Chapter 2

4234 Words
Aku terbangun karena mendengar kicauan burung. Ketika membuka mata, kudapati langit-langit kamar dengan taburan bintang-bintang kertas berwarna-warni yang menempel di sana, serta sebuah poster kartun animasi di dinding seberang tempat tidur. Sungguh melegakan menyadari diriku berada di kamar sendiri. Ternyata semalam hanyalah mimpi belaka. Syukurlah, semalam mimpi itu bahkan terasa sangat nyata. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Di luar sudah sangat terang. Dua ekor burung kecil bertengger di sebuah dahan pohon dekat jendela sambil bersiul, membuatku seketika tersenyum mendapati mereka yang tadi membangunkanku. Aku melangkah ke arah pintu, meraih knop dan—oh! Sejak kapan ada pigura besar berisi foto seorang gadis bergaun putih di sana? Aku berjalan mendekati pigura tersebut. Gadis di dalamnya itu tampak bingung. Ketika sudah berdiri di depannya, barulah kusadari ternyata yang kulihat itu adalah sebuah cermin. Jadi gadis itu adalah aku? AKU!!! Kulihat tubuhku yang ternyata sudah berbalut gaun putih setinggi d**a hingga ujung kaki. Kuraih wajahku dan sibuk meraba-raba sambil menatap cermin dan mendapati wajahku kini telah dipoles sedemikian rupa hingga akhirnya menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Aku tidak percaya ini nyata. Kukerjapkan mata dan mencubit lenganku agar segera tersadar dari mimpi ini. Rasanya sakit, tapi aku tak juga kunjung terbangun dari mimpi ini. Segera aku bergegas keluar kamar dan menuruni tangga dengan susah payah karena gaunku yang berat, lalu berteriak memanggil Rhez. "Rhez... Rhez... Apa kau tahu siapa yang me—," baru saja aku memasuki ruang tengah, sebuah kenyataan pahit menerpaku. Ternyata yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Di sana, di sebuah sofa panjang duduklah kakakku bersama pria asing yang kemarin muncul di rumah kami. Pria muda yang tampak seusia dengan kakakku itu kini telah mengenakan setelan tuxedo hitam yang mana membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Di sebelahnya berdiri si asisten yang semalam ia panggil Ronald. "Putri tidur sudah bangun rupanya." Leeland berdiri dan berjalan ke arahku. Seandainya pertemuan kami tidak seperti kejadian kemarin, aku pastilah sudah terpana menatap sosoknya yang terlihat begitu tampan dan sempurna saat ini. Tapi karena rasa takut yang telah tumbuh sejak awal pertemuan, refleks aku mundur satu langkah. "Hei, apa kau tidak mengenali calon suamimu sendiri?" tanyanya dengan ekspresi geli. Apa saat ini dia pikir aku adalah lelucon yang pantas untuk ditertawakan? Dasar gila. Tidak ingin repot-repot menjawabnya, kutolehkan kepala ke arah Rhez yang sejak tadi tersenyum kepadaku. "Apa kau sudah siap? Acaranya dimulai jam sepuluh." Si pria gila masih berusaha mengajakku berbicara. Aku berjalan melewatinya tanpa peduli dengan apa yang dia ucapkan dan mengambil posisi berdiri di hadapan kakakku. "Apa kau tahu sesuatu?" tanyaku bingung dengan sikapnya pagi ini. "Hmm... aku tahu kalau adikku hari ini akan menikah dan aku akan segera memiliki seorang adik ipar," jawabnya santai yang langsung membuatku terkejut. Ada nada setuju di balik kalimatnya itu. "Kemarin kau memintaku untuk kabur. Tapi sekarang kau malah setuju jika aku menikahinya?!" seruku tak percaya dan berusaha mengabaikan keberadaan Leeland dan asistennya yang kini tengah mengamati kami. "Well... kau tahu, kemarin aku telah salah paham, oke. Kupikir kau dijual untuk menjadi seorang pekerja seks komersial atau apalah itu. Tapi aku salah. Ternyata kau dijual untuk dinikahi pria ini." Rhez menunjuk pria yang ia maksud dengan dagu. Yang mana sekarang sudah berdiri di sampingku. "Kau tahu, aku bahkan tidak kenal orang ini. Aku tidak sudi menikah dengannya. Aku tidak mau!" protesku keras. Mr.Leeland gila ini sepertinya bisa menebak reaksiku, jadi dia tetap berdiri dalam diam dan tak berusaha untuk ikut campur. "Ai, kau tahu sejak ayah dan ibu meninggal hidup kita sangat kacau. Saat ini ada seorang pria kaya yang ingin menikahimu dan kau menolaknya?" Aku merasa bagai tersambar petir mendengar ucapan kakakku. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa dia telah dicuci otak oleh pria ini agar menyetujui pernikahan kami? "Kau...." Tanpa sadar aku sudah menamparnya, berharap dapat membuat ia kembali sadar. Rasa kesal bercampur kekecewaan membuatku lepas kendali. "Sejak kapan uang menjadi yang nomor satu dalam hidupmu?" Rhez tidak marah. Ia masih tersenyum menghadapku. "Kau tahu, Ai, jika kau menikah kita tidak perlu lagi menunggu secuil warisan ayah yang dikuasai paman Dave tiap bulannya. Setidaknya aku bisa mencari pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri dengan layak sementara kau sudah memiliki seorang suami yang akan menanggung segala kebutuhan hidupmu." Dadaku sakit sekali mendengar pengakuannya. Aku tidak tahu jika selama ini telah menjadi beban baginya. Susah payah aku mengatur napas agar kembali normal. "Kau..." Kuputar tubuh mengahadap Leeland, melampiaskan kekecewaan yang kuterima dari kakakku satu-satunya itu. "Apa yang telah kau lakukan pada kakakku sehingga ia berubah seperti ini?" "Aku hanya melamarmu dan meminta izin padanya," jawabnya dengan wajah tanpa dosa. "Apa kau mencuci otaknya jug—" sebelum aku berhasil menyelesaikan kalimatku, Rhez menyela lebih dulu. "Aku baik-baik saja, Ai. Berhentilah bertindak bodoh dan menurut saja. Upacaranya akan dimulai pukul sepuluh. Kita harus bergegas." Aku tidak percaya lelaki yang ada di hadapanku ini adalah Rhez. Kutatap ia dengan penuh kekecewaan, tapi ia hanya membalasku dengan senyum tenangnya. Seperti bukan Rhez yang kukenal. Aku yakin Leeland telah berbuat sesuatu padanya. "Ronald, panggil mereka. Pengantinku siap untuk berbenah sekali lagi sebelum kita berangkat." Dengan patuh Ronald segera menuruti perintah bosnya dan segera berjalan keluar. "Siapa yang akan menjadi pengantinmu? Dasar pria gila!" umpatku penuh emosi. Aku segera berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Meskipun ia berhasil mencuci otak kakakku sekalipun, aku masih bisa menolaknya seorang diri. Tapi saat baru berjalan beberapa langkah, sikuku ditarik hingga tubuhku kembali memutar. Di hadapanku, berdiri si pria gila yang sialnya memiliki mata yang sangat indah, dan kini sedang menatapku tajam. "Menurutlah atau kau akan menyesal. Jangan gegabah, permudah saja segalanya. Kau tidak ingin hal buruk terjadi pada saudaramu satu-satunya itu, kan?" bisiknya dengan suara sedingin es. "A-apa yang telah kau lakukan padanya?" tanyaku terbata. *** Semua terjadi begitu cepat. Beberapa wanita datang untuk memolesku sedemikian rupa lalu entah mengapa kembali mengganti gaunku dengan yang baru hingga aku tampak seperti pengantin wanita sesungguhnya, kemudian membawaku pergi ke gereja. Dan sekarang, aku telah berdiri di depan altar berdampingan dengan si pria gila. Setelah mengucapkan janji mempelai dan pemasangan cincin, kemudian pemberkatan nikah yang diikuti pembukaan kain penutup kepalaku, kini tibalah saatnya ketika mempelai pria memberikan ciuman kepada mempelai wanita. Si rambut coklat bermata indah itu menatapku dengan senyuman yang membuatku nyaris pingsan. Kombinasi sebuah keindahan dan kengerian luar biasa. Juga tatapan matanya, iris toska itu seperti mengeluarkan sesuatu yang menembus kepalaku. Tanpa aba-aba ia merendahkan kepalanya dan langsung menciumku. Membuatku merasakan sebuah permukaan lembut yang hangat menyentuhku, mengirimkan getaran aneh dan sebuah sensasi baru yang memabukkan. Ini adalah ciuman pertamaku. Selama ini aku tidak memiliki kesempatan untuk merasakan hal-hal romantis seperti ini. Kakakku yang over protective tidak akan membiarkanku memiliki hubungan asmara dengan satu pria pun sebelum kuliahku selesai. Kombinasi antara kolot dan kejam. Ciuman tersebut seakan membiusku. Mengirimkan kehangatan ke seluruh tubuh, beserta gelenyar aneh yang asing tapi seakan bagai candu yang ingin selalu kudapatkan. Aku merasa waktu seakan berhenti berputar. Membuatku tidak sadar saat ciuman itu selesai dan menurut saja ketika Leeland telah menarikku untuk berjalan. Kulihat Rhez di barisan depan melambaikan tangan ke arahku dengan raut wajah bahagia. "A-aku ingin bicara dengannya," kataku saat pria yang sialnya telah menjadi suamiku ini menarikku untuk melewati para undangan menuju pintu keluar. "Kau bisa meneleponnya nanti," ujarnya sambil menggenggam tanganku erat. "Sebentar saja, aku ingin berbicara empat mata dengannya," pintaku sambil melambatkan langkah. Para hadirin yang ada di sisi kanan dan kiri kami berdiri dan sibuk mengucapkan selamat saat kami melewati mereka. Entah siapa mereka ini, aku sama sekali tidak mengenalinya. "Kita harus cepat, cuaca sedang tidak baik. Aku tidak ingin penerbangan kita terganggu." Bukannya berhenti ia malah menarikku untuk melangkah lebih cepat. "Aku akan berpisah dengannya, apa kau sama sekali tak punya hati? Aku ingin mengucapkan perpisahan dan meminta maaf padanya." Kuhentakkan tangan untuk melepaskan diri. Aku sudah bersedia menikah dengannya tapi ia sama sekali tidak mengerti perasaanku yang akan berpisah dengan saudaraku satu-satunya. Aku memang kesal dengan sikap kakakku yang dengan mudahnya berbalik mendukung pria gila ini dan memaksaku menikahinya, tapi ia tetaplah kakaku. Aku sudah akan kabur saat genggaman tangannya mengendur, tapi paman Dave muncul bersama istrinya di hadapan kami. "Halo, keponakan baruku," sapanya pada Leeland. Seketika keinginan untuk berbalik dan menemui kakakku lenyap digantikan oleh hasrat untuk memaki pria yang bertahun-tahun kupanggil paman ini. Pria yang dengan tega menjualku pada laki-laki yang kini telah menjadi suamiku dengan alasan demi kelancaran bisnisnya, dan sebagai wujud balas budiku karena belas kasihnya mengurus aku dan kakakku sejak orangtua kami meninggal. "Maaf, Anda menghalangi jalan kami," jawab Leeland dingin. "Apa kau tidak mau berbincang sebentar dengan paman barumu ini?" tanya paman Dave dengan senyum lebarnya. "Saya rasa urusan kita telah selesai kemarin. Jadi bisakah Anda segera menyingkir?" "Oh, aku hanya ingin berbicara dengan keponakanku yang manis ini," sela bibi Veronica dengan senyum manisnya yang dibuat-dibuat. "Manis?" Leeland menatap bibi Veronica sambil tersenyum sinis. "Bukankah kemarin Anda menyebutnya sebagai gadis lugu yang kumal?" Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ternyata Leeland cukup baik, ia membelaku. Meskipun tidak seperti Cinderella yang memiliki ibu tiri jahat yang menjadikannya sebagai pembantu karena aku tidak serumah dengan paman dan bibiku, kekejaman bibi Veronica bisa menyaingi Lady Tremaine. Untung saja ia tidak punya anak perempuan bernama Drizella dan Anastasia. Bibi Veronica terdiam mendengar jawaban Leeland. Wajahnya memerah. Ia seperti tersedak karena menelan omongannya sendiri. "Nah, bisakah Anda memberi kami jalan?" tanya Leeland kembali menatap keduanya. "Atau haruskah saya lakukan hal tak menyenangkan lainnya sehingga kalian akan datang dengan membawa wanita lain sebagai bayaran seperti kemarin? Sayangnya hal itu tidak akan berlaku lagi," ujarnya dengan senyum sinis. Wajah paman Dave berubah pucat mendengar ancaman tersebut. Aku tidak tahu entah apa yang terjadi di antara mereka, tapi tanpa berkata apa-apa lagi paman Dave dan bibi Veronica segera menyingkir untuk memberi kami jalan. *** Selepas dari gereja, aku langsung dibawa menuju sebuah jet pribadi yang sudah siap menanti kami di sebuah landasan terbang. Beruntungnya sebelum memasuki mobil tadi, Rhez mengejar kami hingga aku dapat memeluknya sekali lagi sebelum dibawa pergi oleh pria asing setengah gila yang kini berstatus sebagai suamiku. Kakakku tak berhenti berpesan agar aku tidak bertindak bodoh dengan berusaha untuk kabur dan menerima dengan lapang d**a status baruku kini. Membuatku semakin curiga jika si gila Leeland telah berbuat sesuatu padanya. Aku bisa saja tidak mematuhi pesan-pesannya, namun ada kata-kata Rhez yang mengubah pikiranku hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti memberontak. "Tidak ada salahnya bukan menerima dengan lapang d**a jika kau kini telah menikahi seorang pria tampan kaya raya dan masih single?" ujarnya sambil mengusap kepalaku. "Aku tidak matre seperti dirimu," tukasku sebal. Rhez pun terkekeh pelan. "Tidak ada yang salah bukan? Kau pun tidak memiliki seorang kekasih untuk diperjuangkan." "Itu karena kau mengusir semua lelaki yang mencoba untuk mendekatiku." "Yeah, mereka semua brengsek." "Lalu mengapa yang ini kau biarkan? Biasanya seorang bujangan kaya raya selalu membawa kata 'b******k' di tengah namanya." "Aku percaya dengannya," ucap Rhez dengan penuh keyakinan. "Kau tahu, aku tidak pernah salah menilai orang." "Sombong sekali," cibirku sinis. "Tapi aku tidak mencintainya dan dia tidak mencintaiku. Apa kau pikir ada pernikahan yang seperti itu?" Rhez menatapku lembut. "Tidakkah kau ingin jatuh cinta padanya dan membuat ia jatuh cinta padamu?" "Apa kau pikir semudah itu? Tidakkah kau curiga mengapa ia menikahiku? Jangan-jangan aku akan dijadikan tumbal sesembahan karena ia bersekutu dengan iblis." Rhez nyengir lalu menjentikkan telunjuknya ke dahiku. "Kebiasaanmu membaca novel fantasi jangan dibawa ke dunia nyata. Apa kau tidak berpikir jika ia memang menyukaimu?" "Kau baru saja memberiku ide untuk terperangkap dalam cerita dongeng, kakakku tersayang. Kami baru bertemu satu kali dan kau pikir ia langsung jatuh hati padaku.?Tolong sikat otakmu itu sampai bersih, Tuan." "Baiklah, begini saja. Kau sudah menjadi istrinya sekarang. Jalani saja lembaran baru hidupmu ini. Jika ia tidak mencintaimu, buatlah ia jatuh hati padamu. Simpel bukan, hidupmu akan bahagia selamanya." "Tapi aku tidak mencintainya." "Dia tampan, kan?" bisik Rhez sambil melirik si pria gila yang berdiri tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku mengangguk satu kali. "Tampan tapi menyeramkan di waktu bersamaan. Tidakkah kau lihat meski raganya sempurna, auranya sungguh mengerikan." "Kita tidak bisa mundur dan kau tentu saja akan terperangkap bersamanya selamanya, Ai." Rhez menatapku serius. "Kabur dan melawan bukanlah pilihan yang bijaksana. Hadapi dan jalani saja semuanya. Meskipun menyeramkan, semoga kelak kau berhasil mengubah semuanya. Mulailah dengan jatuh cinta pada wajah tampannya itu." "Kau dibayar berapa olehnya hingga berbuat seperti ini?" tanyaku penuh curiga. "Terserah kau mau menuduhku seperti apa, yang pasti aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu." Kata-kata Rhez membuatku semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi padanya. Juga ancaman Leeland tadi pagi, membuatku akhirnya memutuskan untuk menyerah dan mengikuti apa yang telah terjadi. Semua pasti akan terungkap pada waktunya. "Masuk." Suara pria yang berdiri di sebelahku membawaku keluar dari dalam pikiran. Di hadapan kami ada sebuah tempat tidur ukuran queen di dalam sebuah ruangan yang tampak seperti sebuah kamar. Seketika aku langsung merasa horror. Pria ini memang gila. Belum dua jam kami menikah, kini ia sudah ingin melakukan malam pertama denganku. Di sini. Di antara awan-awan. Di ketinggian puluhan ribu kaki di atas permukaan laut. Berciuman saja baru hari ini kulakukan, dan sekarang... Sambil menelan ludah, kuberanikan diri menoleh padanya. "Mengapa aku harus berada di kamar ini?" tanyaku dengan tampang bodoh. "Sofa di luar sudah cukup nyaman untuk diduduki, aku tidak perlu sebuah tempat tidur." Interior jet pribadi ini sangat mewah, kurasa duduk di sofa yang tersedia pun sudah cukup. Mengapa kami harus memasuki sebuah kamar jika memang hanya melakukan penerbangan biasa? Firasatku mengatakan jika pria gila ini sedang dilanda akan kebutuhan mendesak pasangan suami istri. Mengabaikan pertanyaan yang kulontarkan, Leeland mendorong tubuhku hingga memasuki kamar dan menutup pintu di belakang kami. Panik, tubuhku seketika terasa sulit untuk digerakkan. Jadi inikah saatnya? Mengapa rasanya sangat menyeramkan? Bukankah saat ini aku sudah menyerah pada keadaan? Saat merasa nyaris saja pingsan, sebuah ketukan di pintu membuatku merasa mendapat sebuah pertolongan. Seorang wanita cantik masuk ke dalam kamar dengan mendorong sebuah troli berisi makanan. "Kau boleh pergi," ucap si pria gila saat troli itu dihentikan di depan kami. "Silakan menikmati makan siangnya, Tuan dan Nyonya." Wanita itu membungkukkan badan lalu segera pergi keluar. "Kau belum makan sejak pagi, makanlah." Leeland menarikku duduk di tempat tidur dan menyerahkan beberapa makanan yang berada di atas troli. Sama seperti yang ia lakukan saat kami berada dalam perjalanan menuju gereja tadi pagi, memintaku untuk makan, yang mana malah kutolak dengan penuh harga diri. Harus kuakui aku memang sangat lapar. Tapi aku merasa tidak nyaman bila harus makan dan berduaan saja di kamar bersama seorang pria asing yang baru saja kukenal hanya sebatas nama dan rasa bibirnya saja. Kutatap piring makanan dalam diam. Seolah bisa membaca pikiranku, Leeland tiba-tiba saja berdiri dan berjalan menuju pintu. "Kuharap ketika aku kembali makanan tersebut telah habis," ujarnya dengan nada berisi ancaman sambil menatapku dengan tatapan memerintah, yang kutahu apa akibatnya bila ditolak. Ia lalu berbalik dan menutup pintu. Ketika sosok Leeland telah menghilang, aku langsung menghela napas panjang. Pria ini sepertinya baik, karena aku belum menerima kekerasan fisik apa pun sejak tadi. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang membuatku takut padanya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku bila tidak segera makan, tapi satu hal yang pasti, itu bukanlah hal yang bagus. Maka segera saja kumakan makanan yang disediakan wanita tadi secepat yang aku bisa. Rasa lapar bercampur dengan perasaan khawatir Leeland akan segera kembali memaksaku berbuat seperti itu. *** Aku merasa sesuatu di bawahku berguncang. Dengan malas kubuka mata secara perlahan. Langit di luar telah berubah warna menjadi jingga kemerah-merahan. Beberapa barisan pohon sesekali lewat dari balik jendela. Apa jet ini terbang sangat rendah? Setelah beberapa detik saat seluruh kesadaran mulai terkumpul, kusadari tenyata saat ini aku sedang berada di dalam sebuah mobil, tidak lagi di dalam sebuah pesawat. Kucubit lagi lenganku untuk memastikan apakah aku sedang bermimpi. Akan tetapi malah mendapatkan reaksi yang sama seperti tadi pagi, rasa sakit akibat cubitan tersebut dan aku tetap juga tak kunjung terbangun. Semua ini begitu cepat terjadi. Sejak kemunculan seorang pria bernama Leeland di rumahku, hidup normalku berubah seratus delapan puluh derajat. Aksi kaburku yang gagal, pernikahan yang tak pernah aku bayangkan, untuk pertama kalinya menaiki sebuah jet pribadi, kemudian ini. "Sudah bangun," kata sebuah suara dibelakangku. Aku segera menolehkan kepala dan—astaga! Ternyata aku bersandar pada tubuh si pria gila. Buru-buru kutegakkan tubuh untuk membebaskan diri. "Di-di mana kita?" tanyaku sedikit malu karena baru menyadari sumber kehangatan dan rasa nyaman yang kudapati tadi. "Sebentar lagi sampai," jawabnya datar. Aku merapatkan diri ke pintu mobil, menjauh sebisaku dari tubuh Leeland yang memancarkan aroma maskulin yang begitu kuat. Membuatku sulit untuk tidak menjatuhkan diri ke dalam pelukannya lagi seperti beberapa saat lalu. Dari kejauhan, terlihat sebuah mansion berdiri kokoh di antara barisan pepohonan yang mengitarinya. Mobil kami terus berjalan semakin mendekat, melewati pintu gerbang tinggi, halaman yang luas, air mancur, hingga akhirnya berhenti di depan undakan teras pintu utama. "Ayo turun," ucapnya. Tapi kali ini tidak menarikku lagi seperti sebelumnya. Aku pun turun dari mobil dengan patuh dan berjalan mengikutinya. Kulihat beberapa pelayan berdiri di depan pintu masuk yang kemudian membungkukkan badan ketika kami berjalan mendekat. "Selamat datang, Master Michael," sapa seorang perempuan yang kutebak usianya sekitar lima puluhan pada si gila Leeland. "Dan Nyonya...," ucapnya tertahan sambil melihatku. "Ailee," seru Ronald yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku tidak tahu sejak kapan ia berada di sana. "Selamat datang, Nyonya Ailee," katanya kemudian. "Antarkan dia ke kamarnya," perintah pria yang ternyata memiliki nama panggilan Michael itu pada perempuan yang menyambut kedatangan kami tadi. "Baik, Sir. Lewat sini, Nyonya," perempuan itu menuntunku untuk masuk ke dalam. Ketika aku baru saja hendak melangkahkan kaki menuju pintu masuk, entah kenapa aku merasa seperti melihat sesuatu atau lebih tepatnya merasakan sesuatu di balik kaca yang ada di lantai dua salah satu sayap rumah ini yang menatap ke arahku. Tatapannya terasa begitu menusuk. Hmm... itu pasti orang lain yang tinggal di mansion ini. "Perkenalkan nama saya Robinson," perempuan tua itu memperkenalkan diri saat kami berjalan menuju lantai dua. "Saya adalah kepala pelayan disini." "Senang bertemu Anda, Nyonya Robinson," kataku sopan. Nyonya Robinson tidak memberi respon apa-apa hingga kami akhirnya berdiri di depan sebuah kamar. "Ini kamar Anda, Nyonya," ucapnya seraya membukakan pintu untukku. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam sebuah ruangan yang sangat besar. Dengan sebuah tempat tidur, meja rias berwarna putih, lemari pakaian, sebuah meja bundar dengan dua buah kursi, dan sebuah rak buku di sisi lainnya. Di sebelah rak buku tersebut terdapat sebuah pintu kecil yang dibaliknya mungkin terdapat sebuah kamar mandi. "Yang ada di dalam lemari itu semuanya adalah pakaian Anda." Tunjuk Nyonya Robinson pada lemari yang ada di hadapan kami. "Silakan beristirahat, pelayan akan menjemput Anda saat makan malam nanti." Nyonya Robinson segera membungkuk, kemudian berjalan menuju pintu. "Oh satu hal lagi," ujarnya kemudian berbalik. "Anda bebas berkeliling rumah ini, tapi tidak untuk sayap barat." "Kenapa?" "Karena itu adalah perintah dari master Michael," jawabnya lalu benar-benar melangkah keluar kamar. Melihat pintu di hadapanku tertutup, aku langsung melangkahkan kaki menuju meja rias. Di sana kulihat pantulan diriku dengan rambut kusut dan gaun yang entah sejak kapan telah berganti lagi dengan yang baru. Sepertinya pria gila bernama Michael ini memiliki kegemaran mengganti pakaian seorang gadis yang sedang tertidur. Apa dia melihat pakaian dalamku juga? Memikirkan hal itu membuat wajahku seketika terasa panas. Segera kualihkan perhatian pada penampilanku yang tampak kacau. Aku butuh mandi. Kulangkahkan kaki menuju pintu kecil yang terletak di sebelah rak buku. Ketika kubuka, kupikir akan segera menemukan sebuah kamar mandi. Tapi ternyata dugaanku salah. Di balik pintu itu terdapat sebuah ranjang king size yang terletak di seberang ruangan, rak tinggi yang penuh dengan buku-buku dan beberapa miniatur kapal layar di sisi lainnya, serta sebuah sofa panjang yang menghadap ke arah sebuah perapian klasik. Ukuran kamar ini jauh lebih besar dari ukuran kamarku tadi. Dengan penasaran kulangkahkan kaki lebih maju untuk mengeksplorasi kamar ini lebih jauh. Tapi, baru saja aku berjalan beberapa langkah, sebuah suara menghentikanku. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" Michael berdiri di depan pintu kamar dan menatapku tidak suka. Aku merasa bagaikan pencuri yang sedang tertangkap basah. "A-aku pikir ini adalah kamar mandi. A-aku masuk lew—" "Keluar dari kamarku!" Suaranya meninggi, membuatku langsung mundur satu langkah. "KELUAR!!!" Kali ini ia benar-benar berteriak. Aku belum pernah mendengar pria ini berteriak seperti itu. Sebelum memperburuk keadaan, aku langsung kembali masuk ke kamarku dan menutup pintu penghubung rapat-rapat. Ternyata pintu ini adalah penghubung kamarku dan Michael. Setelah membalik badan di depan pintu yang buru-buru kututup tadi, barulah kusadari ternyata ada sebuah pintu lagi di sisi kiri ranjang. Kurasa pintu tersebutlah yang akan mengantarkanku menuju kamar mandi. *** Michael memutuskan untuk makan malam di kamarnya. Aku merasa ia marah dan muak melihatku karena telah memasuki area pribadinya tanpa permisi. Lucu sekali, seperti anak kecil. Karena tingkahnya itu, akhirnya duduklah aku seorang diri menikmati makan malam di ruang makan. Ini merupakan pertanda baik. Aku tidak perlu repot-repot bertemu dengannya lagi kalau begitu. Selesai makan, aku memutuskan untuk segera kembali ke kamar. Aku ingin beristirahat. Kejadian yang terjadi sejak kemarin membuatku sangat lelah. Setibanya di sana, aku segera berjalan menuju lemari, mencari pakaian tidur yang nyaman untuk kupakai. Awalnya kupikir mereka mengisi lemari ini dengan pakaian-pakaianku. Tapi ternyata tidak. Semua pakaian yang ada di dalamnya adalah pakaian baru dan juga mahal. Dengan malas aku mulai memilih pakaian untuk tidur. Tidak ada! Lebih tepatnya tidak ada pakaian tidur yang normal. Semuanya lingerie. Apa-apaan ini? Aku tidak sudi mengenakannya. Tapi pakaian lain sama sekali tidak nyaman untuk dipakai tidur. Juga pakaian yang sekarang kukenakan. Apa sebaiknya kucoba saja? Tidak akan ada juga yang melihatku bukan, bahkan Michael pun memiliki kamarnya sendiri. Setelah memilah-milah, pilihanku pun jatuh pada sebuah lingerie hitam yang kuanggap cukup sopan dibanding yang lainnya. Beruntungnya lagi aku juga berhasil menemukan sebuah jubah tidur berbahan sutra berwarna hitam. Ini sangat membantu untuk menutupi tubuhku yang berbalut lingerie seksi sialan tersebut. Ketika baru saja keluar dari kamar mandi setelah mengganti pakaian, kudapati Michael sedang duduk di sebuah kursi yang ada di dekat meja bundar dengan segelas minuman alkohol di tangannya. Ia hanya mengenakan sebuah celana panjang, sedangkan tubuh bagian atasnya polos tanpa busana yang sepertinya sangat disengaja untuk memperlihatkan otot-otot terawatnya. Kuakui pria ini sungguh tampan dan tubuhnya benar-benar indah. Aku yakin gadis mana pun akan rela melakukan apa saja agar dapat menyentuh tubuh indahnya itu. "Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku cemas. "Apa aku tidak boleh berada di kamar istriku?" Seharusnya aku juga bisa berkata seperti itu tadi sebelum dibentak dan diusir dari kamarmu. Gerutuku dalam hati. "Aku mulai merasa tidak nyaman ketika kau memanggilku hanya dengan sebutan 'kau' tanpa menyebut namaku sekali pun." Ia berdiri dan meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menatap ke arahku lurus-lurus. "Ma-maksudmu?" Aku langsung duduk di atas kasur untuk mencari perlindungan. Ingin rasanya aku masuk ke balik selimut untuk menyembunyikan tubuh. Tatapan Michael membuatku merasa ditelanjangi secara paksa. "Panggil aku Mike." "Ba-baiklah, Mike," ucapku tergagap. Kuharap ketika mengikuti perintahnya ia akan segera keluar dari kamarku, tapi ternyata aku salah. "Bagus," komentarnya kemudian berjalan mendekat. Aku harus bagaimana? Apa kali ini memang saatnya? Ataukah ada yang akan menyelamatkanku seperti tadi siang? Ia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan aku takut. Kasur ini pun terasa seperti sebuah magnet yang memiliki gaya tarik-menarik dengan tubuhku. Aku berusaha bangkit dan berlari kabur, tapi terkunci oleh tatapan Mike. "Apa kau takut?" tanyanya yang ternyata sekarang telah berada di depanku dengan setengah membungkuk. Menjajarkan wajah kami. "Ta-takut apa?" Aku yakin wajahku telah berubah seperti tomat matang saat ini akibat dugaan-dugaan yang bersifat m***m di dalam kepala. Ia tersenyum kecil melihat kegugupanku. "Apa aku perlu menjelaskan lebih detail lagi sementara wajahmu telah menjawab semuanya?" Pria ini benar-benar senang mempermainkanku. "Kau tahu kan apa yang seharusnya terjadi pada malam pengantin?" Tangannya kini meraih tali jubah tidurku. "A-aku...," ucapku tergagap sambil bergerak mundur setelah memperoleh kembali kekuatan. "Kau apa?" tanyanya terus dengan tatapan buasnya yang mengikuti setiap gerakanku. Aku terus bergerak mundur hingga ia akhirnya berhasil menarik pergelangan kakiku. Membuatku nyaris saja berteriak panik. "Apa kau ingin mengecewakan suamimu di malam pertama kita?" Aku menelan ludah. Ya, dia benar. Dia suamiku dan aku istrinya. Haruskah? Tapi aku takut. "A-aku...." Aku ingin jujur padanya kalau aku ingin melepas keperawananku dengan perasaan tenang dan suka rela. Bukan karena takut padanya. "Kau ingin aku bagaimana?" Ia semakin mendekatkan wajahnya. Lengannya kini mengunciku. Aku tidak bisa mundur lagi dan untuk menghindari wajahnya yang kian mendekat aku pun akhirnya berbaring dan memejamkan mata karena takut. Aku ingin kau berhenti menggodaku dan menunda malam ini hingga kita bisa menata baik-baik perasaan kita satu sama lainnya. Aku tidak mau menyerahkan keperawananku untuk nafsu sesaatmu saja. Kurasa aku telah melontarkan kata-kata itu. Ya, memang, tapi hanya dalam pikiranku saja. Tidak menerima reaksi apa-apa dari Mike, aku pun membuka mata dan mendapati wajahnya kini telah sejajar di atas wajahku. "Jadi kau sudah menyerah?" tanyanya sambil tersenyum kecil. "Tidak baik membuat suamimu menunggu terlalu lama ya." "A-aku... Mike, ak—" Baru saja berhasil mengumpulkan keberanian untuk memberinya penjelasan, bibir Mike telah menyapu bibirku. Ia menekanku ke bawah dan aku mulai sulit untuk bernapas. Setelah tadi siang berhasil mencuri ciuman pertamaku, kini ia mulai melancarkan aksi untuk mengambil kesucianku. Kami memang telah resmi menikah dan ia mungkin saja berhak mendapatkan apa yang ia mau. Tapi aku merasa ini bukanlah cara yang kuinginkan. Aku tidak mau melakukannya. Kusentuh d**a polos Mike dan mendorongnya untuk menjauh, tapi ciumannya malah semakin dalam dan menuntut. Tangannya mulai bergerak mengembara, perlahan terus meninggalkan jejak panas dan mengirimkan kejutan listrik yang menggetarkan tubuhku. Kemudian semuanya terjadi begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD