Dewi Penolong

926 Words
Di pagi yang cerah ini jam menunjukkan pukul tujuh. Seorang gadis cantik bernama Aileen Nathania Winata sedang sibuk menyiram tanaman bunga yang tumbuh subur tepat di halaman depan rumahnya. Inilah hal yang wajib Aileen lakukan setiap paginya. Di kota Montreal, Quebec, Kanada. Tempat Ana bermukim, begitu sebutan namanya. Ana tinggal sendiri di kota terbesar Provinsi Quebec, Provinsi kedua terbesar menurut populasi setelah Ontario. Sesekali Ana bersenandung kecil saat mulai menyiramkan air ke setiap tanaman bunganya. Menurut Ana, bunga adalah penenang jiwa bagi kehidupannya. Hanya dengan melihat bunga, semua kecemasan dalam dirinya akan hilang. Lalu saat Ana ingin menyiram bunga terakhir yang ada di halamannya, sebuah suara kegaduhan terdengar di sebelah rumahnya. Rasa penasaran Ana membuatnya menghentikan aktivitasnya dan melangkah mendekati suara kegaduhan tersebut kemudian saat dia ingin masuk langkahnya terhenti. Ana berpikir sejenak, bukankah rumah ini tak berpenghuni? Batinnya. Lalu tiba-tiba seorang gadis kecil menghampiri dan memeluk kakinya. Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu membuat Ana berjongkok agar bisa sejajar dengannya. "Kamu kenapa gadis kecil?" tanyanya, Ana menghapus airmata anak itu lalu merapikan rambutnya yang terlihat berantakan. "Ayah memukul ibuku," jawabnya to the point. "Kamu yakin, sayang? Namamu siapa?" Ana lagi-lagi bertanya. "Aku tidak bohong, sungguh!" Gadis itu menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Wajah gadis kecil itu terlihat sendu, membuat Ana merasa iba. "Tenang sayang, Kakak akan membantumu." Ana mencoba menenangkan anak itu kemudian bangkit dan masuk kedalam rumah. Dia menoleh sebentar saat anak itu bersembunyi di belakangnya. "Tetap di belakangku, gadis—" "Namaku Letisha," potongnya sambil mendongak pada Ana. Ana tersenyum lalu mengusap kepala Letisha. Perlahan-lahan tubuhnya memasuki rumah tersebut, Dia memperhatikan seluruh ruangan. Suara pertengkaran itu makin jelas terdengar membuat Letisha menggenggam erat baju Ana dari belakang. "Tenanglah, Letisha! Kakak pastikan, Ibumu baik-baik saja," tuturnya lembut. Ana kembali melangkahkan kakinya mendekati sumber suara, saat dia menginjakkan kakinya di ruang tengah rumah Letisha. Terlihat pria yang berumur sekitar empat puluh tahun ingin menampar seorang wanita yang diyakini adalah Ayah dan Ibu Letisha. " Hentikan!" teriaknya. Pria itu menahan tangannya dan menoleh ke sumber suara dan hal sama pun dilakukan oleh Wanita tersebut. "Siapa Kau? Beraninya Kau memasuki rumahku," bentaknya pada Ana. "Kau tanya siapa Aku? Semestinya Aku yang bertanya, Berani sekali kau menampar Istrimu!" Ana menatap tajam Ayah Letisha, Pria itu terlihat geram dengan ucapan Ana. "Dia istriku, aku punya hak atas dirinya. Dan kau, atas dasar apa kau melarangku untuk memukul Wanita Jalang ini?" bentaknya. Letisha yang berada dibelakang Ana, seketika mengeluarkan air matanya tanpa bersuara. Kenapa semua laki-laki sangat kasar pada Wanita? Batinnya. Lagi-lagi Ana mencoba menenangkan Letisha, dia melihat ke arah Ibu Letisha yang tampak tegar. "Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya tetanggamu, tapi aku seorang wanita dan orang yang ingin kau tampar adalah wanita. Kami sama! Jadi aku berhak menghentikan kekasaranmu itu!" tegasnya. "Diam Kau!" perintahnya pada Ana. Tangan pria itu kembali ingin menampar sang Istri tapi dengan gesitnya Ana menahan tangan Pria itu lalu menyentakkannya. "Kubilang hentikan! Apa telingamu sudah tuli?" "Kau...." Suara pria itu meninggi, raut wajahnya sangat marah. Kemudian pria itu menggenggam tangan Ana sangat kuat. Tapi tanpa diduga Ana malah menantangnya. "Berani sekali kau menyentuh tanganku!" ujarnya, Ana kembali menyentakkan tangan Pria tersebut. Pria itu kembali ingin menyentuh Ana namun tangannya terhenti. "Jika kau berani menyentuhku ataupun memperlakukan istrimu dengan kasar. Akan kupastikan hidupmu akan berada di jeruji besi," tegasnya. "Hahaha, dasar bocah! Kau pikir, aku akan takut dengan gertakanmu," ejeknya. "Aku tidak main-main, aku bukan menggertakmu!" balasnya, pria itu mencoba mencari kebohongan di mata Ana namun sepertinya gadis itu memang serius. "Tapi terserah kau saja. Pergi dari sini atau polisi yang ke sini," ucap Ana santai. Kemudian wanita yang berada dibelakang Ana memegang tangannya seolah berkata sebaiknya tak perlu menentang sang suami namun Ana menatap wanita itu, mencoba meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu Ana kembali menoleh pada pria itu. Dia tampak berpikir, menimbang perkataan Ana. "Kau berurusan dengan orang yang salah, Nona." iPria itu menunjuk Ana lalu pergi begitu saja. Ana tersenyum dan berbalik pada Letisha dan ibunya. Letisha langsung memeluknya. "Kakak benar-benar Dewi penolong!" puji Letisha membuat Ana memeluknya. "Kakak hanya membantumu, Sayang!" tuturnya lembut. "Kau sangat pemberani," timpal ibu Letisha, kemudian dia mendekat pada Letisha dan Ana. "Aku hanya tak suka, mestinya kau tak diam jika suamimu bersikap kasar," tegurnya. "Iya, maafkan aku!" "Tidak perlu, kau hanya perlu melawannya jika menurutmu itu salah, berjanjilah!" jelasnya yang dibalas anggukan oleh ibu Letisha. "Dan kau anak kecil, lawanlah Ayahmu jika berani memukul ibumu." Letisha juga mengangguk sambil mengangkat kedua jempol tangannya.. "Oh, Aku hampir lupa. perkenalkan, Meisya." Meisya mengulurkan tangan pada Ana. "Aileen Nathania Winata, panggil saja Ana." Ana meraih tangan Meisya. "Meisya, apa kau baru pindah? Aku pikir rumah ini kosong" tanyanya. "Kami baru saja pindah seminggu yang lalu, maaf kami belum sempat menyapa para tetangga karena suatu masalah," jawab Meisya. "Tak apa, saya memaklumi Meisya." "Apa kalian mengabaikanku?" Suara Letisha membuat kedua Wanita yang sedang asyik mengobrol menoleh. Wajah Letisha tampak cemberut. "Astaga, maafkan kakak!" Ana menggendong Letisha. "Apa semua wanita seperti ini jika sedang mengobrol?" Letisha menyilangkan tangannya ke d**a. "Hei, kakak tak bermaksud seperti itu. Tolong maafkan, kakak!" pinta Ana dengan raut wajah yang dibuat sedih. Letisha tampak iba melihat Ana seperti itu, "Tentu, kakak adalah dewiku. Jadi Aku akan memaafkanmu," senyumnya, Ana menarik pipi Letisha, bukankah perkataan gadis kecil itu sangat lucu baginya. "Iyakan, Ibu?"Letisha menoleh pada Meisya meminta persetujuan. "Iya, Sweety. Kakak Ana itu titisan Dewa Hermes," pujinya membuat Ana tersipu malu. "Jangan memujiku seperti itu, Meisya. Aku bisa-bisa menyuruhmu untuk memasakkanku," ucap Ana disertai kekehan yang membuat gadis itu tampak manis. "Kapanpun kau mau, Ana!" balasnya. "Benarkah? Oh, kau sangat baik Meisya!" Ana memasang puppy eyes-nya Mereka lalu tertawa, rasanya Ana menemukan keluarga baru apalagi tingkah Letisha yang lucu. Membuat gadis itu merasakan kenyamanan. Author note: Nah, jika ada tetangga yang kesusahan seharusnya gitu tuh kayak Ana. Ditolong, apalagi sudah menyangkut kekerasan fisik. Duh pengen kupites lakinya Meisya tuh. Letisha lucu yah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD