CHAPTER 2 AWAL SEMUA PENDERITAAN

1965 Words
Tasya memandangi kota Manhattan dari balik kaca mobil taksi. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke kampung halamannya, dan ia tahu banyak yang berubah di kota ini. 2 tahun kuliah desain hingga lulus, dan kini Tasya sudah mahir dalam bidang sketsa atau mendesain pakaian, mengikuti perkembangan zaman. Ia pernah bermimpi untuk memiliki rumah mode atau butik yang didesain khusus untuknya. Untuk saat ini, ia pulang ke rumah karena rindu dengan ayahnya. Ayahnya adalah satu-satunya yang ia miliki di dunia ini karena ibunya sudah lama meninggal saat ia lahir. Setelah membayar taksi. Rumah Tasya yang tidak terlalu megah sudah berada di depannya, walaupun tidak begitu besar, namun rumah itu tetaplah sebuah istana baginya. Dengan wajah ceria, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya. Tasya terkejut karena banyak mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi karena tidak mungkin ayahnya mengadakan pesta saat ini. Ketika kakinya sampai di depan pintu rumahnya, tiba-tiba tubuhnya dihalangi oleh dua orang pria berbadan besar. "Maaf, Nona, Anda tidak boleh masuk!" Salah satu pria berbadan besar itu berbicara kepadanya. "Kenapa tidak boleh? Saya anak dari pemilik rumah ini!" Tasya berbicara sedikit lebih keras. Dia merasa semakin tidak jelas karena dilarang masuk. Kedua pria itu saling berpandangan seolah berbicara melalui mata mereka. Terdengar suara benda-benda pecah dari dalam rumah, dan kejadian itu langsung mengagetkan Tasya. segera menerobos masuk melewati kedua pria itu. Untuk melihat apa yang terjadi, Tasya semakin melihat banyak penjaga yang menjaga pintu kamar ayahnya, dan satu hal yang aneh, Tasya tidak melihat adanya pembantu yang mengurus rumahnya. Dengan sedikit rasa takut, ia menaiki tangga menuju kamar ayahnya, ia yakin dari sanalah suara benda itu berasal. Ketika ia berada di depan kamar ayahnya, ia kembali dihadang oleh seorang pria bertubuh besar. "Kenapa!!! Saya pemilik rumah ini, kamu tidak bisa menghentikan saya." Tasya segera menerobos masuk sebelum pria itu menghentikannya. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah hal yang membuat dadanya sesak: ayahnya tergeletak tak berdaya dengan wajah penuh luka. Dan yang membuatnya semakin geram adalah pria yang menaruh kakinya di atas perut ayahnya dengan pistol yang ditodongkan ke kepala ayahnya. "Hentikan." Dengan sedikit keberanian, Tasya menghentikan pria itu. Alaric membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang berani menghentikannya. Mata mereka bertemu sejenak. Tasya menelan telepon genggamnya dengan kasar. "Tolong jangan bunuh ayahku, balas dendamlah padaku. Lakukan apapun yang kau mau. Saya tidak akan melawan." Tasya kehilangan akal sehatnya, ia hanya bisa menangis terisak-isak karena tidak sanggup melihat ayahnya menderita seperti ini. Huff, Nona, aku tidak menyangka kamu adalah anak dari orang tua bangka ini." Alaric menatap kembali penipu tua yang terbaring tak berdaya. "Apa kau yakin mau menanggung apa yang dilakukan si tua bangka ini?" Alaric menatap wanita lemah di depannya dengan merendahkan. "Aku yakin apapun itu, aku akan menanggungnya," kata Tasya dengan sangat percaya diri sekarang, meskipun dia tidak tahu bahwa yang ada di depannya adalah iblis yang mematikan. "Tidak! Sayang, kamu tidak akan sanggup menanggung apa yang Ayah lakukan." Pria tua itu berbicara kepada anaknya dengan terbata-bata. Tasya hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum untuk menenangkan ayahnya, mengatakan bahwa dia baik-baik saja. "Ayah akan menggantinya dengan apa? Saya tidak butuh pembantu atau p*****r karena saya bisa membayar mereka." Alaric berbicara lagi untuk menguji apa yang akan dilakukan oleh wanita lemah di depannya ini. Tasya mengangkat kepalanya dengan sedikit keberanian yang tersisa dan menjawab. "Dengan nyawaku, hidupku akan menjadi milikmu." Oke, cukup menarik, jangan menyesali perkataanmu, hidupmu sekarang akan menjadi milikku." Alaric menyeringai saat dia langsung setuju dengan jawabannya. "Baiklah, saya rasa permainan akan dilanjutkan besok." Alaric berjalan menuju pintu keluar, diikuti oleh pengawalnya. Sebelum pergi, Alaric sempat berbalik, dan sambil tersenyum, ia berkata pada gadis yang sedang membangunkan ayahnya yang hampir pingsan. "Persiapkan dirimu besok, penderitaan akan segera dimulai." Hanya itu yang diucapkan Alaric sambil berjalan kembali, tanpa melihat reaksi Tasya yang nyaris dilanda ketakutan. "Ayah, ayo kita ke rumah sakit." Tasya mengambil telepon genggamnya dan menelepon ambulans. ****** Tasya menunggu di depan pintu UGD untuk menunggu ayahnya ditangani oleh dokter. Tasya hanya bisa meremas-remas tangannya, bingung dengan semua yang terjadi hari ini. Ia mengira kepulangannya akan membawa kabar gembira, namun ternyata musibah baru menghampirinya. Dokter keluar setelah beberapa jam memeriksa ayahnya, dan dokter mengatakan bahwa ayahnya baik-baik saja, tidak ada luka yang serius, dan Tasya diperbolehkan menjenguknya. Dokter keluar setelah beberapa jam memeriksa ayahnya, dan dokter mengatakan bahwa ayahnya baik-baik saja, tidak ada luka yang serius, dan Tasya diizinkan untuk menjenguknya. Tasya duduk di samping ranjang rumah sakit yang berisi jenazah ayahnya. Tangannya menggenggam tangan ayahnya dan meletakkannya di atas pipi ayahnya. "Tasya," ayahnya menyadari dan memanggil putrinya. "Ayah, apakah Ayah butuh sesuatu?" Tasya bangkit, mengambil air putih dari gelas, dan membetulkan bantal ayahnya. "Tasya." Ayahnya menyentuh tangannya. "Ya, Ayah." Tasya menatap ayahnya. "Tolong jangan mau ikut Alaric." Ayahnya menggenggam tangan Tasya dengan cara yang sangat canggung karena dia takut putri satu-satunya akan terluka karena hal-hal yang telah dia lakukan. "Seorang pria bernama Alaric, jangan takut, Ayah, aku akan baik-baik saja. Sepertinya Alaric orang yang baik." Tasya membelai tangan ayahnya dan mencium buku-buku jarinya. "Maafkan aku, Ayah, karena sudah melibatkanmu dalam masalah ini." Ayahnya meminta maaf atas kesalahan yang menyebabkan putrinya terlibat. "Tidak apa-apa, Ayah, hidupku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan yang telah Ayah lakukan selama ini." Tasya tersenyum, namun hatinya gelisah dengan apa yang akan terjadi pada hidupnya esok hari, sehingga ia harus menjalaninya karena itu adalah pilihannya. Hidupnya sekarang adalah milik Alaric. ***** Pagi ini sangat indah bagi Alaric; pria itu bangun lebih awal dari biasanya, membuka pintu balkon, dan menghirup udara segar. Hari ini adalah hari di mana putri semata wayangnya, Hendra, akan meninggalkan dunia. Alaric menuruni tangga dan memanggil tangan kanannya, "Devon." Dia melihat seorang pria yang lebih muda darinya dengan napas terengah-engah saat dia berlari dari kamarnya menuju tempat tinggalnya. "Ada apa, Alaric?" Devon berbicara menggunakan nama Alaric karena selama ini Alaric memarahinya karena memanggilnya dengan sebutan Pak; Alaric menganggapnya sebagai saudara kandungnya, dan karena itulah Devon sangat menyayangi Alaric. "Saya ingin kamu menjemput anak Hendra dan membawanya ke sini." "Baiklah, saya akan menjemputnya." Devon langsung pergi bekerja. "Devon!" Devon menoleh ke belakang untuk mendengar apa lagi yang dikatakan orang tuanya. "Perlakukan dia dengan baik; dia adalah tamu saya." Devon mengangguk dan segera menjalankan mobilnya menuju rumah Hendra. Tasya sedang menyuapi bubur untuk ayahnya, ayahnya baru pulang dari rumah sakit pada malam hari karena menolak untuk dirawat. "Ayah, ini obatnya." Tasya membantu ayahnya meminum obat. Ayahnya menarik tangannya, membuat Tasya menoleh. "Ada apa, Yah?" Tasya, janji sama Ayah kalau Alaric menyiksamu, kamu harus lari atau melawan semua itu." "Jangan khawatir, Ayah, aku akan melawan Alaric kalau dia jahat padaku," Tasya berbicara dengan penuh percaya diri, meski dalam hati ia tidak yakin dengan apa yang ia katakan. Pintu terbuka dan menampakkan wajah pembantu rumah tangganya. "Ada apa?" "Nyonya ini yang mencarimu di luar," kata pembantunya sedikit gugup. Tasya membalikkan tubuhnya menghadap ayahnya, melepaskan genggamannya dan mengusap-usap tangannya, Tasya menuruni tangga untuk menemui tamu yang mencarinya dan mendapati ayahnya sedang duduk di sofa di ruang tamunya. "Apa kamu mendapat pesanan dari Alaric?" Tasya langsung saja ke intinya. "Ya, saya ke sini untuk menjemputnya," kata Devon, menggunakan kata-kata formal. Tasya menyadari bahwa pria di hadapannya itu seumuran dengannya dan tidak kalah tampan dengan Alaric. Baiklah, beri saya waktu untuk berpamitan dengan ayah saya." Tasya meminta persetujuan, dan sekarang dia sudah kembali ke kamar ayahnya. "Ayah, aku harus pergi, anak buah Alaric sudah menjemputmu." Ayahnya bangkit dan memeluk putrinya sambil menepuk-nepuk pundak putri semata wayangnya. "Jaga dirimu baik-baik, Ayah minta maaf." Tasya melepaskan pelukan ayahnya dan berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa, karena ia sudah tidak dapat menahan air matanya. "Apakah dia sudah selesai?" Devon bertanya pada Tasya saat melihat Tasya menuruni tangga sambil menyeka air matanya. "Bagaimana dengan barang-barangku?" Tasya bertanya pada Devon. "Nanti barang-barang kamu akan diantar ke sana, ayo." Devon mengajak Tasya. Pertama, Devon mengeluarkan sapu tangan dan langsung membius Tasya, dan kini Tasya pingsan dalam pelukan anak buah Alaric. Devon masih ingat bahwa orangtuanya tidak suka ada orang asing yang mengetahui jalan menuju rumahnya, karena itulah dia membius Tasya. ***** Tasya membuka matanya dan merasakan kepalanya sedikit pusing. Ia bingung di mana ia berada. "Hei putri tidur, apa kau sudah bangun?" Suara di sebelahnya terdengar, dan itu membuatnya menoleh dan melihat Alaric duduk di sofa di sebelahnya dengan satu kaki terangkat. "Alaric." Tasya sedikit ragu untuk menyebutkan nama pria itu. "Kamu sudah tahu namaku? Bagus, kalau begitu aku tidak perlu memperkenalkan namaku padamu." Alaric tersenyum untuk pertama kalinya, senyuman yang telah lama hilang dari hidupnya. "Bangun dan bersihkan tubuhmu, Daisy akan membawakan pakaianmu." Alaric keluar dari kamar Tasya. Tasya melaksanakan perintah Alaric setelah ia selesai mandi. Karena hari juga sudah hampir sore, Tasya hanya menggunakan kimono mandi di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan wajah seorang wanita cantik yang masih muda tapi mungkin lebih tua darinya. "Ini pakaian yang harus kamu pakai." Daisy mengenakan seragam pelayan berwarna abu-abu. Daisy ada di sini sebagai kepala pelayan. Dan dia telah memerintahkan agar dia memperlakukan Tasya sebagai pelayan Alaric. Alaric bahkan menyuruh Daisy untuk memberikan tugas yang berat kepada Tasya. "Kamu akan menjadi pelayan Mr. Alaric." "Oke." Tasya menghela napas lega karena ia merasa pekerjaannya cukup mudah. "Sekarang siapkan makanan untuk Mr. Alaric." Tasya hanya mengangguk dan berjalan menuruni tangga untuk melaksanakan tugasnya. Ia mengira bahwa ia yang akan memasak. Ternyata dia hanya menata makanan dan meletakkannya di meja makan, ternyata ada banyak sekali menu yang harus dibawa. "Nona, lebih baik kamu panggil Mr. Alaric saja," kata sang koki kepada Tasya untuk memanggilnya. "Aa, panggil saja saya Tasya, saya sama seperti Anda. Maaf, di mana kamar Mr. Alaric?" Tasya kembali bertanya kepada sang koki. "Kamar Mr. Alaric ada di lorong sebelah kiri di lantai atas, kamu ketuk pintunya dulu, kalau tidak ada yang menjawab, baru kamu bisa masuk." Sang koki memberikan instruksi, yang langsung dilaksanakan Tasya. Tasya sudah bersumpah untuk mencari kamar Alaric. Ada banyak ruangan di rumah ini, dan ia bingung ketika akhirnya sampai di ujung lorong, hanya untuk melihat sebuah pintu yang sedikit misterius-pintu kayu yang diukir dengan sangat indah. Tasya berdiri di depan pintu, ragu-ragu untuk mengetuknya. Akhirnya, ia menggunakan gagang yang tergantung di pintu untuk membantu mengetuk. Beberapa kali Tasya mencoba, tapi tidak ada yang membukanya. Akhirnya, ia teringat pesan sang koki bahwa ia boleh masuk jika tidak ada yang membukakan pintu. Akhirnya, ia pun membuka pintu perlahan-lahan. Hal pertama yang menyambutnya adalah sebuah kamar luas dengan arsitektur bergaya Eropa, tempat tidur yang memiliki headboard tinggi, dan seprai berwarna merah marun dengan dinding yang juga berwarna merah marun dan emas, menambah kesan mewah dan misterius, namun ia teringat akan tujuannya setelah terpaku terlalu lama di kamar Alaric. Tasya mengernyitkan alisnya saat melihat Alaric tidak ada di tempat tidur. Ia mulai melangkah lebih dalam ke kamar Alaric dan terkejut melihat Alaric tertidur dengan posisi duduk di sofa hitam yang ada di kamarnya. Tasya memberanikan diri untuk membangunkan Alaric. Ia melihat wajah Alaric yang terlihat seperti malaikat, dengan bulu mata yang panjang, hidung yang mancung, dan rahang yang kuat yang ditutupi dengan sedikit rambut halus. Dia sangat tampan. Tasya merasa kasihan harus membangunkan Alaric, dan ia juga melihat Alaric terlihat lelah. "Aaa, mungkin aku harus turun ke bawah dan bilang ke koki kalau Alaric sudah tidur." Tasya membalikkan badannya untuk melangkah keluar, namun saat ia melangkah, ada sebuah tangan yang menarik pergelangan tangannya, yang membuatnya terkejut. Ia duduk dengan paksa di sofa dan melihat wajah Alaric menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Tasya memejamkan matanya karena takut; dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alaric mencengkeram rahang wanita yang ada di bawahnya hingga wanita itu merasakan sakit atas apa yang dilakukan Alaric, dan mau tidak mau wanita itu membuka matanya. "Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku tanpa seijinku?" Alaric berkata dengan dingin bahwa siapa pun akan takut untuk melihat wajahnya sekarang. ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD