BAB SATU

1276 Words
"Loh Kanaya?" Garril tersenyum semringah saat melihat wanita yang ia cintai masuk ke dalam ruangannya sambil menenteng paper bag berisi entah apa. "Dokter Garril! Apa kabar? Hehe, lama nggak ketemu. Untung saya nggak kangen," kata Kanaya seceria biasanya, dengan senyum kekanakan yang terlihat begitu menggemaskan. Diam-diam Garril mendesah berat, menutupi rasa kecewanya sebab ucapan wanita manis di depannya itu. "Kok kamu ke sini?" Garril berdiri, mengalihkan topik, lalu menuntun Kanaya menuju sofa di ruangannya. Kanaya mengikuti langkah Garril dan menyerahkan bingkisan yang ia bawa. "Nih buat Dokter. Oleh-oleh dari Bandung." Ia lalu mengambil posisi di sofa tunggal berwarna abu-abu itu. "Saya kangen sama rumah sakit ini, udah lama nggak ke sini. Kangen sama Bunda, kangen sama Ayah, Kak Miranda, hehe," kekehnya dengan cengiran lebar. Garril tak menanggapi lagi, pria itu menyimpan bingkisan Kanaya ke atas meja, berjalan ke lemari pendingin hanya untuk mengambil sebotol minuman isotonik untuk si wanita. "Suami kamu mana?" Garril menyerahkan botol itu yang diterima Kanaya dengan cengiran lebar dan ucapan terima kasih. "Ikut kakinya lah, Dok." Ia menjawab dengam candaan yang dibalas dengkusan keras dari pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah jantung itu. "Just kidding Dok, nggak usah dibawa ke hati. Mas Sean tercinta saya itu tadi lagi di kafetaria, ngobrol sama temen-temennya gitu."  Mendengar cerita Kanaya, Garril hanya mampu tersenyum masam. Kanaya benar-benar mencintai pria yang menjadi suaminya itu.  "Hubungan kamu udah baik ya, sama dia?" Sebenarnya, Garril tidak perlu menanyakan pertanyaan itu. Kanaya tentu sudah bahagia dengan Sean, sebab Sean sudah membalas perasaannya, ya terlepas dari insiden yang membuat wanita itu hancur berbulan-bulan yang lalu. Tapi sepertinya Kanaya sudah mulai berdamai dengan masa lalu. Wajahnya sudah secerah biasanya, tidak semendung saat wanita itu kehilangan buah hatinya. Obrolan kecil itu terus berlanjut, meski Garril tidak begitu menikmatinya karena mood pria itu sudah terjun bebas sejak tadi. Tapi setidaknya, dengan itu ia bisa mengobati rasa rindunya. Rasa rindu yang tak bisa ia ungkap dengan rangkaian kata. **** Jam makan siang, kafetaria rumah sakit adalah tujuan Garril untuk mengenyangkan perutnya. Meski bukan tempat makan favorit dan menunya itu-itu saja, tapi ia sudah merasa cukup, tidak perlu mengantre sambil berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan seporsi makanan. Buktinya, tanpa menunggu lebih dari sepuluh menit, makanan yang ia pesan sudah datang. Seporsi soto Betawi dan secangkir kopi hitam. Bukan perpaduan yang cocok sebenarnya, tapi itu sudah menjadi makanan dan minuman favorit Garril setiap kali ia makan siang di tempat itu. "Makan sama orang lain lebih enak daripada makan sendiri begini. Jadi, lain kali kamu bisa ajak aku, biar kamu nggak kesepian." Perempuan dengan senyum merekah indah itu meletakkan nampannya tepat di hadapan Garril, menarik kursi, lalu duduk di depan si pria dengan tangan kanan yang memangku dagu. Garril meletakkan sendoknya. Mendadak selera makannya hilang hanya karena kehadiran perempuan satu itu. "Memangnya saya mengizinkan kamu duduk di depan saya?" Garril memilih menjeda makan siangnya, bersender pada kursi, lalu memangku tangan dan melihat Miranda dengan wajah datar serta tatapan tak bersahabatnya. Miranda mengangkat sebelah alisnya, "Emangnya aku perlu izin sama kamu?" Garril tak memberi respon, sebab ia yakin sebentar lagi Miranda akan kembali mengoceh. "Setahuku ini tempat umum. Aku juga pelanggan di sini, jadi nggak ada larangan kan aku mau duduk di mana? Mau itu di depan kamu atau di depan siapa pun itu. Itu hak aku." "Tapi permisi itu lebih sopan daripada tiba-tiba duduk dan berbicara omong kosong. Kamu tahu, belum tentu orang yang kamu dekati nyaman dengan keberadaan kamu. "Kata siapa sih?" "Saya," Garril menjawab lugas dan Miranda hanya memutar bola matanya malas. "Tapi aku nyaman tuh sama kamu," sahut Miranda dengan enteng."Saya bilang, orang yang kamu dekati. Bukan kamu. Dan jawabannya, tentu saya nggak nyaman dengan keberadaan kamu." Garril menggeram pelan, antara kesal dan jengkel pada perempuan di depannya itu. "Masa sih? Kalau kamu nggak nyaman seharusnya kamu pergi, bukannya malah di sini dan ngajak aku ngobrol dong. Atau, sebenernya kamu masih pengen lama-lama sama aku, tapi kamu gengsi? Iya, kan?" Pada akhirnya Garril kalah telak. Miranda adalah pendebat ulung, meladeni ucapan perempuan itu tak akan pernah ada akhirnya. "Terserah." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, menyambut seringaian lebar dari Miranda. "Ya ampun, aku baru tahu kamu segemesin ini kalau lagi marah. Kayak anak kecil aja, tapi bikin aku tambah suka." Yang paling tidak Garril sukai adalah sikap Miranda yang suka seenaknya sendiri. Bahkan sekarang, dengan beraninya perempuan itu menoel-noel dagunya. Sesuatu yang paling ia benci. Ia anti dengan sentuhan antar kulit, sebab kulitnya yang memang terlalu sensitif. "Saya bukan anak kecil." Dan Garril kembali fokus memakan makanannya, berusaha mengabaikan keberadaan Miranda di depannya yang mengomentari setiap apa yang ia lakukan tanpa tahu malu. Garril tak cukup mengerti, seharusnya melihat sikapnya yang enggan seperti ini, Miranda tahu diri dan menjauhinya, bukan malah semakin mendekat dan menggodanya yang sayangnya tak begitu tertarik. Ah sudahlah, untuk apa Garril memikirkan hal yang sama sekali tak berguna. Miranda bukan sosok yang patut mendiami otaknya. ***** Miranda Reria Sadega, nama yang orang tuanya berikan duapuluh delapan tahun yang lalu padanya. Perempuan dengan rupa menawan dan tubuh yang semampai. Ia cantik dengan kedua alis tebal yang hampir menyatu. Bola matanya bulat dan hitam, hidungnya mancung tapi mungil, dan bibirnya tipis. Tidak ada orang yang tidak tertarik padanya, seharusnya. Tapi fakta malah berkata lain, pria yang bertahun-tahun ia cintai malah sama sekali tak mengharapkannya, malah terkesan tak acuh dan menghindari perempuan itu. Ia tidak tahu. Sama sekali tidak tahu dengan jalan pikiran Garril. Pria itu begitu sulit ditebak, dan sulit didekati juga. Ia sudah berulang kali melemparkan kata, mengajak Garril berbicara diiringi senyum termanisnya yang ia harapkan mampu menarik hati pria itu. Tapi sama saja. Semua yang ia lakukan itu percuma. Garril tak begitu menanggapinya. Pria itu tetap menampilkan wajah kaku dan ekspresi dinginnya yang mampu membuat Miranda merinding. Seharusnya Miranda menyerah, tapi sisi lain hatinya tetap memaksa perempuan itu untuk berusaha, meski sejujurnya Miranda sendiri mulai lelah. Ia lelah berpura-pura tidak terjadi apa pun pada hatinya. Ia juga lelah menampilkan senyum ceria, lelah menguatkan hatinya untuk tetap berjuang. "Coba lo telanjang di depan dia deh. Siapa tahu kan dia jadi tertarik sama lo?" Miranda menoleh cepat pada perempuan di depannya itu. Memicingkan mata sebelum mendengkus sebal dan mengatakan, "Nggak ada saran lain apa lo, Nabila Tias Purwaningrum yang sukanya main-main sama jenazah busuk daripada cowok ganteng? Itu sama aja ngerendahin harga diri gue. Ogah gue mah kalau kayak gitu." Tias mengedikkan bahunya tak acuh, "Ya kalau semua cara yang lo lakuin itu nggak ada artinya lagi buat dia, nggak bisa bikin dia tambah cinta sama lo, ya, ya udah. Kenapa nggak lo coba saran gue aja tadi." "Kayaknya otak lo lagi terkontaminasi sama bau busuk mayat deh. Makanya konslet kayak gini. Nggak heran gue." "Sama, gue juga nggak heran kok sama lo, lonya aja gampang nyerah begini, mana mungkin bisa dapetin Dokter Garril yang sebenarnya ya, nggak terlalu menarik-menarik amat. Gantengan juga Jung Jaehyun, dedek gemes gue yang bakal jadi jodoh dunia akhirat gue hewhewhew." "Lo mah Korea mulu, menghalu boleh, berlebihan jangan dong." "Sleding, jangan?" Miranda tertawa mendapat respon seperti itu dari Tias. "Mandi yang bener dulu, baru nyleding kepala gue. Nggak nahan banget tahu bau lo." Tias memelototkan mata dan buru-buru mencium bau tubuhnya. "Emang sebegitu baunya ya gue? Padahal udah mandi berkali-kali, pakai kembang tujuh rupa, tapi bau mayatnya masih nyengat banget, sampai ke mana-mana." Ia mendesah berat. Risiko jadi ahli forensik ya begitu, berkutat selama beberapa jam bersama jenazah yang baru meninggal atau sudah meninggal selama beberapa hari yang biasanya sudah mulai membusuk. "Derita lo itu," sahut Miranda lalu tertawa terbahak-bahak. Apalagi saat Tias bertingkah heboh, perempuan jangkung satu itu benar-benar mampu mengalihkan kegalauannya tadi. Ya setidaknya untuk sementara waktu, tapi Miranda merasa sudah cukup. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD