Part 4. Malaikat Kecil

998 Words
- Aisha - "Mba, tadi malam aku nganterin tetanggaku. Dia melahirkan, Mba. Padahal masih kelas 2 SMA." "Hah? Gimana bisa? Ada suaminya emang?" tanyaku penasaran, sambil mengecek daftar pesanan kue untuk besok. "Ya nggak ada, Mba. Dia aja masih sekolah. Aku aja nggak sadar kalo dia hamil, tiba-tiba aja lahiran. Perutnya nggak keliatan soalnya." "Trus gimana?" "Ya gitu, kasian sih mba, mereka orang kurang mampu. Trus yang lakik kabur nggak mau tanggung jawab. Kata keluarganya, tu bayi mau dititipin ke panti." Aku terdiam sejenak, "Yul... Kalo aku yang rawat bayi itu, mereka keberatan nggak ya?" Tangan Yuli yang semula cekatan membentuk hiasan bunga-bunga dari buttercream di atas sebuah kue tart tiba-tiba terhenti. Dia lalu menoleh padaku sambil melepaskan masker yang selalu dia gunakan ketika mengerjakan pesanan costumer. "Mba serius?" tanya nya tak percaya. Aku mengangguk pelan, "Iya, serius..." Yuli bersemangat mengangguk, "Nanti sore pulang kerja aku tanyakan mereka dulu ya, Mba." Hatiku bergetar seketika, dalam diam aku berdoa semoga keputusan yang kuambil tidak salah. Semoga kehadiran bayi mungil itu perlahan bisa mengobati luka ku nanti. --- Tidak perlu waktu lama, Yuli berhasil membujuk keluarga bayi itu agar Aku dapat menggantikan mereka untuk merawat bayi itu. Aku berjanji tidak akan menutupi identitas ibu dan keluarga bayi itu nantinya. Karena menurutku, bayi tak berdosa itu harus tau orang tua dan keluarganya. Aku menyanggupi untuk membiayai sekolah Rahma, ibu dari bayi itu, sampai selesai. Mungkin karena itu juga akhirnya mereka mengizinkanku untuk merawat bayi itu. Aku hanya berniat sedikit meringankan beban yang ditanggung oleh keluarga Rahma. Adik-adik Rahma ada dua orang yang masih sekolah, tentu saja hal itu membuat keuangan keluarganya semakin sulit. Aku senang mereka sangat baik menerimaku, mereka bahkan mempercayakanku untuk memberi nama pada bayi lelaki tampan itu. Akhirnya dengan antusias, setelah browsing beberapa saat, Aku memberi nama bayi kami Raditya Buana. Ya, bayi kami. Aku tidak akan egois menyebut bayi itu sebagai bayiku. Dengan dibantu Yuli, Aku membawa Radit pulang. Tanganku bergetar saat menyentuh Radit. Aku hampir tidak bisa menahan air mataku karena haru. Kini aku mengerti, menggendong Radit yang bukan anak kandungku saja hatiku sebahagia ini. Tentu saja Rayhan dan Nala akan sangat bahagia menggedong buah hati yang merupakan darah daging mereka sendiri. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba membuang semua pikiran itu. Mencoba fokus pada bayi lelaki yang menanti kasih sayang yang akan kucurahkan sepenuhnya padanya. Aku akan menyayangi bayi ini sepenuh hati, seperti anakku sendiri. Aku akan memberikan apapun yang terbaik yang bisa kuberikan untuk Radit. Setibanya di toko, Aku segera menaiki tangga menuju lantai 2, menuju kamarku. Ya, sejak bercerai, aku memilih untuk tinggal di sini. Rumah ku dan Rayhan dibiarkan hanya ditinggali oleh ART kami. Aku tak mau tinggal di sana, di tempat yang penuh kenangan dengan Rayhan, karena aku tau akan membuatku semakin sulit melupakannya. Yuli masih siaga membantuku, segala perlengkapan bayi sudah kusiapkan sebelumnya, tentu saja dibantu olehnya. Yuli yang memang berpengalaman mengurus anak, dengan senang hati membantuku. Namun lama-lama Aku merasa tidak enak terus merepotkan Yuli, akhirnya aku mencari seorang pengasuh untuk Radit. --- - Author - Satu Tahun Kemudian... Radit sudah berusia 13 bulan, dan sekarang malaikat kecil yang telah membuat Aisha bertahan menjalani hidupnya ini sudah mulai bisa berjalan meskipun masih sempoyongan. Aisha sangat memperhatikan tumbuh kembang putranya dengan baik. Meskipun ada pengasuh yang membantunya menjaga Radit, Aisha selalu menyempatkan diri untuk bermain dan berinteraksi dengan putranya disela-sela waktu sibuknya. Sekedar mengajak Radit ngobrol, meskipun hanya mendapat tanggapan berupa bahasa bayi yang tidak jelas, sudah menjadi rutinitas harian Aisha. "Ma... Ma..." "Iya, Nak... Radit mau apa?" "Booo... Baaa..." tangan kecilnya menunjuk sebuah bola di rak mainan miliknya. "Bo... La..." ujar Aisha menjawab ucapan putranya yang kemudian diikuti dengan sangat menggemaskan oleh Radit. "Bbooo... Bbaaa... Maa... Bbooo... Bbaaa..." Radit mulai tak sabar sambil memukul-mukul meja tempatnya berpegangan. "Nggak, Mama nggak mau kalo gitu. Minta nya harus yang baik, Sayang..." sahut Aisha lembut, yang kemudian dimengerti oleh Radit dan langsung berhenti memukul meja. "Bboo... Bbaaa... Iisss..." ucapnya lagi sambil menambahkan "Please" yang langsung membuat Aisha tersenyum dan beranjak mengambilkan bola yang diminta Radit. Tak lama kemudian, terdengar panggilan Yuli dari lantai bawah. "Mba... ada Mba Rahma nih..." "Oh iya, suruh langsung naik aja, Yul." Jawab Aisha. Rahma adalah ibu kandung dari Radit dan sekarang dia baru lulus SMA. Kemarin Rahma menelepon Aisha mengatakan bahwa dirinya mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya, namun kampus itu berada di kota yang berbeda. Jadi Rahma hari ini kesini untuk berpamitan pada Aisha dan Radit. "Assalamualaikum, Mba Aisha..." suara Rahma terdengar mengucapkan salam. "Waalaikumsalam..." jawab Aisha, "Sayang... Liat siapa yang datang... Ibu..." seru Aisha pada Radit yang sedang asyik bermain dengan bola. Radit menoleh, "Buu... Buu..." ucapnya girang. Ya, Radit memanggil Aisha dengan panggilan Mama dan Rahma dengan panggilan Ibu. Rahma maupun keluarga nya sesekali datang ke toko untuk melihat kondisi Radit. Dan hari ini Rahma akan berpamitan untuk pergi kuliah. "Iya Sayang, ini ibu..." Rahma langsung menghambur memeluk Radit melepaskan kerinduannya. Matanya berkaca-kaca karena setelah ini dia akan jarang bertemu dengan putranya. “Mba Aisha, makasih banyak ya buat semuanya. Aku nggak tau kalo nggak ada mba, akan seperti apa hidupku sekarang." Ujar Rahma sambil menghapus air mata di pipi nya. Aisha menghela nafas, "Mba yang harusnya berterima kasih sama kamu, Ma. Karena udah diijinkan merawat Radit. Radit sudah membuat hidup Mba jadi lebih baik." "Aku percaya Radit akan tumbuh jadi anak yang luar biasa karena di rawat sama Mba." Rahma mengucapkannya sambil mengecup pipi putranya yang menggemaskan. "Kamu kuliah yang benar ya, hati-hati di sana. Jaga diri baik-baik dan jadikan masa lalu kamu sebagai pelajaran." "Iya Mba..." Rahma lalu menatap wajah putranya, "Radit, harus nurut sama Mama Aisha, jangan nyusahin Mama. Radit anak pintar kan..." Radit tertawa mendengar ucapan ibunya. Mungkin dia belum mengerti apa yang diucapkan Rahma. Jemari kecilnya mengusap pipi Rahma, lalu telunjuknya tiba-tiba dimasukkan ke lubang hidung Rahma yang langsung membuat Rahma terkejut. "Ih... Radit usil ya, sama Ibu. Jorok tau." Sungut Rahma kesal. Aisha tertawa melihatnya, lalu dengan cepat dia membersihkan jemari Radit menggunakan tisu basah. --- 31 Agustus 2020 11.44 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD