Mengenang Masa Lalu

1636 Words
Shena Wijaya POV Kami berdua masuk ke Restoran favorit, diantarkan oleh Host ke Table yang available untuk 2 orang. Table kami terletak di pojok, di sebelah kanan yang menghadap pemandangan Kota Boston, dan di Non Smoking Area. Aku tak suka asap rokok. Untungnya Dean bukan perokok, sehingga kami berdua bisa tenang jauh dari gangguan asapnya yang membawa penyakit bagi kami, para perokok pasif. Dean terlihat sangat tampan seperti biasa. Namun ketampanannya akan menghilang, bila dia sedang posesif, dan marah-marah tidak jelas. Aku sudah sering bertengkar dengannya, bahkan saking seringnya, menjadi muak, dan bosan. Setelah memesan makanan, dan minuman, Dean meraih tangan kiriku, dan mencium punggung tangannya. "Sayang, semenjak kamu kerja Part-time, kita jadi jarang untuk berduaan. Aku merindukanmu," ucap Dean manis padaku. Itu benar, karena aku sibuk bekerja, maka kami berdua jadi jarang bertemu, yang tadinya bisa setiap hari sekarang pertemuan kami terbatas. Dean mengeluh setiap hari tanpa putus karena kurangnya Quality time untuk berdua. "Iya sayang, aku ingin merasakan bagaimana rasanya berbelanja dengan uang sendiri. Aku tidak mau merepotkan Mama dan Papa," jawabku tenang sambil tersenyum. "Aku bisa membelikanmu apapun yang kau mau, sayang. Kamu kerja Part-time selain sibuk, kita kurang waktu untuk berdua. Aku ingin kita seperti dulu. Orang tuaku sudah sering bertanya tentang kamu. Mereka ingin kamu datang ke rumah untuk berkunjung lagi, sayang," Dean mencoba membujuk dengan gigih. Aku mendesah. Aku tahu orang tua Dean yaitu Paman Samuel, dan Bibi Natasya akan menanyaiku lagi. Biasanya aku datang ke rumah Dean bisa seminggu 3-4 kali , dan mereka tak pernah mempermasalahkan. Mereka bahkan senang karena mereka tidak ada anak perempuan. Dean memilki 2 adik laki-laki, dan bisa dipastikan betapa ributnya rumah bila laki-laki bertengkar. Ribut di sini adalah ribut adegan baku hantam tentunya. "Mama, dan Papa sudah merindukanmu, sayang. Aku apalagi," Dean berkata sambil mengusap pipiku. Aku tersenyum. Aku hanya takut aku terjebak dengan Dean. Rasa cintaku memudar karena seringnya pertengkaran yang terjadi. Dean melihat wajahku yang tersenyum tipis. "Apa yang membuatmu ragu padaku, sayang?" Tanyanya lembut. Dean menatapku intens dan lembut. Aku tak mampu menjawab. Dean sangat manis bila tak membuatku marah dan tidak berdebat konyol. "Maaf Tuan dan Nona, ini makanan dan minuman yang Anda pesan," ucap pelayan Restoran pada kami dan makanan segera di sajikan di Table kami. Kami pun makan dengan tenang, dan tidak bersuara. Hanya dentingan sendok, dan garpu yang terdengar. Aku agak risih, Dean sekarang menatapku secara mendalam, dan intens. Bagaimana caranya keluar dari kecanggungan ini? Tatapannya berbeda dengan yang biasanya. Apa karena aku yang sudah terbiasa bertengkar dengannya, jadi ketika dia berusaha membujukku atau melakukan hal romantis, aku jadi merasa aneh? tanyaku dalam hati. "Shena sayang," Dean menyebut namaku sambil menggenggam erat jemari kiriku. "Ya, Dean?" Tanyaku padanya. Aku berusaha tersenyum walaupun aku merasa ada yang aneh. "Kamu ingat saat kita bertemu di sini, dan dikenalkan oleh Sasha? Saat itu ada Nicolo, jadi kita seperti Double date?" Dean mencoba membawa kenangan masa lalu padaku. Dari cara bicaranya seolah mengajakku bernostalgia. Aku tersenyum. Aku tentu tidak lupa peristiwa itu, peristiwa di mana aku dicomblangkan oleh sahabat sendiri. Mengingat saat-saat itu membuatku kesal. "Ya, aku ingat itu, Dean sayang," sahutku cepat. Betapa beratnya aku mengatakan sayang padamu, Dean, keluhku dalam hati. Apakah aku sudah mulai mati rasa? Bagaimana sebaiknya aku kepada Dean? Apakah aku harus tetap berpura-pura bahagia seolah-olah tak terjadi apa-apa? "Kamu tidak apa-apa, sayang?" Tanyanya cemas. Apakah wajahku berubah pucat sehingga Dean bertanya khawatir padaku? Bahkan wajahku saja bisa mengkhianatiku. Seandainya wajah ini bisa ku pakaikan topeng kepalsuan sehingga aku terbebas dari kesulitan seperti saat ini, aku berandai-andai dalam hati. "Tidak apa-apa, sayang. Aku baik-baik saja," jawabku. Aku memang baik-baik tapi hubungan kita ini yang tidak baik, timpalku dalam hati. Sayangnya aku terlalu malas untuk mengeluarkan isi hati, sehingga Dean tak bisa mendengarnya secara langsung dari bibirku. "Besok kami Shift apa, sayang?" Tanya Dean tiba-tiba. "Besok aku Shift siang karena paginya aku masuk kuliah," jawabku sambil tersenyum tipis. Semoga kita tidak sering bertengkar, aku rindu hubungan kita yang dulu. Dulu, hubungan kami berdua begitu harmonis, jarang ada pertengkaran, hanya ada canda tawa. Apakah ini yang dinamakan titik nadir sebuah hubungan? Ataukah yang kami alami adalah refleksi kebosanan semata? "Shift siangmu dimulai jam berapa?" Tanya Dean lagi. "Jam 14:30 , Sayang." jawabku tenang. Meski monoton percakapan seperti ini namun sebisa mungkin aku menjawab apa yang dia tanyakan agar dia merasa dihargai olehku. Apakah aku harus curiga sikap manisnya ini? Saat bersama, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdebat hal-hal konyol, sehingga aku lupa rasanya perasaan berbunga-bunga seperti awal kami resmi menjadi sepasang kekasih. "Aku antar kamu ke tempat kerjamu, ya!" Tawar Dean sambil menatap mataku. Tumben dia mau mengantar ke tempat kerja, biasanya aku yang pergi sendiri menggunakan jasa transportasi seperti Taksi atau diantar oleh Driver Papa, batinku dalam hati. "Boleh, sayang. Aku kuliah sampai jam 12:00, lalu pulang ke rumah untuk makan siang. Kamu mau jemput di rumah atau saat di kampus?" Tanyaku lebih lanjut. Seandainya kita bisa selalu berdiskusi seperti ini, betapa bahagianya, harapku dalam hati. "Aku jemput saat di kampus. Aku ingin sekalian mampir ke rumahmu," kata Dean penuh harap. "Boleh, datanglah ke rumah. Semuanya merindukanmu, termasuk aku," Kataku sambil tersenyum. Dean tersenyum senang. Dia mengeratkan genggaman tangannya kepadaku. Orang tua, dan Adikku, Matthew, memang akrab dengan Dean. Selain karena Dean pacarku yang paling lama, Dean juga mudah mengambil hati mereka semua. Dean memang unik, Papanya Chinese Kalimantan Barat, sedangkan Mamanya berasal dari Berlin, Jerman. Selain populer, Dean bukan seorang Playboy. Aku juga heran kenapa dia malah memilihku. Begitu banyak gadis cantik di kampus, bahkan geng populer berisi gadis-gadis cantik, mengapa dia menjatuhkan pilihannya padaku? Dean juga sepupu dari Sasha, sahabatku. Dunia memang sempit, atau tepatnya alam semesta seperti berkonspirasi menjodohkan kami berdua. Sasha memberitahukan aku bahwa Dean sudah lama naksir aku, tapi tidak berani mengatakannya karena wajahku yang jutek, dan aku juga jarang berkumpul dengan orang-orang. ** Flashback On ** "Aku ingin memperkenalkanmu dengan Dean," kata Sasha secara tiba-tiba. Aku yang sedang mendengarkan musik "The Memory Of Trees" milik penyanyi Enya di ponsel, jadi menoleh kepadanya. Aku dan Sasha sedang di kantin kampus yang sepi. Suasana sedang lenggang, sehingga membuat kami betah berlama-lama. "Apa katamu?" Tanyaku sambil melepas sebelah Handsfree-ku agar dia mengulangi perkataanya barusan. Aku tak mendengarkan apa yang Sasha bicarakan. Aku hanya melihat gerakan bibirnya, sehingga asumsiku adalah dia tadi berbicara sesuatu kepadaku. "Aku ingin memperkenalkan kamu dengan Dean, Dean Ernest," Sasha mengulangi kata-katanya. Wajahnya nampak heran, karena aku tidak menyimak perkataannya. Sasha hapal dengan kebiasaanku yaitu bila aku tidak memperhatikan saat sedang diajak bicara, aku akan memintanya mengulang sekali lagi supaya aku memahami maksud dari perkataannya itu. "Siapa itu Dean Ernest?" Tanyaku tak paham. Rasanya aku tak pernah mendengar nama Dean Ernest sebelumnya. Aku hapal nama semua mahasiswa dan mahasiswi di kelas, namun tak satupun yang memiliki nama Dean Ernest seperti yang disebutkan oleh Sasha. Mata Sasha membulat tak percaya, "Kamu tidak pernah mendengar nama Dean Ernest?" Tanyanya tak percaya. Who the hell is Dean Ernest? Memangnya dia presiden atau pangeran? aku menggelengkan kepalaku dan mengendikkan bahuku malas. "Nope, who is he  (Tidak, siapa dia) ?" Tanyaku mantab. Kalau aku tahu juga aku tidak bertanya! kataku kesal dalam hati. "OMG, Dean Ernest itu populer, loh. Dia yang ganteng, dan pintar itu. Dean dari jurusan Computer Science!" Jelas Sasha dengan mata membulat. Dia seperti tak rela aku tak mengetahui siapa itu orang yang bernama Dean. "Aduh, repot. Aku tak ada waktu mengingat semua orang di kampus. Aku bukan tipe yang suka Say hi ke orang-orang tak dikenal kecuali terpaksa," kataku santai. Sejujurnya, aku tak suka keramaian. Aku malas bergaul dengan orang lain dengan jumlah banyak, kecuali mereka itu sekelas, atau aku ada perlu , sisanya aku sangat malas. Aku tak suka menjadi populer apalagi pusat perhatian. Aku menjaga lingkaran pertemanan sesedikit mungkin, supaya aku tak terganggu. Aku malas basa-basi tidak jelas. Aku memang cenderung individual daripada yang lain. Prinsipku: Asalkan aku tak merugikan orang lain dengan perkataan atau perbuatanku, ya sudah, aku tidak terlalu perduli apa kata orang lain. "Astaga, kamu ini Shena! Kamu kelewatan cuek!" Tutur Sasha gemas. Aku tertawa pelan mendengar perkataan Sasha. Aku memang begini. Aku sendiri tidak terlalu berpikir akan punya pacar, walau aku masih normal. Bagiku, pacar bukan segalanya. Aku masih bisa hidup normal, bahagia, dan bebas tanpa kekangan oleh pria yang berlabel "Pacar". "Ya sudah, aku jemput kamu hari Kamis, jam 3 sore. Kita akan ke Aldente Restoran. Aku akan memperkenalkan kamu dengan Dean!" Kata Sasha tegas. "Aku malas," jawabku tak berminat. "Pokoknya mesti ikut!" Kata Sasha, dia sungguh memaksaku. Matanya kian melotot dan dia berkacak pinggang. Akhirnya hari Kamis datang. Aku dijemput oleh Sasha, ralat, aku dipaksa oleh Sasha untuk ikut ke Aldente Restoran. Aku juga setengah diseret oleh Sasha karena ngotot tak mau ikut. Sasha betul-betul tak menyerah, walaupun aku menghindari, dia bisa menemukanku dengan mudah. Aku sungguh tak ingin ikut, apalagi dijodohkan oleh sahabat sendiri. Aku lebih nyaman sendirian. Ketika sampai di Aldente Restoran, aku melihat dua orang pria. Yang satu berwajah Asia, wajahnya tampan nan rupawan, hidung mancung, alis mata tebal dengan surai rambut hitam legam. Yang lain memiliki surai rambut pirang kecoklatan, manik mata coklat, dan berwajah ramah. "Dean, this way! (Dean, di sebelah sini!) " Seru Sasha. Dia memegangi tanganku erat karena tahu dia pasti kalau aku pasti akan kabur kalau tidak dipegangi. Mukaku menjadi datar. Aku sangat tidak nyaman bertemu dengan orang-orang asing yang tidak ku kenal sama sekali namanya. "Shena, kenalkan, ini Dean. Dean, ini Shena," Kata Sasha ketika aku dan Sasha sudah di Table Dean. "Hai, namaku Dean," ucapnya ramah seraya mengulurkan tangannya. Sesaat ku tatap wajahnya lekat-lekat. Ganteng but he is not my type (ganteng tapi dia bukan tipeku), kataku di dalam hati. Sasha menyikut tanganku. Percayalah, bila tidak disikut, wajah Dean akan terus ku tatap tanpa ekspresi sama sekali. Apakah ini definisi Resting bi*tch face (wajah judes) seperti yang dikatakan Sasha beberapa waktu lalu? Entahlah, mungkin saja, karena yang menilai adalah orang lain. "Eh Sorry. Namaku Shena," balasku setengah terpaksa. Kemudian aku menjabat tangannya. Aku melihat raut wajah Dean, dia tampak begitu senang saat aku membalas jabatan tangannya. ** Flashback Off ** **************** Halo, nama saya Priskila Wi. Saya telah membuat 5 Novel yang sudah dipublikasikan secara online, yaitu : Reinkarnasi Dark Witch, Pria Dingin Mengejar Gadis Cuek, The Storm Witch, Summer Kekasih Ares dan Putri Naga Ti-Lung. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa memberi love dan feedback supaya saya semakin semangat membuat cerita ini. Cheers :) Priskila Wi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD