Part 3. Kenangan (II)

1082 Words
Semakin lama Aisha semakin tidak bisa menguasai dirinya yang dibakar api cemburu, terlebih saat Rayhan tak bersamanya. Keributan-keributan mulai sering terjadi, meskipun Rayhan selalu bisa menenangkan Aisha dengan berbagai cara. Namun siapa yang tidak lelah menanggung rasa cemburu terus menerus, yang pada akhirnya lebih sering berujung pada pertengkaran. Hampir setiap saat Aisha merasa tidak tenang karena pikirannya sendiri. Bagaimana jika nanti Rayhan meninggalkannya. Bagaimana nanti jika Nala melahirkan, Rayhan tidak pernah kembali kepadanya karena tentu saja anak itu lebih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Semua pikiran-pikiran itu terus menghantui Aisha dan membuat hari-harinya tidak tenang. Bahkan kini jika Rayhan tidak pulang ke rumah, Aisha lebih memilih tidur di toko kue miliknya, menyibukkan diri disana untuk mengalihkan pikiran-pikiran yang melelahkan jiwa dan raganya. Seperti sore itu, ketika Rayhan mengirimkan pesan pada Aisha mengatakan bahwa dia tidak akan pulang malam ini, Aisha memilih untuk pergi ke mall seorang diri. Sudah cukup lama dia tidak memanjakan dirinya ke salon. Mungkin sedikit perawatan pada wajah dan tubuhnya, bisa membuat suasana hatinya kembali membaik. Maka dengan sedikit bergegas, Aisha mengendarai mobilnya karena waktu sudah cukup sore, dia tidak ingin pulang terlalu malam, nantinya. Ya, meskipun tidak akan ada yang peduli jam berapa Aisha akan pulang. Tapi Aisha harus tetap menjaga dirinya sendiri dari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkannya. Pukul delapan malam, Aisha selesai dengan semua perawatannya dan merasa tubuhnya lebih segar. Semoga malam ini bisa tertidur nyenyak meskipun tidak ada Rayhan yang memeluknya. Aisha melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, namun langkahnya terhenti saat menangkap sosok Rayhan bersama Nala yang sedang berjalan bersisian. Perut Nala terlihat membesar, namun tidak mengurangi kadar kecantikan wanita itu. Rayhan terlihat mendorong sebuah troli yang penuh dengan barang belanjaan, dan sebuah box yang bisa Aisha lihat merupakan stroller untuk bayi. Hatinya sesak seketika, pandangannya mengabur dipenuhi air mata yang sudah siap jatuh, namun ditahannya sekuat tenaga. Aisha sering mendengar orang berkata, kita akan turut bahagia ketika melihat orang yang kita cintai bahagia. BOHONG. Kini Aisha bisa mengatakan sendiri bahwa hal itu adalah omong kosong besar. Kita akan bahagia ketika melihat orang yang kita cintai bahagia, bersama kita sendiri tentunya. Bukan bahagia bersama orang lain. Buktinya saat ini Aisha bukannya bahagia melihat Rayhan akan memiliki anak dari darah dagingnya sendiri. Aisha justru tertekan dengan keadaan ini dan semakin kecewa pada dirinya sendiri. Apa salahnya, sehingga tidak bisa seperti wanita lain yang ketika baru menikah langsung bisa hamil dengan mudahnya. Oh tidak, kenapa harus kembali pada masa beberapa tahun silam. Bukankah beberapa tahun terakhir Aisha sudah ‘kebal’ dengan berbagai pertanyaan bahkan omongan orang yang menyudutkannya jika membahas mengenai kehamilan? Tapi, ketika melihat Nala yang sedang mengandung anak Rayhan, hal itu sangat menyakitinya. Seolah menegaskan yang bermasalah adalah memang benar dari dirinya, bukan Rayhan. Dadanya bergemuruh, darahnya seolah mendidih membuat tubuhnya diserang hawa panas meskipun pendingin ruangan di mall ini cukup dingin. Rayhan dan Nala semakin mendekat, dan sialnya Aisha tiba-tiba seperti lumpuh tak bisa bergerak. Jangankan untuk melangkah pergi, bahkan sekedar memalingkan tubuhnya saja Aisha tak mampu. Hingga akhirnya Rayhan menyadari Aisha ada di hadapannya, langkah keduanya terhenti. Wajah Rayhan memucat, begitu juga Nala. “Yank…” tegur Rayhan ketika melihat Aisha yang berdiri mematung memandang mereka berdua. Tidak ada jawaban dari Aisha, dia masih diam tanpa kata. Rayhan mengulurkan tangannya untuk merain lengan istrinya, istri pertama nya. Namun entah kenapa tubuh Aisha menolak, dengan refleks yang tanpa disadari Aisha sendiri, dia melangkah mundur. Rayhan maju mendekat, Aisha kembali mundur menjauh. Hingga akhirnya kesadarannya pulih, Aisha memalingkan wajahnya dan segera pergi dari sana. Menjauh dari kenyataan yang menggoreskan luka di hatinya semakin dalam. Malam itu, Rayhan tidak jadi menginap di rumah Nala. Setelah mengantar Nala pulang, Rayhan bergegas pulang ke rumahnya, rumahnya bersama Aisha. Namun Rayhan tidak menemukan istrinya di rumah, dan ART mereka berkata Aisha tidur di toko, jika Rayhan tidak pulang. Begitu mengetahui hal itu, Rayhan langsung memacu mobilnya menuju toko kue milik Aisha. Disana dia melihat mobil Aisha sudah terparkir, hatinya tenang seketika. Dengan tergesa-gesa dia masuk dan berlari ke lantai dua dan disana dia menemukan istrinya sedang meringkuk di atas tempat tidur, dengan tubuh terbalut selimut. “Yank… Sayang… Maafkan aku…” bisik Rayhan sambil menepuk punggung Aisha yang membelakanginya. Dia tahu Aisha belum tidur. “Aku nggak tau kalo kamu ada di sana, Yank…” bisik Rayhan. “Aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Aku nggak akan muncul di depan kamu lagi saat aku sama dia, Yank…” Aisha tak bergeming. Hanya isakan yang perlahan terdengar. Rayhan menarik selimut yang menutupi tubuh Aisha, lalu membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. “Maafkan aku menyakitimu, Yank…” Aisha tiba-tiba membuka suara, “Aku pikir aku bisa menghadapi semua ini. Aku pikir besarnya cintaku sama kamu, bisa membuat aku cukup kuat untuk bertahan. Nyatanya aku lemah, Yank. Aku nggak bisa, aku nggak sanggup liat kamu sama dia.” Rayhan menghela nafas dalam, sungguh menyakiti Aisha adalah hal paling dihindarinya. Namun tanpa sadar, dia justru melukai wanita yang dicintainya ini. Hanya demi keegoisannya karena ingin memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri. “Kamu boleh marah sama aku, pukul aku, keluarkan semua emosi kamu.” Rayhan berkata sembari mengelus rambut Aisha. Aisha menggeleng, “Bahkan untuk marah sama kamu aku nggak mampu, Yank. Sekarang aku sadar, aku terlalu cinta sama kamu. Bahkan ketika hatiku terluka karena kamu, aku nggak mampu untuk marah atau benci sama kamu. Aku lemah. Aku kecewa, bukan sama kamu. Aku kecewa sama diri aku sendiri, yang nggak bisa kayak wanita lain yang… yang bisa…” “Sttt… Sudahlah, jangan membandingkan diri kamu dengan orang lain. Aku cinta kamu bagaimanapun kondisi kamu.” “Tapi aku nggak kuat kayak gini. Yank... Sepertinya lebih baik kita… Pisah aja…” Jantung Rayhan seolah berhenti berdetak seketika. Dia tidak percaya istrinya meminta hal itu. “Nggak, Yank. Jangan pernah berpikir untuk pergi dari aku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.” Rayhan menatap mata Aisha dengan penuh permohonan, agar Aisha membatalkan niatnya. “Tapi aku nggak sanggup lagi kayak gini. Apalagi nanti ketika anakmu lahir, dia perlu perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Lebih baik aku yang pergi dari kalian.” Entah kekuatan dari mana yang membuat Aisha memantapkan niatnya untuk berpisah. Jika sebelumnya dia selalu meragu, apakah bisa menjalani harinya tanpa Rayhan. Kini dia bertekad untuk pergi dari Rayhan, daripada dia harus menanggung kesakitan setiap harinya. Dia yakin bisa kuat menjalani semua ini, tanpa suaminya. Karena justru ketika masih bersama, Aisha merasa dirinya lemah karena digerogoti oleh rasa sakit hati dan cemburu yang berlebihan. --- 30 Agustus 2020 23.22 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD