UB:A | Chapter 2

1084 Words
Calysta dan Tari telah tiba di depan pintu kelas 8-F. Kelas itu telihat ramai. Beberapa anak perempuan terlihat sibuk membuat aksesoris untuk supporter, ada yang sibuk membuat gerakan dukungan, ataupun kesibukan lainnya. Tak lupa siswa laki-laki yang bisa dihitung jari di kelas itu asik bermain sepak bola di dalam kelas. Calysta mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas berusaha mencari keberadaan Melody. Namun Calysta tak berhasil mendapati keberadaan partnernya itu. “Melody mana ya,Tar?” tanya Calysta. Tari mengedikkan bahu tanda tak tahu. “Nyari siapa?” tanya seorang pemuda yang baru saja tiba di kelas. “Melody.” balas Calysta yang masih celingukan mencari keberadaan Melody tanpa melihat ke si penanya. Calysta dan Tari tak menyadari bahwa mereka berdua berada tepat di depan pintu masuk kelas dan menghalangi pemuda tadi masuk. Pemuda itu menepuk bahu Calysta pelan membuat gadis itu reflek menjauh. Tatapan mata Calysta sedikit terlihat terkejut. Calysta membalikkan badannya melihat siapa yang menepuknya. Dihadapannya ada seorang pemuda jangkung berkulit putih dengan hidungnya yang mancung. “Sorry.” Ucap pemuda itu seketika melihat reflek Calysta. “Melody ada di kantin. Tadi gue ketemu sama dia.” lanjut pemuda itu. Tari yang berdiri di samping Calysta membisikkan sesuatu. “Itu depan lo Danish, Cal.” Pantas saja. Batin Calysta. Tak heran jika Danish dielu-elukan banyak teman perempuannya. Calysta memberikan tumpukan kertas yang dibawanya kepada Danish. “Tolong kasihin ke Melody ya. Bilang aja dari Calysta.” “Hhh. Okay.” Jawab Danish yang tak bisa menolak karena tumpukan kertas yang saat ini berada di tangannya. “Thanks.” Kata Calysta yang langsung pergi balik meninggalkan kelas 8-F. **** “Lo gila Cal! Berani banget nyuruh-nyuruh Danish!” kata Tari ketika Calysta menaiki tangga ke lantai 3. “Hah? Maksud?” “Tadi itu apa namanya.” “Gue minta tolong Antari..” Sanggah Calysta tak peduli. Sebenarnya ia hanya mau tahu saja, apakah seorang pemuda yang dielu-elukan banyak teman perempuannya itu akan membantunya atau tidak. Tapi sudah pasti sih akan membantu. “Selama ini gak ada yang berani nyuruh-nyuruh dia di sekolah ini Cal. Bahkan guru atau kepsek pun nggak.” Calysta menatap Tari tak peduli. “Gue sama dia masih sama-sama manusia kan? bahkan slogan negara kita aja gotong royong Tar.”  “Tapi ini DANISH, Cal. Dia itu beda.” Ujar Tari memperingatkan. Tari memang tak salah, Danish bukan orang sembarangan. Bukan hanya menjadi pemuda paling tampan di angkatannya, Danish juga merupakan anak dari salah satu konglomerat di negara mereka. “Beda apanya? Dia vampir? Keluarga kerajaan? Atau apa emangnya?” balas Calysta sambil mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celana. “Dia anak keluarga Dirgantara. Satu dari 9 keluarga konglomerat paling kaya di Indonesia.” Bisik Tari. Calysta sedikit terbelakak mendengar bisikan Tari, tapi buru-buru ia ubah raut wajahnya menjadi biasa saja. Dirgantara. Batin Calysta. Calysta menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Tari. “Lo tau darimana?” Tari mengedarkan pandangannya ke sekitar kemudian menarik Calysta menuju salah satu ruang komputer dekat tangga lantai 3. Calysta langsung mengambil duduk di sofa tempat istirahat di ruang itu sambil memainkan handphonenya. Tari berjalan mengelilingi ruangan untuk memastikan hanya mereka berdua yang berada di sana. Setelah memastikan tidak ada orang lain di ruang itu, Tari mengambil duduk di samping Calysta. “Bokap gue kerja di Dirgantara Corp. dan gue dikasih tau katanya ada 2 anak keluarga Dirgantara yang masuk sekolah kita. Salah satunya itu Danish, tapi yang satunya lagi gue gak tau, Cal.” Calysta mengangguk paham. Padahal ia tak memedulikan sama sekali. “Antari, Danish itu masih manusia. Masih makan nasi. Kekayaan itu bukan Tuhan. So, gak usah khawatir.” Calysta menasehati. Tari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sebersit ide aneh muncul di otaknya. “Cal, lo gak mau cari tahu siapa saudaranya Danish?” Calysta diam sejenak kemudian menggelengkan kepala. “Bukan urusan gue.” “Tapi kalau lo tiba-tiba tau, ntar kasih tau gue yak.” Calysta tergelak. “Kalau suatu hari lo tau hal itu, ada satu hal yang pasti Tar, lo gak akan pernah tau itu dari gue.” Calysta menepuk bahu Tari pelan. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Tari yang masih diam di tempatnya dengan pikiran berkecamuk. **** “Cal, ayolah ikut nonton.” “Nggak, Tar.” “Tumbenan kan kelas kita lawan 8-F. ini tuh pertandingan penuh cogan!!!” “Hah?” “Ada Rafa, Rasya dari kelas kita, terus 8-F ada Danish, Ramzi, Akbar.” “Gak peduli gue.” “Ayolahhh, pleaseee.” Dan disinilah Calysta sekarang. Duduk di bangku taman pinggir lapangan sambil menonton pertandingan sepak bola antara 8-C melawan 8-F. Disampingnya Tari sudah siap dengan snack ditangan, berbeda dengan Calysta yang masih membawa novelnya. “Lo mau nonton bola atau baca buku?” tanya seorang pemuda yang sedang pemanasan di samping Calysta. “Menurut lo?” Pemuda itu mengambil novel di tangan Calysta dengan cepat. “RAFA!” Teriak Calysta ketika novelnya sudah tak berada di tangannya lagi. “Kalau mau baca buku tuh di perpus atau kelas jangan dilapangan. Ketimpuk bola ntar yang ada.” Ujar Rafa sambil mengembalikkan novel itu ke Calysta. “Serah gue lah. Peduli apa emangnya lo?.” Goda Calysta tersenyum sinis. Rafa menggeleng-gelengkan kepala dan membalikkan badan sambil berjalan menuju lapangan. “Ekhem. Ekhem.” Tari pura-pura terbatuk. “What?” “Lo itu peka gak sih Cal? Rafa itu peduli sama lo. Atau bener yak yang dibilang Laudya dulu tentang lo berdua?” “Plis deh Tar. gue udah jelasin ke lo ya, kalau gue gak suka sama Rafa.” “Kan belum tentu Rafa juga gak suka sama lo? kalau tuh anak baper gara-gara ucapan Laudya gimana?” “Mana ada orang suka itu cari ribut mulu, Tar.” “Ada pepatah yang bilang ‘Benci sama cinta itu beda tipis’. Atau jangan-jangan lo yang baper selama ini?” “Dih, siapa yang baper.” Tolak Calysta. Pertandingan antara 8-C dan 8-F berlangsung. Sorak-sorai para supporter terdengar jelas. Tapi kebanyakan dari mereka menyoraki Danish dan Rafa. Bisa tertebak lah. Pesona kedua pemuda itu meluas dari angkatan kelas 9 hingga kelas 7. Bahkan keduanya memiliki fanbase bernama Dalov dan Rafastar. Calysta tak begitu memperhatikan pertandingan. Novel ditangannya lebih asik dibandingkan pertandingan di hadapannya. Dengan melihat sekilas, Calysta yakin kelas 8-F yang bakal memenangkan. Pasalnya, Danish sang kiper sangat bagus dalam menghalau bola yang akan memasuki gawangnya. Calysta kembali fokus pada novelnya. Bait-bait kata yang ditulis oleh penulis membuat Calysta terbuai pada imajinasi hingga ia tak menyadari suatu hal. Sebuah bola mengarah ke arahnya.  ****Bersambung***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD