2

1401 Words
“Kalian masih jadi artis ya?” ucap Rian. Saat ini ia dan Vani sedang makan sambil menonton acara gossip. Dalam acara itu Putra yang sedang break syuting salah satu film di tanyai ini-itu tentang sekolahnya. Dan salah satu pertanyaan menyerempet pada Vani. “Vanesha kabarnya gimana?” “Vani baik, makin cantik dianya hehe.” “Cieee.”          “Dia aja kali yang sok ngartis,” ejek Vani tak peduli Putra dengar atau tidak. Vani tidak sedang kesal pada kalimat Rian, tapi kesal kenapa semua orang menganggapnya teramat menyukai Putra bahkan mencap dirinya sebagai pacar cowok itu, dan inilah yang menjadi awal semuanya. Kekesalan juga ada untuk si pe-nanya, padahal ini film Putra setelah beberapa tahun, pertanyaan harusnya menjurus pada bagaimana rasanya ackting? Putra kewalahan ga? Atau nanya-nanya film yang bakal tayang di bioskop itu kan juga bisa. Tapi kenapa dirinya? Putra juga senang sekali memanfaatkan dirinya agar tidak diserang fans sedangkan Vani harus menerima nasibnya yang tidak bisa menunjukkan secara terang-terangan bahwa dia menyukai seseorang, ya walaupun dengan tidak adanya gossip ini ia juga tidak akan menunjukkan perasaannya secara terang-terangan. Gadis itu tak pernah menjelaskan secara spesifik teman yang membuatnya jatuh cinta. Tapi yang pasti, seseorang itu berada dalam tiga kotak pertama pertemanannya. Entah itu Deva, Rian, Fiki, Kito, Fahri atau justru memang Putra. “Ga baik lo ngomongin pacar sendiri, dan kalian masih artis kok dimata anak-anak. Kalo mau nostalgia datengin aja lokasi syuting lusa nanti. Sekalian Vani disuruh dandan yang agak seksian supaya-” “-supaya apa?” ucap Rian dan Deva berbarengan. Meneguk ludahnya pelan, Daniel Putra Prambudi melanjutkan omongannya yang tertunda, “supaya kami keliatan serasi, gue kan cowok seksi, pacar juga harus seksi dong,” ucap nya ngeles. “Kalian lucu, deh.. kalo sempet jadian dan lanjut sampe nikah, gue rela nyanyi lagi. Girl band juga gue jabanin buat nyari duit. Sebagai hadiah bulan madu,” kekeh Cinta. “Ga deh ta, mending itu duit gue pake keliling Indonesia, sama Rian,” ucap Vani nyengir. “Iya supaya kalian bisa wisata kuliner,” celetuk Deva. Cowok itu menyambar tasnya, sudah saatnya les. Harus rajin supaya lulus dengan nilai gemilang. “Buru, Put.. lo selalu bikin gue telat,” ucap Deva. “Telat apaan dulu nih?” kekeh Putra dan ditimpuk gelas plastic bekas minumnya oleh Vani. Semenjak memasuki dunia perfilman Putra memang cenderung otaknya ke kiri. “Ckckck lo duluan aja, kapok gue dikira pasangan homo lo,” ucap Putra yang menatap tajam pada Vani. Tak lama setelah Deva menghilang dibalik pintu, Putra menyusul. Sebelum pergi cowok itu merebut piring Vani dan meletakkan kedalam wastafel dengan keran terbuka. “Gue ga mau ya lo makan terus. Lemak tubuh lo udah ga bisa gue tolerir Van. Gue bilang sama semua orang kalo pacar gue makin cantik, bukan makin kaya babi,” Vani bernapas pendek-pendek, menahan emosi pada Putra yang sudah angkat kaki dari rumahnya. Tinggal lah Vani, Rian dan Cinta. Segera setelah Deva pergi, Cinta tampak tidak terlalu bersemangat. Siswi tahun akhir SMP garuda itu memutuskan pulang, mau belajar karena bentar lagi ia juga mengikuti UN. “Lo mau minggat juga nih?” tanya Vani pada Rian saat hanya mereka berdua yang tersisa “Gue ada tugas kelompok Van, lo mending minta temenin sama temen lo yang satu lagi” ucap Rian mengacak-acak rambut Vani. “Pliss deh, gue ga akan gila kalo ditinggal sendirian. Lo jangan ikutan Putra dong.” “Oke-oke , tar sore siap-siap ya, kita muter-muter.” “Dasar gembul, lo ngajak gue kencan nih ceritanya?” “Pede juga lo mbul,” kekeh Rian yang balik mengatai Vani gembul. >>>  Setelah menenangkan perutnya yang baru diisi Vani harus mengawasi adik tirinya bermain di taman kompleks. Alif dan Imam memang tak pernah jera menghadapi omelan kakaknya. Vani asik dengan gadget nya, sampai teriakan kesakitan Imam mengalihkan perhatiannya. Vani berlari meneriaki segerombolan bocah pasti mereka yang menjahili Imam, si kakak tiri tidak peduli siapa orang tua dari anak-anak yang ia teriaki. “Kalian apain Imam?” Teriak Vani pada semua anak-anak yang hanya menontoni adiknya menangis. Tidak ada dari mereka yang menyahut. Baik itu Alif, bocah kuncir dua, bocah hulk, bocah boboiboy, bocah ben10 dan bocah lain yang memakai baju anak jalanan dan piyama biru muda. “Pulang sana!!!” usir Vani dan langsung meraih Imam dalam pelukannya. Siswi SMA yang marah melihat lutut adiknya lecet itu pulang dengan langkah lebar. Satu tangannya menggendong Imam dan tangan lainnya membimbing Alif. Selain itu Vani juga kesal karena malam ini saat ayah dan mama tirinya pulang bekerja pasti ia akan diomeli. Dibilang tidak becus menjaga adik lah, inilah, itulah. 'heh.. emang kapan gue minta adik' gumam Vani yang tidak merasa kesulitan menggendong Vmam dengan berat badannya yang menanjak naik. Sampai di rumahnya Vani bertemu dengan bundanya. Wanita itu duduk di kursi yang memang sengaja diletakkan di beranda rumah. “Kamu makin akrab ya sama adikmu.” “Iyalah, kan bunda yang nyariin ibu pengganti buat aku. Makasih ya bun, ibu tirinya serba guna, bisa ngeluarin adik, dua lagi,” ucap Vani. Gadis ini memang akan selalu terlihat kehilangan rasa hormat pada bundanya jika keduanya bertemu di rumah sang ayah. “Alif kenapa?” tanya Wulan pada bocah yang didudukkan Vani dikursi. Sementara sang kakak pasti sedang mengambil kotak obat. “Aku Imam tanteeee,” ucap bocah itu sambil mewek. Entah ia kesal karena tidak dikenali atau justru menangis karena lukanya cenat-cenut. “Vaniiii... buru. Ini Imam kesakitan,” teriak Wulan >>>>   “Sakit mah.. ampun! Nyubitnya besok kan masih bisa ma,” ucap Ucup pada mamanya. Saat ini ia sedang kesakitan tapi mamanya malah menambah penderitaannya. “Makanya, siapa suruh kamu manjat pohon kelapa?” “Bu Hani ngidam ma, aku harus ambil kesempatan baik itu supaya rapor semester ini aman,” ucap Ucup membela diri. Tak hanya sekedar pembelaan, ia juga ingin wali kelasnya itu tersentuh dan membantu mendongkrak nilai-nilainya yang anjlok. “Aman kepalamu! Awas kalo kamu menuhin pernintaan guru hamil itu lagi Yusuf Fairuz Amzari... dia kan punya suami. Atau kamu naksir guru itu???” Teriak mamanya “Engga mama sayang, aku doyannya yang segelan akkhhh mamaaaaaaa,” rengek Ucup karena mamanya lagi-lagi menyubitnya. “Makin disekolahin mulut kamu makin kotor ya, kalo sampe papa kamu liat, malu mama.” “Papa udah tenang di alam sana ma, lagian papa juga pernah muda. Mudanya pasti kayak aku, cool, berkarisma,seksi, baik hati tapi agak susah menabung.” “Papa kamu ga petakilan ya!” ucap mamanya tidak setuju dengan omongan ucup “Iya deh, aku selalu kalah kalo saingan sama papa.” “Bagus kalo kamu tau, kalo sempat kamu ulangin lagi mama bakal labrak bu Hani.” “Loh ma.. masa mama labrak rekan kerja. Aku sekolah di sekolah yang mama ajar loh, apa kata orang nanti?” Ucap Ucup tidak terima. “Kamu pikir apa kata rekan kerja mama saat tau kalo anak ganteng mama manjatin pohon kelapa buat guru yang lagi hamil? Siapa yang lebih malu? Mulai sekarang kamu bakal mama tatar. Mama ga mau sampe punya mantu janda.” Begitulah keseharian guru matematika yang penuh wibawa dan player BB 11 MIPA 5 kalau sudah berada dirumah. Mereka akan ribut dan tak lupa pula tatar-menatar Yusuf yang lebih enak dipanggil ucup itu menghela nafas kasar. Bagaimana caranya ia bisa menulis? Digerakkan sedikit saja sikunya perih. “Awas aja kalo kimia gue ga A, gue sumpahin anaknya-” “Huss.. anak orang belum lahir udah kamu kutuk aja.” teriak mamanya dari arah dapur. Dian Lestari yang yang lebih sering dipanggil bu Tari oleh siswanya itu kembali kehadapan anak semata wayangnya dengan sepiring nasi. Kebiasaan anaknya itu adalah tidak akan makan kalau tidak disuapi. Jika dikatai manja maka Ucup akan beralasan bahwa ia punya banyak hal yang lebih penting dari makan. Kecuali jika mamanya memasak hati ayam, barulah ia punya inisiatif untuk mengambil piring dan nasi sendiri. “Mama denger kamu putus lagi.” “Duh ma, mama kalo disekolah itu ya ngajar aja. Jangan ikutan gossip dong. Lagian aku bukan artis, Vani aja ga pernah masuk infotainment.” “Kamu lagi suka sama Vanesha? Tadi juga mama liat kalian jalan rapet banget, kemana-mana berdua.” “Mama sayang, tadi kami sama-sama ada urusan ke selatan. Lagian Vani ga masuk criteria aku walaupun dia masih segelan akhhhh.” “Ngomong segelan lagi mama segel mulut kamu,” ucap Tari pada anaknya lengkap dengan pukulan di area siku Ucup yang sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD