, dia sudah kembali ke kamar itu lagi. Membasahi handuk kecil dan menempelkannya di kening Kiara. Masih dengan wajah bingung kenapa tiba-tiba Kiara panas seperti ini. Tadi dia baik-baik saja. Sangat baik. Mungkinkah karena rasa rindunya pada kedua orang tuanya? Evans jadi merasa kasihan pada Kiara. Lama menunggui Kiara dan mengganti kompresnya berkali-kali, panasnya belum juga turun. Dipandanginya wajah cantik yang memucat itu. Evans teringat akan kedua orang tuanya. Bagaimana dia memperlakukan kedua orang tuanya selama ini karena kesalahan mereka. Bukankah seharusnya dia memaafkan mereka? Bukankah kedua orang tuanya berhak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan di antara mereka? Evans memang terlahir di luar pernikahan, dengan nama Febryan. Lahir disaat ibunya -Laurra- masih di bangku kuliah sedangkan ayahnya -Fabian- sedang magang di perusahaan kakeknya. Sang kakek -Fadly- yang merupakan orang terpandang dengan perusahaan besar miliknya di Swiss, tidak mau mengambil resiko anaknya menjadi tidak berguna. Menolak keberadaan Laurra dan Febryan di keluarga mereka. Terlebih jika Fabian masih bergantung pada Fadly. Walau kenyataan Fabian adalah anak angkatnya karena dirinya tak mendapat keturunan hingga di usia tuanya. Ya, keluarga mereka dulu tinggal di Swiss. Fabian memenuhi keinginan Fadly, memfokuskan diri menjadi pewaris tunggal perusahaan ayahnya, dengan tetap mengirimkan biaya hidup untuk Laurra dan anaknya. Sedangkan Laurra berjuang menjaga Febryan, yang sering disapa Ryan itu sambil terus menyelesaikan kuliahnya. Kedua orang tuanya akhirnya memutuskan untuk menikah setelah dia berusia lima tahun. Dimana sang ayah sudah menjadi General Manajer di perusahaan kakeknya. Sang ibu di daulat menjadi sekretarisnya karena sifat keduanya yang tidak bisa dipisahkan layaknya prangko. Keadaan itu membuat kedua orang tuanya lupa akan keberadaan dirinya yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan dan menghabiskan waktu berdua layaknya remaja yang sedang kasmaran. Tak pernah punya waktu untuk Ryan, bahkan sangat jarang berbicara dengannya. Pagi-pagi sekali sudah pergi saat Ryan masih terlelap dan akan kembali larut malam setelah menghabisakan kencan mereka di luar sana saat Ryan sudah kembali tertidur. Mereka mempercayakan Ryan yang masih berusia lima tahun itu pada pengasuh yang akan mengurusi semua kebutuhan, hanya dengan memberi uang pada mereka. Bahkan tak berencana memberikan Ryan adik karena merasa akan terganggu dengan kehadiran anak lagi. Lalu kenapa keduanya membuat Ryan dulu? Apakah kegilaan akan kekayaan yang membuat pripsip mereka berubah? Keadaan masih terus berlanjut hingga Ryan beranjak remaja. Kedua orang tuanya telah menjadi pemilik perusahaan karena kakeknya telah meninggal. Kondisi ini semakin membuat keduanya semakin sibuk. Kegiatan yang biasanya ditambah harus ke luar kota atau bahkan ke luar negeri karena semakin berkembangnya perusahaan. Usaha kakeknya memang berhasil untuk menjadikan Fabian sesukses ini dalam memegang kendali perusahaan. Tapi tidak disadari kalau Fabian sudah gagal menjadi seorang ayah, bahkan mempengaruhi Laurra menjadi ibu yang gagal juga bagi anak mereka. Saat itu Ryan sudah bisa berpikir. Ingin menyadarkan kedua orang tuanya dengan hal-hal yang bisa dia pikirkan, tapi sepertinya tidak baik dengan melakukan hal seperti itu. Ya, yang dia pikirkan saat itu adalah membuat kerusuhan yang akan menyeret nama kedua orang tuanya. Bukan hal yang sulit baginya untuk melakukan itu. Atau mungkin dengan merusak dirinya. Tapi dia tidak sebodoh itu. Yang menjadi pilihan Ryan pada akhirnya adalah kabur dari rumah. Hal itu dia lakukan tepat setelah menyelesaikan sma-nya. Mencairkan semua uang yang dia miliki di atm dan pergi jauh dari mereka. Dia kembali ke Jakarta, kota asal kakeknya. Menghilangkan semua jejak agar kedua orang tuanya tidak bisa menemukannya sampai kapanpun, atau siapapun orang suruhan mereka. Ryan memilih mengganti namanya dengan Evans Rodriguez dan melupakan nama Gunawan yang menjadi nama belakang keluarganya. Dia tidak ingin mengingat mereka lagi dengan nama itu, walau sebenarnya nama itu sangat banyak di Jakarta. Lebih baik cari aman saja. Uang dalam jumlah banyak yang dia cairkan itu akhirnya dia gunakan untuk membuka usaha. Awalnya restoran, tapi harus berhenti karena tidak banyak peminatnya. Pada akhirnya, dia mencari konsep unik dan membuka cafe yang dimilikinya saat ini, dan sudah mulai membuka beberapa cabang. Dia menjadi orang yang sangat peduli seperti sekarang ini karena pengalaman hidupnya cukup panjang menjadi orang yang tidak dipedulikan. Dia sangat mengerti rasa sakitnya. Tidak ingin semakin banyak orang yang merasakannya, maka dia menjadi dirinya yang sekarang. Beberapa kali selama sebelas tahun ini dia mendengar kabar kalau orang tuanya mencarinya, tapi dia tidak ingin kembali. Kembali ke sana mungkin akan mengubahnya menjadi orang yang sama seperti ayah dan ibunya. Dia menolak! Tapi bagaimana kabar kedua orang tuanya saat ini? Apakah mereka baik? Dia jadi merasa sedikit rindu dilengkapi rasa bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD