PART 2

1314 Words
Ruangan Anne. "Duduklah.", Anne mempersilahkan Dave. Hubungan dingin antara mereka menyeruak ke seluruh ruangan. Hanya mereka yang faham bagaimana kondisi di masa lalu. Hanya Dave yang masih marah kepada Anne. Hanya Anne yang masih sedih atas Dave. "Bagaimana kabarmu?', Anne mencari peruntungan dari pertanyaannya. "Kau mengenalku?" ".............", Anne tak menjawab. "Anne, kau mengenalku?", tanya Dave lebih pada boomerang. "Dave, beritahu aku bagaimana kita akan memulai sesi ini." Dave tersenyum sinis. "Nothing special. Kau hanya harus memberitahu detail struktur jabatan, jobdesk, dan sistem kerja disini." "Baiklah. Kita memang tidak saling mengenal. Kita baru bertemu dan sekarang menjadi rekan kerja." "Bagus." Anne mengatur emosinya kembali. Dave keras, begitu juga dengan dirinya. "Oke, ini berkas yang harus kau pelajari.", Anne memberikannya. "...... Kau akan membawahi Head Receptionist, Reservation system, Chief Operator, Head Cashier, dan Head Concierge. Semua jobdesk mereka ada disitu. Jobdeskmu juga. Aku harap pengalamanmu di Amerika tak mengecewakan." "Oke." "Apa disana kau juga bekerja untuk sebuah hotel?" "Well, milik Paman. Aku bekerja selagi menyelesaikan gelar master." "Oh Good. Buatlah G-Hotel mengapresiasimu dengan itu." "Kita lihat nanti. Aku tahu bagaimana bertanggungjawab." "Bagus. Aku tunggu dua hari lagi dengan perkembanganmu mempelajari G-hotel." "Tidak perlu. Besok aku sudah bisa mengingatnya di luar kepala." Sombong. Anne ikut melempar senyum sinis pada pendapat Dave. "Aku berusaha tidak terperdaya dengan janjimu. Bukankah kau juga perlu menyiapkan keperluanmu untuk hidup di Bali? Setahuku, baru hari ini kau landing dan Arslan sama sekali belum mempersiapkan apapun." Dave menaikkan satu alisnya. Mengartikan kalimat Anne di luar jalur. "Kau begitu mengenalnya.", ucap Dave. Anne membenarkan anak rambut untuk memberi jeda berpikir sebelum menjawab Dave. "Tidak terlalu, tapi iya untuk masalah pekerjaan." "Memang siapa yang membahas di luar itu?", Dave dan todongannya. "Sudahlah. Aku tunggu dua hari dari sekarang." "Oke. Jika sudah selesai, sebaiknya aku pergi." Anne memperhatikan Dave yang mulai berdiri. Dia melangkahkan kaki ke pintu. Memutar kenop namun tak kunjung menariknya. Dave memutar badan. "Kurasa kau tahu bahwa Arslan sedang sibuk. Jadi aku tak tahu harus bertanya pada siapa untuk masalah tempat tinggal." Anne mencoba menanggapi dengan sikap menyebalkan seperti yang dilakukan Dave. "Kau sedang bertanya atau meminta bantuanku? Aku tak bisa membedakannya." Dave terkejut. "Haruskah kuulangi? Kau tahu aku tak suka mengulang sesuatu.", sahut Dave. "Aku tahu? Darimana aku tahu saat kita baru saja saling mengenal?" Dave menelan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Dia memutar matanya dan menghembuskan nafas berat. Sial. "Kurasa pembicaraan berhenti disini. Aku pergi." Dave meninggalkan ruangan Anne. *** Keesokan harinya. Anne sudah sampai di hotel lebih pagi dari biasanya. Dia tampak cantik dengan long blezer hitam. Lesung pipit dan rambut tergerainya tampak begitu manis. Kaki jenjang Anne mampu membuat lawan bicaranya takluk. Hari ini Anne akan melakukan interview terhadap beberapa calon pegawai baru sebelum diserahkan kepada Arslan. Anne berjalan mengelilingi hotel melihat para pegawai mulai menata kewajiban mereka masing-masing. Ruangan untuk interview sudah siap. Anne tersenyum kecil dan melangkah ke arah depan. Ada sedikit keributan di resepsionis sepagi ini. "......kamar di lantai cukup atas tapi jauh dari lift. Saya ingin pemandangan laut tepat di depan tempat tidur. Pastikan saya mendapat bathub warna putih dengan beberapa tanaman lavender di sekelilingnya. Ruang tamu tidak boleh memiliki banyak sofa karena saya suka kelapangan. Setiap pagi tepat pukul delapan, siapkan sarapan bergizi rendah lemak di kamar saya. Channel TV tidak penting kecuali siaran badmintoon tidak boleh sampai terganggu. Pastikan juga pengharum ruangan tidak berlebihan. Saya juga....." "Maaf Tuan. Anda berbicara terlalu cepat.", potong petugas resepsionis. "Apa saya harus ulangi? Apa-apaan itu?" Lelaki paruh baya dengan kumis dan jenggot yang sudah memutih, berdiri menenteng satu koper di tangannya dan kini beradu mulut dengan pegawai resepsionis. "Maaf, saya harus mencatat agar permintaan bisa kami layani." "Payah.... kalian ini..." Anne mendekat dan akan membantu. Anne menyela dengan sopan. Dia berkata manis kepada tamu itu. "Selamat pagi, Sir. Senang sekali anda berkunjung di hotel kami. Maaf atas sikap pegawai saya. Kalau boleh, perkenankan saya untuk melayani anda secara langsung." Lelaki paruh baya itu meneliti penampilan Anne dari atas hingga bawah. Siapapun tahu jika Anne menarik. "Bagus. Saya tidak mau mengulangi kata-kata tadi. Saya sudah tua, saya hanya butuh istirahat.", jawabnya. "Anda memilih hotel yang tepat, Sir. Mari, saya siapkan..." Anne berlalu bersama pak tua itu dengan menyisakan petugas resepsionis yang menghembuskan nafas lega. Anne memiliki daya ingat yang tinggi. Dia mendengar permintaan tamu itu dengan baik. Walaupun bukan tugasnya, tapi dia lakukan demi kecintaannya pada G-hotel. Setelah selesai melayani si pak tua, dia kembali pada meja resepsionis. "Saya ingatkan lagi. Jangan pernah menyela perkataan tamu. Dengarkan dengan baik lalu koordinasikan dengan tepat. Daya tangkapmu perlu diasah." "Baik, Miss. Akan saya ingat dan perbaiki." Anne melembut. "Saya faham jenis tamu termasuk yang menyebalkan. Tugas kalian adalah tetap melayaninya dengan baik. Mengerti?" "Mengerti, Miss." "Bagus. Kembalilah bekerja. Angkat dagu sedikit dan lembutkan pandanganmu. Jangan karena satu tamu, mood bekerjamu jadi buruk." "I...iya." Anne pergi menuju ruangan belakang untuk melihat dapur kemudian menuju restoran hotel. Setelah memastikan semua pegawai siap, dia akan kembali ke ruangannya sebelum mata itu terpaku pada lelaki yang tengah menyantap sarapan dengan lahap. Dave tampak menikmati makanannya. Dia juga terlihat sudah siap dengan setelan kerja berwarna navy. Gagah. Itu yang terlihat darinya. Anne akan mengacuhkan itu, namun tiba-tiba teringat suatu hal yang dia lihat di dapur tadi. Anne bergegas ke meja Dave. "Stop...", ucap Anne saat Dave mendekatkan piring kedua yang akan ia santap. Dave memandang dan mematung saat Anne menarik piring itu kembali. "Apa yang kau lakukan?", tanya Dave heran. Anne tak menjawab dan mulai menggerakkan sendok pada nasi goreng di piring itu. "Apa kau masih akan melanjutkan saat ada ebi dan potongan cumi halus di dalamnya? Lihatlah." ".............", Dave diam menelisik makanan pilihannya. "..... Pilih makanan dengan teliti jika kau masih ingin membuktikan hasil belajarmu tentang G-hotel.", ucap Anne. "Terimakasih.", balas Dave datar. Anne bersiap pergi sebelum Dave menahannya dengan kata-kata. "Tunggu. Kau bisa sarapan juga.... Sebagai ucapan terimakasihku." Anne menelisik raut wajah datar milik Dave. Tak terbaca. "Tidak. Aku harus pergi." "Tunggu. Kau tak pernah melewatkan sarapan pagi." "Aku sudah berubah. Aku tidak bisa sarapan sepagi ini...lagi." Dave mengernyitkan dahi. "Oh...baiklah. Aku tak memaksa." Tanpa mereka sadari, mereka kembali pada memori lama masing-masing. Kebiasaan dan beberapa hal yang pernah mereka lakukan bersama. "Aku kira kau bukan orang yang datang terlalu pagi untuk sebuah pekerjaan?", telisik Anne. "Kau benar. Aku memang belum datang untuk bekerja." "Maksudmu?" "Aku disini, sejak kemarin. Sampai sekarang." "Wait. Kau menginap?", Anne membuka mulutnya, terkejut. "Aku belum menemukan hunian yang bisa kusewa. Aku ambil dua malam dulu disini.", tambah Dave. Anne menghela nafas kemudian duduk di kursi depan Dave. "Arslan tak membantu?" "Aku tak meminta bantuannya." "Keras kepala." "Hey, aku sudah mendapat pekerjaan ini. Sisanya tak mungkin ku bebankan padanya. Sial." "Dan berarti kau serius saat bertanya padaku kemarin?" "Aku bukan orang yang sering bercanda, Anne." Sebenarnya Anne ingin tertawa mendengar pengakuan Dave. Hanya saja, dia lebih memilih untuk memicingkan pandangannya daripada terlihat mengakrabi. "Lanjutkan makanmu. Aku bantu cari informasi untuk itu." Dave memandang Anne yang mulai meraih ponselnya. "Anne, aku bukan orang yang kuno. Aku tahu teknologi tapi aku hanya tidak menemukan tempat sesuai dengan harapanku." "Diam dan habiskan saladmu." Anne membuka ponsel dan mencari beberapa informasi disana. Sesekali dia menghubungi seseorang. Beberapa saat kemudian, Anne menyunggingkan senyum manis. Pertanda bahwa informasi sudah ditangannya. Dave mencuri pandangan dengan melirik raut wajah Anne. Senyum Anne. Senyum itu masih sama. "Ehemmm...bagaimana?", tanya Dave. "I get it." "Kau pikir semudah itu mendapat hunian sesuai tipeku?" "Yes, I get it. Dan kau tak punya banyak pilihan kecuali kau memilih hidup boros dengan tinggal di hotel lebih lama." "Kau sedang membicarakan hotel tempatmu bekerja." "Ya, aku tahu kualitas hotel ini, sungguh tidak bisa dinilai murah." "Fine. Kau tahu? Aku selektif tentang tempat tinggal. Aku tak bisa hidup di..." "Apartemen. Ya, ini bukan apartemen. Ini sebuah rumah minimalis." "Bagus. Dan aku juga harus mendapat...." "Pemandangan dan cahaya langsung." "Good. Selain itu harus ada kolam renang..." "Sorry, untuk itu kau harus kecewa." "Oke, not bad. Tapi karena aku hidup sendiri, aku tidak mau banyak......" "Ruangan. Ya, rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah. Halaman samping terpisah oleh pintu kaca, dapur kecil, dan satu set meja makan. Cukupkah?" Dave melongo dengan cara yang karismatik. "Bagaimana kau menemukannya?" "Tidak sulit karena itu milik teman kakakku.", Anne mengangkat bahunya bersamaan. Dave menahan senyuman yang sudah ingin sekali ia keluarkan. Dia menatap mata Anne yang juga tengah menatap matanya dengan lebih santai pagi ini. Hubungan di masa lalu tidak menimbulkan efek buruk sampai detik ini. Sebenarnya mereka bisa saling membantu karena sudah saling mengenal. Tapi, kembali ke masalah hati memang begitu rumit. Apalagi jika sudah menyangkut kekecewaan. "Besok kau bisa pindah kesana.", pungkas Anne untuk menambah kelegaan Dave.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD