UB:A | Chapter 3

1010 Words
BUK. Bola sepak menabrak tepat dahi kiri atas Calysta. Darah segar mengucur dari luka di dahinya. Untung saja Calysta tidak terjungkal ke belakang. Gadis itu dengan sigap berusaha mempertahankan dirinya di tempat. Tangan kiri Calysta langsung mengarah pada dahi kirinya yang terluka. Berusaha menahan kucuran darah yang keluar. “AW!” Jerit Calysta menahan sakit. “Cal, berdarah!” teriak Tari panik. Pertandingan berhenti. Semua mata di lapangan itu kini tertuju pada Calysta yang mengaduh kesakitan. Riza, ketua OSIS yang baru ditunjuk satu bulan lalu datang menghampiri Calysta. Disampingnya, Rania, panitia sie kesehatan juga berlari. “Minggir-minggir.” Perintah Riza pada teman-teman Calysta yang langsung mengerubungi gadis itu. Semua teman-teman Calysta langsung memberikan jalan pada ketua OSIS. Riza memang terkenal dengan ketegasannya, hingga disegani dan ditakuti seluruh siswa di sekolah. “Sini gue liat lukanya.” Kata Riza ketika sudah sampai di hadapan Calysta. Sayangnya, tangan Riza langsung ditepis oleh Calysta. “Gak usah.”  Rania yang berdiri di samping Calysta terlihat khawatir. “Cal, itu lukanya berdarah.” Calysta meringis menahan sakit. “Ya gue tau elah. Kalian mau ngobatin gue disini diliatin semua orang?” balas Calysta sinis. “Yaudah kita anter ke UKS.” Ajak Riza. Calysta bangkit dari duduknya sambil berpegang pada Tari yang duduk di sampingnya. “Nggak usah, gue bisa sendiri.” Tolak gadis itu. “Sini gue bantu Cal.” Tawar Rania yang berusaha meraih lengan Calysta. Tapi lagi-lagi dihalau oleh gadis itu. “Gak usah, Ran. Lo masih dibutuhin disini kalau ada yang terluka.” tolak Calysta. “Ya karena dahi lo luka kaya gitu, jadi tugasnya Rania buat bantuin lo, Calysta.” Kata Riza tegas. “Masalahnya gue bukan pemain.” Sahut Calysta sinis sambil mendorong bahu Riza agar memberikan dia jalan keluar dari kerumunan itu. Rania menatap Riza dan bertanya, “Gimana Riz?” Riza mendengus kesal. Dia sudah tahu dari dulu Calysta bukan siswa yang gampang nurut. “Lanjutin aja permainannya. Kalo emang anaknya aja gak pengen dibantu, ngapain dibantu.” **** Pertandingan antara kelas 8-F dan 8-C selesai. Seperti dugaan sebelumnya, 8-F memenangkan pertandingan dengan adu pinalti. Semua pemain dari 8-C langsung bergegas menuju kantin. Ya, rasa capek setelah 3 set permainan membuat perut mereka lapar. Tapi ada satu orang yang menghilang. Rafa tentunya. Pemuda itu bukannya ke kantin, malah berjalan ke UKS yang terletak di sebelah kantin. Apa dia terluka? Tidak. Niatan awal pemuda itu hanya ingin melihat teman sekelasnya yang habis terluka tadi. Rafa membuka pintu UKS. Ruangan itu sepi sekali, bahkan lebih sepi dari kuburan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang disana. Ia tak menemukan orang yang dicarinya. **** Salah satu alasan Calysta mau masuk SMP Dwiarta yaitu karena adanya rooftop. Tempat dimana ia bisa menghirup udara bebas. Dan disinilah ia sekarang. Bukannya istirahat di UKS, tapi ia lebih memilih istirahat di Rooftop. Tak ada siswa di sekolahnya yang berani ke rooftop. Cerita horror yang mengatakan bahwa ada ‘penunggu’ di rooftop tentu saja membuat mereka memilih tidak kesana. Berbeda dengan Calysta yang tak percaya akan hal itu, lebih tepatnya tak memedulikan. Baginya, setiap makhluk punya dunia masing-masing. Tak perlu ke UKS bagi Calysta untuk mengobati luka di dahinya. Cukup dengan kucuran air untuk membersihkan lukanya. Toh nanti luka itu akan merekat dengan sendirinya bukan? Calysta menutup wajahnya dengan novel yang ia bawa sambil tiduran santai di salah satu bangku panjang disana. Menikmati angin sepoi-sepoi yang bergerak di udara. Tak ada yang menganggu gadis itu yang sedang  me time. Tapi sepertinya kenikmatan itu tak berlangsung lama. Di tengah gadis itu mulai tertidur, seseorang mengambil novel yang menutupi wajahnya dari sinar mentari yang mulai menanjak. “Udah gue duga lo bakal disini.” Ujar orang itu. Calysta membuka matanya perlahan. Sinar mentari menyilaukan wajah orang di hadapannya. Calysta mengerjap-erjapkan matanya, hingga menyadari siapa orang itu. Dihadapannya ada seseorang yang sudah lama ia kenal dan selalu membuatnya marah. Siapa lagi kalau bukan rivalnya, Rafa. “Ngapain sih lo. Ganggu aja.” Balas Calysta sinis. Rafa menatap luka di dahi kiri Calysta. Luka itu masih memerah namun sudah tak mengucurkan darah lagi. “Luka lo,” Tunjuk Rafa pada dahi kiri Calysta, “Kenapa gak diobatin?” Calysta memutar bola matanya. Tak memedulikan perkataan Rafa. Rafa mengeluarkan sebuah hansaplast dari saku celananya tanpa Calysta sadari. Pemuda itu langsung merekatkan sebuah hansaplast bening pada dahi kiri gadis dihadapannya. “Raf.” Tepis Calysta, namun telat. Hansaplast itu telah terpasang. “Kalau gak ditutup bisa infeksi.” Kata Rafa. Calysta mendengus kesal. “Apa peduli lo?”  “Gue bukan peduli, tapi berperi kemanusiaan. Emang elo.” Balas Rafa. Pemuda itu membalikkan badan dan berjalan menuju pintu tangga. Belum sampai Rafa pada pintu tangga, pintu itu terbuka dari dalam. Muncullah teman sebangku Calysta, Tari. “Rafa? Lo ngapain disini?” tanya Tari kaget. “Lo sendiri?” tanya balik Rafa. Sebelum Tari menjawabnya, dibalik pintu itu mulai keluar perlahan satu per satu dari Melody, Akbar, Ramzi dan yang terakhir Danish. Tari menunjuk mereka seraya berkata, “Nganterin orang yang mau minta maaf.” “Oh yaudah gue balik.” “Raf, Raf. Kalo peduli tuh bilang aja, ati-ati lo yang baper gara-gara ucapan Laudya.” Bisik Tari pelan menggoda Rafa. Pemuda itu hanya terdiam dan kembali berjalan menuju tangga untuk ke kelasnya yang berada di lantai 3. Melody yang berdiri di samping Tari awalnya sedikit terkejut karena kehadiran Rafa di rooftop. Ia menimbang-nimbang apakah ucapan Laudya memang benar adanya? Namun, selama ini Calysta selalu menyangkal dan mengatakan bahwa mereka hanya rival. “Eh Tar, itu beneran yang dibilang Laudya waktu itu?” Bisik Melody. Tari menggelengkan kepala. Apa yang dikatakan Laudya bahwa Calysta dan Rafa saling suka itu salah. Mereka berdua hanya rival saja. Itu sejauh yang Tari tau. “Lo percaya aja ucapannya Laudya, Mel. Mereka berdua cuma rivalan aja di kelas. Kalau saling adu mulut tuh baru bener. Capek dengerin mereka bertengkar gue itu.” Balas Tari sambil berjalan ke arah Calysta yang sedang berdiri di dekat balkon. “Calysta!” Panggil Melody. Calysta membalikkan badan. Dahinya mengerut saat menatap kedatangan lima orang baru di rooftop ‘nya’.  ****Bersambung****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD