Chapter 3 : Angela Sinapis

1514 Words
Pagi telah tiba, ketiganya sudah berkumpul di rumah Irene sejak beberapa jam yang lalu. “Hari ini kalian akan mulai menjalankan tugas yang ku berikan, semoga kalian dapat mengatasi segala rintangan yang akan menghadang.” Irene berucap dengan do’a yang ia sisipkan untuk Faikar, Raph dan Sandara. “Jadi tanaman apa yang harus kita cari?” tanya Raph mengeluarkan secarik kertas, bersiap untuk menuliskan apa saja yang sebenarnya Irene butuhkan. Irene mengambil kertas tersebut dari tangan Raph, “Faikar yang akan menjelaskannya!” jawabnya. Raph menghela nafas kecewa mendengar jawaban itu dan merebut kembali kertas ditangan Irene, kemudian memasukan kertas tersebut kedalam tas yang ia bawa. Sementara Sandara yang duduk disampingnya hanya menatap lekat pada Faikar yang duduk disebrang mereka, tatapan itu lebih terlihat seperti tatapan yang menyelidik. “Untuk yang pertama, kita akan mencari Spina dari Fuller’s Teasel di wilayah Angela Sinapis.” Faikar menjelaskan apa yang akan mereka cari dan kemana mereka harus mencarinya. Raph menyipitkan matanya mendengar nama wilayah yang sama sekali belum pernah ia dengar. “Angela Sinapis? Bukan kah itu arti dari Monster dan Malaikat kan? Ayolah, yang benar saja!” Raph tertawa meremehkan, ia mengira semua perkataan Faikar adalah omong kosong. “Terserah kau ingin menganggap perkataanku seperti apa Raph, tetapi jika kau tidak mendengarkanku dengan baik, maka kau akan mati!” sebuah senyuman palsu yang manis tergambar di wajah Faikar ketika mengatakan hal itu. “Kurang ajar!” Raph segera berdiri dari kursi dan mengangkat tangannya, berniat memukul Faikar dengan kepalan tangan tersebut. Namun, Sandara segera menahannya dengan memeluk lengan besar milik Raph. “Ayo! Kita berangkat sekarang.” Faikar dengan santai berjalan keluar rumah Irene, ia menyambar tasnya yang ada di atas meja tanpa menghiraukan tatapan tajam Raph yang mengikuti semua gerak-geriknya. “Cih.. Irene, kami pergi. Ayo!” Raph mendecih melepaskan tangan Sandara dan segera mengambil tasnya, kemudian berjalan keluar menghampiri lelaki yang membuatnya emosi setengah mati. “Kemana kita akan berjalan Faikar?” Sandara berdiri dibelakang Raph bertanya seraya melirik pemuda Clairvoyant itu, Faikar hanya  menunjuk arah Utara tanpa berkata apapun pada mereka berdua. “Ayo cepat! lebih cepat kita sampai, maka lebih baik!” Raph yang masih merasakan emosi dan kini emosinya semakin bertambah karena Faikar yang menjawab tanpa berucap. Ia berjalan mendahului Faikar dan Sandara kearah utara. Sudah tiga jam setengah lamanya mereka berjalan menyusuri sebuah hutan, namun tidak ada satupun pembicaraan yang terjadi diantara mereka. Raph tetap berjalan jauh didepan bersama Sandara disampingnya, sedangkan Faikar berjalan dibelakang keduanya. Langkah Raph dan Sandara terhenti, “Hai, selanjutnya kearah mana?” tanya Raph saat jalan setapak yang ia ikuti terbagi menjadi tiga. Faikar menatap Raph dalam diam lalu menunjuk arah kiri tanpa bersuara lagi, membuat Raph mendengus kesal dan berjalan kearah kiri. Saat akan mengikuti Raph, Sandara sempat menatap pada Faikar dengan tatapan yang masih seperti tadi di rumah Irene. Faikar menaikan sebelah alisnya, ketika mendapati kembali tatapan Sandara yang seperti itu. “Mengapa kau menatapku seperti itu Sandara?” tanya Faikar to the point karena ia merasa ada sesuatu yang Sandara sembunyikan, namun ia tidak mengetahui apa itu. Sandara memilih untuk diam dan membuang tatapannya dari Faikar. “Karena kau seorang Clairvoyant, jadi terbiasalah dengan tatapan kami padamu!” ucap Raph seakan-akan ia mengetahui bahwa alasan Sandara menatap Faikar seperti itu adalah karena Sandara membencinya sama seperti dirinya. Srek! Mereka segera melirik semak-semak yang ada disamping kiri ketiganya yang tiba-tiba bergoyang tadi, hening... ketiganya kini terdiam memperhatikan. “Apa itu?” Sandara berbisik dan masih menatap semak-semak tersebut dengan was-was. Raph segera mengeluarkan pedang yang ia bawa dan menjulurkannya kedepan. “Tunggu! Tidak perlu mendekati itu, sebaiknya kita terus berjalan.” Faikar berusaha menghentikan pergerakan Raph yang hendak menghampiri semak tersebut. Namun, Raph tidak menghiraukannya tetap mendekati semak tersebut. “Sudahlah Raph, disana…” “Memang apa yang ada disini?” Raph menyela perkataan Faikar dan ia membelah semak-semak itu dengan pedang tajamnya. Tik! sebuah akar pohon tipis yang melintang ditengah semak itu tidak sengaja terpotong oleh pedang Raph. Trak! Setelahnya terdengar suara patahan keras dari atas pohon yang membuat ketiganya mengadah, melihat sebuah batu besar yang meluncur dari atas menuju tubuh Raph. Faikar melirik Raph dengan cepat, Brugh! Sedetik kemudian tubuh Raph terjatuh kebelakang karena Faikar mendorong tubuhnya agar menjauh dari tempat tersebut. “Astaga, Faikar!” teriakan Sandara membuat Raph yang meringis kesakitan membuka matanya, menatap keadaan Faikar yang mengenaskan. Kaki Clairvoyant itu tertindih batu besar yang meluncur tadi, dengan darah segar mengalir di atas tanah. “Fraticesa!” Sandara mengibaskan tangannya kearah batu besar itu seraya mengucapkan sebuah mantra penghancur, hingga akhirnya batu besar tersebutpun hancur menjadi serpihan kecil. “Raph, kakinya!” Sandara dengan panik menghampiri Faikar yang terbaring tidak sadarkan diri dengan kaki yang sudah tidak terbentuk. “Cih… Clairvoyant bodoh!” umpat Raph berdiri dari jatuhnya, menghampiri Faikar dan Sandara dengan kesal. Ia melihat darah dan daging tersebut, dan duduk di samping Sandara. “Apa yang harus kita lakukan?” Sandara terlihat sangat panik, hal yang sering sekali Raph lihat dari gadis itu. Ia menepuk pelan bahu Sandara, berusaha menenangkannya. “Jangan panik! Aku ingat sebuah mantra pengembali bentuk tubuh yang hancur. Irene pernah melakukannya pada seekor Rusa dahulu!” Sandara mengangguk pelan dan berhasil tenang saat mendengarkan Raph yang sedang menarik nafasnya perlahan. “Factus Recupera!” Raph bergumam seraya menggerakan tangannya pelan, menelusuri seluruh bagian kaki milik Faikar dan menyentuh daging serta darah tersebut. “Factus Recupera!” ucapnya lagi, dan setelah berulang-ulang ia mengucapkan mantra tersebut, perlahan darah maupun tulang yang tadinya berceceran kini kembali menjadi bagian kaki milik Faikar, tentu saja dengan kulit yang menutupinya. “Syukurlah...” Sandara menghela nafasnya setelah melihat keberhasilan Raph dalam mengembalikan bentuk kaki Faikar. Raph terduduk dengan keringat yang membasahi pelipisnya, memang sulit untuknya menggunakan sebuah mantra yang seharusnya hanya bisa diucapkan oleh para guru itu. “Kau hebat Raph, kau dapat menggunakan mantra itu dengan sempurna!” puji Sandara pada temannya ini dengan senyuman lebar. Raph tersenyum bangga pada dirinya sendiri dan berucap, “Jangan remehkan aku!” dengan nafas yang tersengal-sengal.                   Suara hewan malam terdengar begitu kencang ditelinga Faikar saat ia tersadar dari pingsannya. “Kau sudah sadar? Syukurlah!” ia mendengar suara Sandara dan melihat gadis itu duduk disampingnya. Tidak lama Faikar merasakan sebuah benda basah menempel di atas dahinya yang diletakan oleh Sandara. Tangan Faikar menggapai dan meraba benda itu, “Apa ini?” tanyanya menyipitkan mata merasakan tekstur benda basah dan dingin tersebut. “Tenanglah, itu hanya sebuah handuk basah. Tadi suhu tubuhmu sempat tinggi, jadi aku mengompresnya agar tidak terlalu berbahaya.” Sandara menjelaskan dengan lembut, ia mengerti jika Faikar merasa curiga terhadapnya maupun Raph karena kejadian saling diam yang sebelumnya terjadi. Namun, itu hanya sebuah kecanggungan diantara mereka, bukan berarti ia membenci Faikar. Faikar bangkit dari posisi tidurnya dengan perlahan seraya memegang kepalanya yang terasa sangat sakit, “Minumlah!” Sandara menyodorkan sebuah mangkuk daun yang berisi air. Faikar menerima itu dan meminumnya, menghilangkan kering di tenggorokannya. “Bagaimana kakimu? Tidak terasa sakit kan?” Sandara menatapnya dengan penasaran, Faikar mengangguk dan melihat kakinya yang ternyata masih... utuh. Mata Faikar melebar, ia segera melirik gadis dihadapannya itu dengan tidak percaya. “Tapi, bagaimana bisa?” ia yakin, sangat yakin bahwa ia akan kehilangan kakinya akibat batu besar tadi. Sandara tersenyum manis, matanya memejam sebentar dan kembali menatap Faikar. “Raph menggunakan mantra penyembuh untuk mengembalikannya.” Jawaban yang ia dengar membuat Faikar terdiam. “Apa dia sudah.. Oh, Baguslah jika kau sudah sadar!” suara itu membuat keduanya menatap Raph, terlihat pemuda tampan itu meletakkan beberapa kayu kering yang baru saja ia bawa keatas api yang sudah menyala sedari tadi. “Terima kasih!” Faikar merasa sangat berterimakasi pada Raph karena telah menyembuhkannya, ia tahu bahwa itu pasti bukanlah hal yang mudah. Sandara melirik kearah Raph yang duduk seraya melempar beberapa kayu ke atas api, tidak ada jawaban dari pemuda itu, ia hanya terdiam focus pada kegiatannya melempar kayu. “Megapa kau mendorong ku?” dengan nada ketus ia balik bertanya pada Faikar tanpa melirik. Kini Sandara beralih menatap Faikar yang menatap mangkuk daun di tangannya. “Entahlah, saat itu tiba-tiba aku melihat suatu hal yang buruk akan terjadi.” Faikar menjawab dengan singkat tanpa menjelaskan dengan rinci pada keduanya mengenai apa yang ia lihat. Pengelihatan yang di maksud Faikar adalah bagian dari kemampuannya untuk meramalkan masa depan, dan baik Sandara maupun Raph mengerti maksud dari perkataan Faikar. “Apa itu?” Sandara mengajukan pertanyaan tersebut karena ia penasaran dengan hal apa yang Faikar lihat, dan Raph pun ikut menatap serius kearah Faikar. Faikar membuang nafasnya dengan pelan, ia menyiapkan dirinya sendiri untuk mengatakan hal yang ia lihat. “Jika Raph yang tertimpa batu besar itu, maka kita tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Karena dia akan…” Faikar tidak melanjutkan ucapannya, ia menatap kearah lain seolah membuang muka dari keduanya yang saling kini menatap. “Jadi maksudmu, Raph akan kehilangan nyawanya?” Sandara kembali bertanya, Raph yang mendengar pertanyaan tersebut menatap horor pada gadis itu, meskipun ia juga berpikir demikian. Trek! sebelum keduanya mendengar jawaban dari Faikar, sebuah suara ranting kering yang terinjak sudah lebih dahulu terdengar membuat ketiganya kembali terdiam. “Raph, apa itu?” Sandara berbisik curiga, ia mendekatkan duduknya pada Faikar. Raph berdiri dari tempatnya, menggelengkan kepala tanda ia juga tidak tahu. Lalu ia mengambil pedang yang tergeletak disampingnya, berjalan kearah suara itu berasal.             *Spina dari Fuller’s Teasel adalah Duri yang ada di tanaman bunga Fuller’s Teasel. *Fraticesa adalah sebuah mantra untuk menghancurkan benda-benda, biasanya mantra ini di gunakan untuk melindungi diri. *Factus Recupera adalah sebuah mantra yang digunakan untuk mengembalikan bentuk tubuh yang hancur. Biasanya mantra kuat ini hanya digunakan oleh orang-orang hebat bahkan beberapa guru sihirpun belum tentu dapat menggunakan mantra ini.  *Fuller's Teasel adalah tanaman berbunga yang dikenal dengan nama umum teasel liar. Memiliki warna bunga ungu, merah muda atau lavender. Yang letak bunganya membentuk kepala di ujung batang.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD