Chapter 2 : Faikar Eight

1009 Words
Mereka menatap ke arah pemuda Clairvoyant yang mereka temui tadi, dan kini orang itu berada dihadapan mereka. Raph mengerenyitkan dahinya karena tidak suka dengan apa yang terjadi saat ini, ia merasa hari ini adalah hari sialnya. “Sedang apa kau disini?!” tanyanya dengan nada ketus, ia menatap dingin pada pemuda itu seraya melipat kedua tangannya kedepan. “Sudah ku katakan dari awal, aku kemari ingin menemui kalian berdua.” Jawab pemuda Clairvoyant yang ternyata memiliki nama Faikar itu, ia berdiri dan menghampiri ketiga penyihir dihadapannya. Raph menyipitkan mata dan menatap Irene seraya bertanya “Irene apa ini? Mengapa kau memperkenalkan dia pada kami? Terutama pada ku?” Raph menunjuk dirinya sendiri, menekankan pada Irene bahwa seharusnya ia tahu muridnya yang bernama Raph ini sangat membenci keturunan Clairvoyant. Irene menghela nafasnya, “Raph, aku akan menugaskan pada kalian sebuah tugas yang sangat berat. Maka dari itu aku memanggilnya!” jelasnya dengan lembut, ia tahu betul muridnya yang satu ini adalah seorang Enchanter yang masih mempunyai rasa benci terhadap para keturunan Clairvoyant. Namun, keputusannya yang ia buat saat ini adalah demi kebaikan bersama. Sandara mengerenyitkan dahi ketika mendengar penjelasan tersebut, “Tugas apa kali ini?” tanyanya pada sang guru. Ia tidak terlalu mempermasalahkan akan pergi dengan keturunan mana, yang jelas ia hanya ingin segera menyelesaikan tugas tersebut dengan baik dan pulang dengan selamat. “Mencari beberapa unsur dari beberapa tumbuhan yang berbeda, tumbuhan ini untuk ramuan yang akan ku buat.” jelas Irene yang menunjukkan senyumnya yang lebar. Raph memutar kedua bola matanya, terlihat jelas rasa malasnya untuk menjalankan tugas kali ini. “Apa tumbuhan yang ada di kota ini tidak cukup? Ramuan apa yang sebenarnya akan kau buat?” tanya Raph menunjuk kearah toko bunga yang berada tepat di sebrang rumah Irene. Irene menatap Raph dengan tajam, ia mendecak pinggang dan berjalan selangkah demi selangkah menghampiri lelaki bermata tajam tersebut. “Ramuan yang akan membuatmu tutup usia! Turuti saja perintahku Raph, kau adalah muridku! Jadi sebaiknya tunjukkan baktimu!” Raph membuang nafasnya yang sempat tertahan ketika melihat raut wajah Irene yang menakutkan, ia hanya bisa mengangguk pelan dan pasrah ketika Irene sudah mengaitkan segalanya dengan kata ‘bakti’. Karena dengan kata tersebut Raph akan melaksanakan apa yang gurunya minta. “Baiklah… Tapi, apa kita harus melakukan perjalanan dengan Clairvoyant ini?” Raph mengangguk kemudian melirik Faikar dengan tatapan tidak suka padanya. Sang Clairvoyant yang ditatap itu, hanya membalas Raph dengan tatapan tajam yang ia punya, tidak setajam tatapan Raph namun ada kesan dingin dalam tatapan Faikar. “Aku mempunyai nama!” Ucap Faikar kesal karena ia hanya mendengar Raph menyebutnya dengan kata ‘Clairvoyant’ sedari tadi, yang notabene nya adalah nama sebutan untuk keturunannya. Ia memang keturunan Clairvoyant tapi, bukan berarti seluruh orang dapat dipanggil dengan julukan keturunannya, memanggil julukan seperti itu terbilang cukup kasar. “Baiklah, siapa namamu itu?” Raph berujar dengan malas menanggapi keluhan tersebut, tetapi ia harus tetap menghargai nama seseorang setidaknya dengan mengetahui nama Clairvoyant tersebut. “Faikar, Faikar Eight!” jawab Faikar yang akhirnya memperkenalkan nama dengan diiringi senyumnya, ia benar-benar terlihat seperti seseorang yang memiliki pemikiran positif. “Namamu terdengar aneh...” Sandara berucap dengan hati-hati, takut melukai perasaan Faikar. Namun lelaki itu hanya terdiam dan kembali tersenyum. Irene tersenyum ringan melihat keduanya, ia bangkit dari kursi di ruang tengahnya. “Silahkan kalian berbincang-bincang, aku akan membuatkan teh.” Kemudian Irene bergegas pergi menuju dapurnya dan membuatkan beberapa gelas teh juga menyediakan kue untuk ketiga orang yang berbincang diruang tengah miliknya. “Eight, pasti itu yang membuatnya terdengar aneh.” Tebak Faikar, Sandara mengangguk sementara Raph hanya diam bersandar pada tembok. Ia tidak ikut duduk dengan Sandara dan Faikar, terlalu malas untuknya ikut berbincang dan duduk di kursi itu layaknya teman akrab. “Marga Eight, keluargaku adalah keluarga yang dapat meramalkan letak kedelapan tumbuhan suci. Maka dari itu mengapa nama Marga kami adalah Eight!” Faikar menjelaskan pada keduanya yang ia pastikan ingin mengetahui asal mengapa marganya bernama seperti itu. “Memang apa gunanya kedelapan tumbuhan suci itu?” Raph mulai menegakkan badannya dari dinding karena merasa tumbuhan suci yang di maksud Faikar mungkin saja adalah tumbuhan yang di inginkan Irene. Faikar menatap Enchanter yang bertanya padanya, namun dengan sikap yang acuh bahkan terdengar seperti tidak ingin tahu tetapi hanya ingin bertanya saja. “Untuk apa aku memberitahukan gunanya tumbuhan itu padamu? Jika nantinya Kau hanya akan mengolok-olok ku dengan itu.” Faikar masih menatap Raph dengan tatapan menantang ketika menjawab pertanyaan tersebut. Raph menghela nafas dan berjalan menghampiri meja dimana Faikar dan Sandara berbincang, “Jangan berburuk sangka padaku terlebih dahulu telur!” ucapnya dengan nada sinis, satu tangannya ia taruh keatas meja dan ia mencondongkan tubuhnya pada Faikar. “Lihat? Kau mulai mengolok ku kembali!” Faikar mengabaikan tatapan tajam Raph dan menunjuk Raph dengan jari telunjuknya, Raph berkedip terkejut dengan apa yang baru saja Faikar lakukan. “Kalian berdua sudahlah!” Sandara menengahi keduanya, ia berdiri dari tempatnya untuk menarik Raph agar duduk di kursi. Setelahnya Faikar dan Raph hanya terdiam, dengan Sandara yang duduk di antara keduanya. “Wah, jangan adakan perang dingin di antara kalian. Besok pagi kalian harus menjadi rekan satu perjalanan!” ucap Irene yang baru datang membawa teh dan sepiring kue, keduanya tetap tidak bergeming. “Hh.. ini akan menjadi perjalanan yang sulit untukku!” Sandara berbisik pelan pada Irene, ketika gurunya itu menaruh gelas untuk mereka. “Haha.. aku yakin kalian akan terbiasa.” Irene membalas bisikan Sandara, ia memberikan sugesti yang positif untuk gadis itu.   Malam harinya setelah mereka kembali dari rumah Irene, Sandara masih berkutat dengan setumpuk buku-buku usang didalam kamarnya. “Sulit sekali mencari keterangan tentang Clairvoyant!” gumamnya kelelahan, matanya tiba-tiba terfokus pada satu buku yang ia temukan. Buku itu bersampulkan dengan daun dari pohon Oak, yang membuatnya penasaran dan ingin membaca judul buku tersebut. ~ Clairvoyant ~ Judul dari buku itu, rasa gembira menyelimuti Sandara, dengan sigap ia menyingkirkan buku-buku usang lainnya dan mengambil buku tersebut. “Akhirnya aku menemukanmu! Oke, sekarang... Tinggal mencari Marga Eight!” ucapnya pada dirinya sendiri dan mulai membuka buku tersebut. Sebenarnya, tidak ada yang memerintahkan Sandara untuk mencari keterangan mengenai Faikar. Namun sepertinya, Sandara sendirilah yang memiliki rasa penasaran pada lelaki itu hingga ia rela menghabiskan malamnya dengan puluhan mungkin ratusan buku. “...” Sandara tertegun setelah membaca seluruh hal mengenai Keluarga Eight yang tertulis di buku yang masih dipegangnya tersebut. Ia menutup buku itu dengan perlahan, dan tangannya menjadi lemah seteah mengetahui isinya. “Apa yang sebenarnya ia pikirkan... ” gumamnya hampir berbisik karena tidak percaya atas kebenaran yang mereka temukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD