Bab 2 Dijemput Mantan

1494 Words
Akhirnya selesai juga. Raya merenggangkan tangan. Bahunya kaku sekali akibat seharian duduk di depan laptop. Keadaan ruangan itu lengang ketika dia berdiri mengedarkan pandangan. Semua lampu hampir padam. Lalu seorang pemuda berjalan ke arahnya menyampirkan tali tas di sebelah bahu kanan. "Maaf Mbak Ray, saya pulang duluan. Adek saya sendirian di rumah." Namanya Sagara, masih SMA, orang tuanya sudah tiada. Dua bulan lalu Sagara mulai bekerja, dari pulang sekolah akan selesai pada jam sekarang, pukul 10 malam. Pemuda bermata teduh itu tinggal tidak jauh dari tempat ini. Raya langsung menerima dia bekerja. Apalagi setelah mengetahui Sagara punya adik kecil dan hidup berkekurangan. Sedikitnya Raya pernah mengalami masa kecil kurang uang. "Iya enggak apa-apa, Gar. Kamu boleh pulang duluan. Biar saya yang mengunci kedai." Sagara tersenyum cerah lalu menyerahkan kunci. "Makasih Mbak!" Lalu di ambang pintu, Sagara berseru lagi. “Duluan Mbak Raya. Hati-hati ya!” Raya menggangguk. Sambil membereskan laptop, ia mengembusan napas lelah. Beberapa cangkir bekas minuman dan makanan ringan di mejanya juga dibereskan. Kedai roti ini memang miliknya, namun hanya sebatas status saja. Sebenarnya Raya menyebut diri sendiri sebagai freelancer. Setiap hari dia duduk di hadapan laptop, merangkai ribuan kata disertai jalan cerita. Tempat favorit Raya ada di lantai dua. Tidak terlalu bising. Aroma roti, cokelat serta kayu manis masih bisa terhirup bebas. Aroma yang selalu membuat imajinasi Raya liar. Suara Datuk Siti Nurhaliza terdengar kelelahan. Selama dua jam terakhir Raya mengulang satu lagu lawas terus-menerus. Pegawainya sudah tak terhitung menawarkan diri mencarikan lagu lain . Raya menolak tegas, dan tidak ada yang berani membantah. Akibatnya pelanggan di lantai dua kembali turun karena bosan. Entah mereka ngopi di pantry lantai bawah atau langsung pulang. Ada pula yang bertahan demi wifi gratisan. Rata-rata anak sekolah dan kuliahan. Apapun itu Raya hanya memperdulikan satu; novelnya harus selesai bulan ini karena editor bawelnya sangat mengganggu. Deadline penyerahan draft hampir habis, Raya depresi setiap hari. Lagu Betapa Kucinta Padamu entah mengapa selalu membawa keberuntungan baginya sejak masa kuliah. Membuat hatinya tenang dan yang terpenting idenya lancar. Raya bersenandung sebentar memandangi wallpaper pada layar ponsel. Empat orang beda usia tersenyum di sana, termasuk dirinya. Jemari Raya mengusap layar, tersenyum tanpa henti. Siti Nurhaliza berhasil menaikan mood. Dia menggulir daftar kontak, kemudian keluar lagi. Beralih pada panggilan cepat angka satu. My Husband. Nada tunggu pun membuat hatinya tidak sabar. Raya mencebik sebab nada tunggu itu berakhir sia-sia. Pada panggilan kedua, suara bass pun menyapa. Pipi Raya merona seketika, perasaannya makin berbunga-bunga sampai tanpa sadar dia menggigiti kuku. "Kalau enggak mau ngomong-ngomong aku tutup nih." "Eh? Jangan!" "Lagu Siti lagi?" Raya mengangguk, meski lawan bicaranya tidak akan melihat. "Enak ya lagunya?" "Hm. Kamu masih ngetik? Kapan pulang?" Orang itu hapal kebiasaan Raya memutar lagu Malaysiaan pasti sedang buntu ide cerita. "Ini aku baru beres ngetik. Kedai juga bentar lagi aku tutup kok. Aku nelpon kamu mau tanya Saluna udah pulang? Udah makan?" "Iya sudah. Anak-anak sudah mandi, sudah tidur. Aku juga sudah nunggu kamu daritadi." Raya mengulum senyum pada kalimat terakhir suaminya terdengar geram, "Oke kalo gitu. Aku tutup dulu. Da—“ "Tunggu sebentar aku kesana jemput kamu." Suara di seberang agak ribut. Raya mengeryit. "Gak usah ... aku udah pesan ojol kok." "Loh kok gitu? Biasanya kan aku jemput kamu?" "Makanya mulai sekarang kamu bisa membiasakan diri nggak jemput aku. Sebentar lagi kan kita ...?" "Pisah?" "Nah itu tahu!" sahut Raya santai. Pria di seberang panggilan mendengkus. "Ray, ayolah jangan dibikin bercanda terus. Udahan ya? Kalau anak-anak sampai dengar mereka pasti sedih." "Kamu enggak capek dari pagi ributin itu terus di telpon? Dari pagi loh." "Ya enggak diributin gimana, kamu yang mulai. Kamu minta cerai sedangkan rumah tangga kita baik-baik aja. Anak kita dua loh, Ray. Yang sulung malah udah SMA. Kamu mau pisah gitu aja?" "Kita bakal baik-baik aja. Sudah ya?" Raya melongokan kepala ke jendela mendengar gemuruh kendaraan berhenti. Seseorang berjaket hijau duduk di atas sepeda motor memeriksa ponsel di depan kedai rotinya, "Kang ojolnya udah di depan. Bye." Raya mengakhiri panggilan tersebut. Lama-lama pengang juga telinganya mendengar lagu yang sama berjam-jam, dia mematikan pemutar musik. Raya bergegas keluar kedai sambil mendekap tas laptop. Dihampirinya seseorang berjaket hijau itu. Setelah memastikan plat nomor kendaraan sama dengan identitas milik taker, Raya merasa sangat lega tidak harus menunggu lama. Cepat sekali ojek online-nya datang, "Mas Sulaiman?" Orang itu mendongak, menaikan kaca helmnya dengan gerakan lambat. Sejenak agak ternganga. "Raya?" Raya mengeryit, tersirobok mata tukang ojol dalam beberapa lama. "Paris?" Tunjuk Raya sama tidak menyangkanya bisa bertamu lagi setelah sekilan tahun. "Paris, kamu—ojol?" Mata Raya membulat, dia membuka kembali aplikasi ojek online. "Di aplikasi, namanya Sulaiman. Kok yang datang kamu?" Raya menalakan lampu senter di ponsel, menyorot wajah tukang ojol. Paris pun terpejam karena silau. "Di aplikasi juga yang pesan namanya Samesta Wijaya. Aku kira cowok. Kok yang muncul kamu? Raya Indira," balas Paris disertai senyum. Dia lupa kapan terakhir kali mereka bertemu. Tentunya Raya semakin cantik. "Ah iya, itu nama suami aku—“ Tunggu. Kenapa dirinya jadi perlu menjelaskan nama belakang segala pada Paris? Raya berdeham. "Kamu kerja, Ris?" Raya tidak menyadari wajah Paris berubah muram. Paris menyerahkan helm serta jaket hijau pada Raya. "Iya ini kerjaan aku, Ray. Ngojek. Ngobrol sambil jalan gimana?" Raya menyetujui. Hari merangkak gelap, tidak memungkinkan mereka reunian di pinggir jalan malam-malam. Dalam hati sebelum kendaraan itu melaju Raya menimbang, apa perlu memberitahu suami dulu? Tapi ia tidak akan melakukan hal-hal aneh. Ia bertemu teman lama karena kebetulan. "Apa kabar, Ray?" Suara Paris dibawa angin. "Baik, kamu?" jawab Raya berteriak juga. Komunikasi garis keras beradu angin malam itu menjadi hal yang mengundang tawa. Sebagai teman lama, mereka basa-basi seadanya. Mereka sudah sama-sama dewasa. Punya keluarga yang menunggu di rumah. Meski salah satu dari mereka merasakan kehangatan yang pernah hilang. "Ini rumah kamu?" Begitu turun dari motor, Raya langsung merapikan rambut. Dia menoleh sebentar ke belakang, di lantai dua suaminya mengintip dari balik jendela. Raya pun tersenyum, "Iya. Mau mampir?" Paris tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita yang dulu dia suka, hidup mewah sekarang. Tanpa sadar Paris membanding apa yang terlihat di depan dengan kondisinya. Lusuh. Bau asap kendaraan, bau keringat. "Sudah malam, Ray. Makasih." "Widihhh Paris ...," Raya tertawa, masih serenyah yang Paris ingat. "Paris betulan nih?" Kedua alis Raya terangkat. Paris mengusap tengkuk, citra buruknya sebagai lelaki gampang dekat sama perempuan paling diingat Raya. "Aku bayar lewat LaPay, ya..." "Eh, khusus buat kamu gratis." Raya mendongak. "Loh dari kapan Ojolali gratis khusus buat Raya?" "Ya..." Paris menyengih, "Hari ini aku gratiskan buat teman lama." Setelahnya Paris menyecap pahit lidah sendiri. Teman lama, ulangnya dalam hati. *** Suasana rumah sangat sepi ketika Raya membuka pintu utama, kemudian ia menaiki tangga menuju lantai dua. Dimana kedua buah hatinya terlelap. Hampir semua lampu dimatikan. Pintu berhiaskan tempelan gambar robot dan mobil perlahan dibukanya. Seketika Raya terenyuh melihat Sansan terlelap pulas mendekap boneka beruang yang besarnya tiga dua kali lipat besar tubuh anak itu. Raya mengecup dan menghirup dalam-dalam rambut putranya. Membisikan ucapan selamat malam, dengan harapan terdengar sampai ke alam mimpi. Suara di ruangan sebelah membuat Raya penasaran. Ia beranjak dari kamar Sansan. Dalam keadaan temaram, mata yang semula menyipit seketika membola. Sesuatu tertangkap penglihatan. Oleh karenanya Raya coba mengendalikan diri. "Mau kemana kamu?" Raya mendekat dengan gaya intimidasi. Gadis di ujung jendela berjengit kaget, ia gagal melompat. Dehaman ibunya begitu mendadak. Hampir saja ia tersungkur ke tanah. Saluna buru-buru berdiri menutup jendela. Membiarkan seseorang di bawah sana bertanya-tanya mengapa ia tidak jadi turun. Saluna hanya memberi gendikkan dagu beserta pelototan. Artinya, pergi sana! "Luna, Mama tanya mau kemana lewat jendela malam-malam begini?" Saluna cengengesan, "Luna ..., Luna lagi cek jendela siapa tau engselnya rusak, Ma. Mama udah pulang?" Raya masih menyelidik anak gadisnya. "Kamu mau pergi?" "Eh? Enggak!" tolak Saluna cepat sembari menggeleng keras. “Luna betulan lagi cek jendela kok. Tetangga kita, kan, kabarnya minggu kemalingan. Luna waspada aja.” Mood baik Raya berkat lagu Siti Nurhaliza mendadak sirna tak bersisa. Padahal nanti pukul tiga dini hari, Raya berniat bangun melanjutkan naskahnya. "Kamu pakai jaket, celana jins, make up. Sempet-sempetnya meng-curly rambut. Mana ada pergi tidur dandan dulu kalau bukan pergi jalan-jalan? Sepatunya udah kamu lempar ke bawah, kan? Siapa?" Raya menyilangkan kedua tangan di depan d**a, memerhatikan anak gadisnya yang tak terasa beranjak remaja. "Si Langit lagi?" tebak Raya. Mampu .... Saluna meringis. Kalau sudah berhadapan dengan ibunya, ia kehilangan pembelaan diri. "Sayang ...." Tengkuk Raya meremang seketika oleh embusan hangat yang berjarak milian senti dari punggungnya. "Ada apa sih ribut-ribut? Kamu kapan pulangnya kok enggak kedengaran?" Jujur, suara lembut suaminya memberi ketenangan. Dekapan yang ia terima berhasil meluluhkan saraf-saraf tegang. "Sal, cepat tidur ya, sudah malam." "Siap, Yah!" Saluna melompat ke atas tempat tidur. Kali ini ia terselamatkan karena kedatangan sang ayah. Kedua orang tuanya baru pergi setelah Saluna pura-pura terpejam di atas tempat tidur. Suara pintu tertutup membuatnya kembali membuka mata. Cepat-cepat bangkit memeriksa pesan masuk. Langit : Gw pulang. Nyokap lo angker Lun. Besok gw jemput? Kalo lo dianter nyokap, gw tunggu di warung blkg, kita mbolos. Saluna mengerucutkan bibir. Agenda nonton balapan liar bersama Langit, GAGAL.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD