Is That Real?

2222 Words
Keduanya saling terdiam dalam perjalanan. Nyatanya Kiara harus menaiki mobil bosnya juga. Kondisinya yang sudah menggigil kedinginan karena basah mampu membungkam mulutnya untuk tidak bicara. Kiara memasuki salah satu kamar yang terdapat di lantai dua cafe tempatnya bekerja. Dia tidak menyangka kalau ternyata di bagian atas cafe itu ada dua kamar tidur dengan ukuran cukup luas. Setaunya, di atas itu hanya ada ruangan kerja Evans dan tempat istirahatnya –ya, hampir menyerupai kamar tidur lengkap dengan kasur queen size-nya. Tadinya dia meminta tinggal di cafe, maksudnya adalah ruangan di bagian belakang –berdekatan dengan loker- yang biasa di jadikan para karyawan tempat istirahat mereka. Ruangan itu memang kosong sama sekali tanpa perabot, hanya ada satu karpet untuk alas duduk mereka. "Kau boleh menempati kamar ini. Dan sebaiknya kau mandi air hangat dan langsung tidur saja. Apa kau sudah makan malam?" tanya Evans begitu perhatian. Kiara menggeleng lemah. Dia memang belum makan malam, dan ini sudah jam sembilan malam. Kini angin yang memenuhi tubuhnya membuatnya tidak merasa lapar sama sekali. "Kakak akan ambilkan makan malam untukmu, kau bersihkan saja dirimu," perintah Evans tegas dan langsung meninggalkan Kiara tanpa menunggu Kiara membalasnya. Kiara menurutinya saja. Kalau dibiarkan begitu, dia akan sakit dan tidak bisa melakukan semua tugasnya besok hari. Tapi yang jadi masalahnya kali ini, dia tidak membawa baju sama sekali salam tasnya. Hanya buku-buku kuliahnya saja yang memenuhi tas itu, juga makanan anjingnya. Ditambah beberapa dalaman yang terikut di dalam tas saat Kiara memasukkan asal buku-buku yang sudah tersebar di atas kasurnya. Entah bagaimana kronologinya, pakaian kecil itu bisa terikut. Dia memang baru saja mengumpulkan pakaian dari jemuran dan menaruhnya di kasur sebelum merapikannya. Tapi Kiara bersyukur untuk itu. Sedangkan anjing pintarnya –Bonie- itu tadi sudah lebih dulu diantarkannya ke bagian belakang cafe. Mengeringkan bulunya, kemudian memberi makan dan berbaring di lantai beralaskan beberapa kain bekas. Kiara menelusuri seisi kamar itu hingga ke dalam kamar mandi. Hanya menemukan bathrobe putih dan memutuskan untuk menggunakannya sebelum menanyakan Evans apakah memiliki sesuatu yang bisa ia gunakan. Ah, ini memalukan sekali. Bagaimana dia bisa meninggalkan hal penting itu saat meninggalkan rumah. Saat Kiara keluar dari kamar mandi, dia menemukan Evans sudah duduk di ranjang dan makan malam serta segelas jahe hangat sudah dia siapkan. Dengan malu-malu, Kiara berjalan mendekatinya. Memastikan kalau bathrobe selutut itu menutupi semua tubuhnya, rapi. "Uhm, kak, apa kau punya sesuatu yang bisa kugunakan? Aku tidak membawa baju sama sekali," tanya Kiara pelan. Evans bangkit dan keluar kamar tanpa mengatakah sepatah katapun. Apakah pria itu marah? Tapi itu bukan gayanya sama sekali. Lebih dari dua tahun bekerja dengannya, tidak sekalipun dia melihat Evans marah. Mungkin itu sebabnya pria itu awet muda. Memang masih muda sih. Pria berusia dua puluh delapan tahun masih mudah bukan? Tak lama kemudian pria itu muncul lagi dengan beberapa pakaian yang terlipat dengan rapi di tangannya. "Ini, kakak hanya punya baju laki-laki saja. Dan sepertinya tidak mungkin kakak meminjamkan celana kakak untukmu. Kau pakai ini saja dulu sebelum besok mencari jalan lain. Pakaianmu yang tadi, mana? Biar kakak kirimkan ke laundry ekspress supaya bisa digunakan besok pagi. Sepertinya dia juga mempunyai stok pakaian di tempat ini. Wajar sih, dia memang sering menginap di sini. Bukan sering lagi, tapi hampir selalu menginap di sini. Dia pria dewasa, mapan dan mandiri. Tapi entah kenapa belum memutuskan untuk menikah. Ah, dia bahkan tidak pernah terlihat sedang bersama dengan seorang wanita. Mungkinkah dia gay? Sayang sekali! Kiara menerima pakaian dari tangan Evans. Mengambil salah satu dari antaranya tanpa memilih dan membawakannya ke kamar mandi. Mengenakannya kemudian keluar dengan membawa pakaiannya yang sudah basah di dalam plastik. Kemeja hitam itu tenyata cukup tipis dan hanya mampu menutupi sebagian kecil paha Kiara. Membuat paha putih mulusnya terekspos begitu saja dan bagian atasnya menerawang karena warna yang sangat kontras. Dia telah salah mengambil kemeja. Kiara yang terlihat malu dengan penampilannya berusaha menarik kemeja yang digunakannya untuk lebih panjang lagi, setidaknya menutup setengah dari paha mulusnya. Tapi yang dia pakai itu bukan berbahan karet yang bisa semakin memanjang. Hal itu membuat Evans meneguk ludah saat melihatnya tanpa disadari Kiara. Ternyata pria itu masih normal! "Maaf merepotkan kakak," kata Kiara sembari menyerahkan pakaian basahnya pada Evans. Evans kembali ke alam sadarnya, dia sudah sempat terhipnotis akan pemandangan indah di hadapannya. Kiara bahkan terlihat seperti w***********g yang baru saja b******a dengannya. Tapi Kiara tidak menyadari hal itu sama sekali, dia hanya merasa malu karena kemeja itu. Dia benar-benar sangat polos. "Eh, iya, tidak apa." Kata Evans tersadar. Menerima plastik dari tangan Kiara lalu berbalik akan meninggalkan Kiara. Tapi langkahnya tertahan, berbalik menghadap Kiara lagi. "Itu makan malamnya dimakan. Ada jahe hangat juga untuk menghangatkan badanmu. Cepat diminum sebelum dingin," perintahnya. Ah, kau memang lelaki idaman, Evans. Sayangnya Kiara yang polos itu tidak mengerti apa-apa. Dia berpenampilan seperti itu saja tidak sadar kalau bisa menggodamu. Kiara langsung menyembunyikan dirinya di balik selimut setelah menghabiskan makan malamnya. Tidak ingin berkeliaran lagi dengan penampilan seperti itu. Apalagi harus turun ke lantai bawah, itu namanya bunuh diri. Dia juga harus berjaga-jaga kalau saja bosnya itu muncul lagi di kamarnya. Rasa nyaman dan hangat mampu menenangkan Kiara dan akhirnya memejamkan mata, melupakan masalah dunia dan terbang ke alam mimpi. Memimpikan sesuatu yang indah sepertinya akan menyenangkan. Tapi dia tidak bisa memaksakannya. Seseorang yang sangat ia kenal datang menghampirinya. Evans. Ikut berbaring di samping Kiara dan memeluk tubuh mungilnya. "Kau sangat seksi mengenakan kemeja itu," bisiknya di telinga Kiara, mampu membuat darahnya berdesir. Ada gelombang aneh yang terjadi di dalam perutnya. Ini aneh, sangat aneh! "Apa kau memang berniat untuk menggodaku?" tanyanya lagi dan disertai ciuman di daun telinga Kiara membuatnya bergidik merasa geli. "Kau sudah membuat hasratku kembali dan kau harus bertanggung jawab akan itu. Aku tak punya cara lain untuk menenangkannya." Sedetik kemudian, Evans sudah menindih tubuhnya dan menyatukan bibir mereka. Tidak ada penolakan sama sekali dari tubuh Kiara walau logikanya melakukan penolakan. Tubuhnya terasa kaku, tak bisa digerakkan. Ini adalah ciuman pertamanya. Ia belum pernah melakukannya. Evans mencecap habis bibirnya, seakan tidak ingin menyisakannya. Melumat bibir merah muda itu tanpa menyisakan satu centipun. Tak ada gerakan balasan dari Kiara tapi Evans melanjutkannya. Gigitan di bibir bawahnya membuat Kiara membuka mulut tanpa sengaja dan dimanfaatkan oleh Evans untuk menjulurkan lidahnya. Menjelajah lebih dalam di mulut Kiara. Evans melepas ciumannya saat merasa mereka kekurangan oksigen. Ia menjilat bibirnya yang basah, entah oleh saliva siapa. "Manis," bisiknya tepat di depan bibir Kiara dan membuat Kiara malu. Pipinya semakin merona saja. Tanpa aba-aba, Evans mengulang hal itu lagi. Kali ini lebih nakal dan akhirnya mendapat sedikit balasan kaku dari Kiara. Evans seakan mengetahui kalau ini pertama kalinya bagi Kiara. Tentu saja, gadis itu sangat polos. Kali ini bahkan tangan Evans ikut bekerja. Membuka satu per satu kancing kemeja hitam yang membalut tubuh indah itu. Tubuh indah yang pasti belum terjamah oleh siapapun. Anehnya, Kiara sama sekali tidak memberikan penolakan atas apa yang dilakukan oleh Evans. Tubuhnya kaku dan tak bergerak menghindar, seolah merasakan hal yang sama. Menginginkan Evans. "May I?" Evans masih bertanya, untuk memastikan apakah tindakannya ini tidak menyinggung Kiara atau mungkin menyakiti Kiara.  Dan balasan dari Kiara hanya sebuah anggukan kepala. Yang berarti ia mengijinkan pria itu untuk melakukannya. Entah apa yang telah terjadi padanya. Entah apa yang telah merasuki dirinya, hingga ia menjadi seperti ini. Seolah memberikan tubuhnya sendiri untuk menjadi bayaran atas semua bantuan yang ia terima dari Evans.  Semua terjadi begitu saja. Begitu cepat. Kini yang tersisa hanya nafas memburu pertanda lelah dan sedikit bau keringat.  Evans membaringkan tubuh polosnya di sebelah Kiara yang juga sama polosnya. Hanya berbalutkan selimut putih yang ia gunakan. Senyum Kiara melebar saat melirik pada pria di sebelahnya.  "Terima kasih Kak, sudah banyak membantuku. Aku mungkin tidak akan bisa membalas sekua kebaikan Kakak," kata Kiara lirih. Evans balas menatap Kiara. "Jadi, apa kau pikir semua ini sebagai balasan untuk apa yang telah Kakak berikan untukmu?" Evans bertanya dengan kedua alis yang terangkat. Kiara meringis. Satu tangannya terangkat untuk memberikan isyarat tidak, sementara tangan lainnya masih setia menahan letak selimut untuk menutup tubuhnya. "Bukan begitu, Kak. Aku hanya berterima kasih pada Kakak. Bukan seperti yang Kakak pikirkan," elaknya. "Tapi caramu mengatakannya seolah seperti itu. Apa kau pikir itu cukup?" Lagi, Kiara malah meringis. Ia tidak berpikir kalau Evans akan menanggapi kalimatnya seperti itu. Padahal ia benar-benar tulus mengatakannya. "Hanya saja, tadi aku belum sempat untuk mengatakannya. Dan mumpung Kakak ada di sini, jadi aku mengatakannya sekarang." Evans menggelengkan kepalanya pelan. Tidak terpikir olehnya, betapa polosnya gadis satu ini. "Kakak tidak yakin seperti itu," godanya lagi. Tak mampu berkata lagi, Kiara hanya bisa menggeleng pelan. Harus bagaimana ia mengatakannya agar Evans percaya? "Aku harus bagaimana agar Kakak percaya padaku?"  "Tidak apa juga jika memang seperti itu. Hanya saja, kau harus menambah bayaranmu. Itu masih belum cukup." "Apa? Maksud Kakak apa?" Kiara bingung. "Kalau begitu ronde berikutnya!" Evans menaikkan nada suaranya. Tanpa aba-aba langsung bergerak cepat. "Aaakhh...!" Kiara menjerit saat Evans kembali menaiki tubuhnya. Jeritan yang sama diteriakkan ketika Kiara terduduk dengan nafas yang memburu. Dilihatnya kasur di sebelahnya tidak ada siapa-siapa, hanya ada dirinya di sini. Pakaiannya masih sangat lengkap dan sama dengan apa yang dia pakai sebelum tidur. Kemeja hitam milik Evans yang sedikit menerawang. Ternyata itu hanya mimpi. Huh, kenapa dia malah bermimpi melakukan itu dengan Evans? Wajah Kiara memanas seketika. "Aaakhh...!" Kiara menjerit lagi saat menyadari ada Evans di dalam kamar itu, tapi berjarak cukup jauh darinya. Pria itu juga ikut berjingkat kaget dengan suara Kiara. Tapi sepertinya pria itu baru masuk ke kamarnya tanpa di sadari. "Kakak kenapa ada di situ?" tanya Kiara dengan bodohnya. Evans meneliti sikap Kiara. "Tadi kau menjerit dan berhasil membangunkan kakak. Kakak pikir kau kenapa-napa, makanya kakak cepat-cepat kemari. Ada apa denganmu? Kau mimpi buruk atau... mimpi apa?" selidik Evans. Melihat wajah Kiara yang memerah, sepertinya itu bukan mimpi buruk. Evans menebaknya. "Aku mimpi... mimpi buruk, kak. Iya, mimpi buruk," jawab Kiara berusaha menutupi kegugupannya. Bayangan mimpinya tadi masih saja melintas di pikirannya. Oke, anggap saja memimpikan dirinya yang tengah b******a dengan Evans yang sudah dianggapnya kakak itu adalah mimpi buruk. "Kau tidak apa kan?" ulang Evans. Kiara menggeleng cepat. "Nggak, kak. Aku nggak apa-apa." Dalam hatinya berdoa semoga pria itu cepat-cepat berlalu dari kamarnya dan melupakan pertanyaan-pertanyaannya itu. Kiara tidak bisa mengontrol tubuhnya untuk tidak mengeluarkan hawa panas dan membuat wajahnya merah padam saat kilasan mimpi itu terus-terusan melintas di benaknya. Evans menggelengkan kepalanya pelan. Membalik tubuhnya dan kembali ke kamar sebelah, dimana dia tidur sebelumnya. Meninggalkan Kiara yang masih dengan wajah merona itu. Wajar jika Kiara mimpi buruk, ia baru pertama kali ini menginap di sini dan dia pergi dari rumah karena berselisih paham dengan ibu tirinya. Tapi ada yang aneh dari Kiara. Ya, wajahnya memerah. Benarkah mimpi buruk membuat wajah memerah? Oh, mungkin saja, ada efek marahnya. Jarum pendek jam masih menunjukkan angka dua. Masih ada waktu untuk istirahat sebentar lagi. Kiara mencoba memejamkan matanya lagi. Setidaknya pagi ini dia tidak harus melakukan kegiatan cuci-masak seperti pagi biasanya. Dia bisa beristirahat lebih lama lagi. Hari Rabu, rutinitas biasanya adalah ke cafe pagi sampai jam makan siang dan kuliah dua satu hingga jam lima sore. Di balik tembok itu, Evans sudah kembali terlelap, tidak terlalu memusingkan dirinya tentang mimpi Kiara. Urusannya semalam cukup membuatnya lelah, belum lagi harus mengurus Kiara, gadis polos yang ceroboh. Bukan tidak tulus. Hey, come on! Tidak ada pria yang lebih tulus dari seorang Evans Cartell. Kiara terbangun lagi saat jam menunjukkan pukul enam pagi. Waktu dimana dia seharusnya sudah dengan kegiatan wajibnya. Bahkan sudah telat, membuatnya tidak bisa berbaring dengan tenang lagi. Kiara memutuskan untuk bangkit dari kasurnya, merapikan rambut hitam sepunggungnya dan keluar dari kamar. Ia memilih turun ke dapur, dan melakukan sesuatu di sana. Menyiapkan sarapan mungkin untuk Evans sebagai tanda terima kasih kecil walau sebenarnya semua bahan yang dia gunakan adalah milik cafe yang berarti adalah milik Evans. Setidaknya Evans akan menghargai usaha kecilnya itu. Evans terbangun saat mendengar suara berisik dari bawah. Jam segini harusnya belum ada yang bersiap membuka cafe. Lalu siapa? Ah, dia teringat dengan Kiara. Apa gadis itu yang menimbulkan suara-suara di bawah sana? Evans bangkit dari tidurnya, dengan langkah gontai mencari keberadaan Kiara di kamar sebelah. Kamar itu kosong, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara dari kamar mandinya, berarti Kiara tidak ada di sana. Menuruni anak tangga satu per satu kemudian berbelok ke arah dapur. Nafasnya tercekat dan langkah kakinya terhenti saat melihat sosok itu ada di sana dengan penampilan yang, err... sexy. Sama seperti bagaimana ia melihatnya semalam. Kali ini rambut hitam itu digelung hingga memamerkan leher putih nan jenjangnya. Gadis itu sedikit mengangguk-anggukan kepala seperti sedang melantunkan lagu sembari menikmati aktivitasnya kecilnya. "Kau sedang apa?" tanya Evans saat gadis itu tak juga menyadari kehadirannya. Kiara terlonjak kaget. "Akh, kakak bikin kaget saja," balasnya mengabaikan pertanyaan Evans. Dia sedang ada di dapur, mana mungkin dia sedang memandikan Bonie? Yang benar saja! Pandangannya sama sekali tidak memperhatikan Evans yang menahan nafasnya melihat tubuh sexy itu. "Apa yang kau lakukan?" ulang Evans mencoba normal. Dia tidak mendekati Kiara, masih berdiam di posisinya semula. "Menyiapkan sarapan. Aku tidak bisa diam saja, kak," terang Kiara dan melanjutkan aksinya. Wangi sedap sudah menguar, menggoda hidung dan membuat air liur menetes. "Ah, selesai!" seru Kiara dan menuang nasi goreng spesialnya ke dua piring dan menambahkan telur mata sapi di atasnya. Menaruhnya di meja, kemudian membuatkan teh hangat, dengan air yang sudah dipanaskannya. "Lengkap!" serunya girang tak terusik sedikitpun. Ia duduk dan melambaikan tangan mengajak Evans untuk duduk juga. Evans mendekat, tapi tidak duduk. "Sebaiknya dibawa ke atas saja. Sebentar lagi karyawan lain akan datang. Kau tidak berniat memunculkan tampilan seperti itu kan di hadapan mereka?" tanya Evans membuat Kiara kembali tersadar akan penampilannya. Ia merutuki kecerobohannya itu dan menggetok kepalanya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD