Chapter 1

1553 Words
Jalanan tampak lengang malam ini. Setengah berlari, aku dan kakakku memasuki lobi stasiun San Francisco 4th & King Street menuju mesin tiket. Rencananya aku akan pergi menuju Los Angeles dengan Caltrain yang akan berangkat pukul 09.40 malam, yang berarti lebih kurang empat puluh menit lagi. Hari ini, dalam hitungan menit hidupku yang sebelumnya datar-datar saja berubah bagaikan sebuah teror. Mungkin aku pernah berbuat kesalahan yang sulit dimaafkan di masa lalu sehingga Tuhan akhirnya menghukumku seperti ini. Hingga saat ini aku masih berharap jika apa yang terjadi beberapa jam lalu hanyalah sebuah mimpi dan terbangun esok hari karena kicauan burung pada dahan pohon di samping jendela kamar. Namun tampaknya aku harus menyerah akan hal itu, karena sejak tadi aku telah berkali-kali mencubit diriku sendiri tapi tak juga kunjung terbangun dan malah mendapatkan rasa nyeri di beberapa titik pada lengan, perut, dan juga pipi.  “Ini tiket keretamu.” Rhez memberiku sebuah karcis yang diambilnya dari mesin tiket yang ada di hadapan kami. “Berhati-hatilah. Ingat, jika dalam waktu satu minggu aku tidak menyusulmu ataupun memberi kabar, kau harus pergi dari tempat itu.” Aku menggenggam tali tasku erat, menatap tiket yang ia berikan dan wajahnya bergantian. “Jangan bicara begitu. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi padamu.” Kurasakan tenggorokanku tercekat dan mata yang mulai memanas. Melihatku yang hampir menangis, Rhez pun terkekeh pelan lalu mengusap puncak kepalaku. “Hei adik cengeng, jangan menangis. Tentu saja tidak akan terjadi apa pun, kau tahu kan kakakmu yang jagoan ini sangat kuat. Tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin membuatmu memikirkan kemungkinan terburuk, mengingat siapa yang sedang kita hadapi saat ini,” ujarnya santai tapi bisa kulihat ada sedikit keraguan di matanya. Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa dan hanya bisa menatapnya diam dengan mata berkaca-kaca. “Sudah, jangan tumpahkan air matamu. Sangat tidak pantas seorang gadis yang baru saja merayakan kelulusannya di universitas menangis hanya karena berpisah beberapa hari dengan kakak lelakinya. Kau tidak ingin membuatku meledekmu sepanjang sisa hidup kita kan?” godanya dengan senyum jail yang tercetak lebar di wajahnya. Seolah keraguan yang tadi kulihat di matanya hanyalah sebuah halusinasi. Mendengar godaannya mau tidak mau aku pun akhirnya tersenyum. Oh, betapa aku sangat sayang pada pria ini. “Cepatlah masuk, nanti kau terlambat.” Rhez menepuk pelan kepalaku sekali lagi. Dengan sedih, aku pun mengangguk dan maju untuk memeluknya. “Berjanjilah kau akan baik-baik saja, oke. Aku berjanji secepatnya akan segera menyusulmu,” ujar Rhez sambil mengusap pundakku. “Oke,” sahutku pelan dengan anggukan lemah. Setelah beberapa kali merasa sulit untuk melepaskan diri, aku akhirnya berhasil berbalik dan berjalan masuk untuk menunggu kedatangan kereta. Meninggalkan kakakku jauh di belakangan sana. Sambil menunggu kedatangan kereta, kuletakkan tas pada lantai di dekat kaki. Aku hanya membawa sedikit pakaian dan beberapa uang untuk hidup selama satu bulan di dalamnya. Tidak ada lagi yang bisa dibawa di dalam tas kecil itu. Sesekali aku menoleh untuk melihat ke sekeliling yang cukup sepi, entah mengapa rasanya aku seperti sedang diikuti. Tapi setelah menyapukan pandangan ke sekitar, tak ada satu pun yang terlihat mencurigakan. Beberapa orang yang tampaknya akan melakukan perjalanan sepertiku semuanya terlihat normal. Mungkin aku hanya sedikit berlebihan memikirkan hal ini. Tapi tunggu... Tentu saja! Saat aku menyadari betapa bodohnya meremehkan siapa yang kami hadapi tadi sore, seorang pria yang kutebak berusia pertengahan tiga puluhan tiba-tiba muncul di hadapanku. “Nona Leigh,” sapanya sopan. Tubuhnya tinggi tegap, tampan, tapi tetap saja tampak menakutkan dengan setelan jas hitam yang dikenakannya. “Anda harus ikut dengan saya sekarang juga.” “Ma-maaf, saya tidak mengenal Anda,” jawabku dengan mengambil langkah mundur. Ini tentu saja tidak akan mudah, tapi aku akan berusaha untuk kabur. “Anda akan tahu jika bersedia untuk ikut,” pintanya sembari melangkah mendekat. “Aku tidak mau,” jawabku tegas tapi tak menghentikan langkah mundurku. “Jika kau berani macam-macam, aku akan berteriak sehingga petugas keamanan menangkapmu.” “Itu tidak akan terjadi, Nona.” Pria itu tersenyum melihat usahaku untuk kabur. “Tidak ada gunanya, ikutlah dengan saya.” Dengan senyum seperti itu, ia tampak lebih menakutkan. Sama menyeramkan dengan bosnya. “Aku tidak mau. Jangan coba-coba memaksaku.” Pria itu menghela nafas pelan. “Maaf, kalau begitu saya harus membawa Anda dengan paksa.” Tangannya bergerak untuk merogoh sesuatu dari dalam saku celana. Melihat apa yang dilakukannya, aku segera berlari menjauh dan mencari-cari petugas keamanan untuk meminta perlindungan. Tapi entah mengapa kali ini tak ada seorang pun yang terlihat. Pria itu berlari mengikutiku. Melihatnya yang berusaha mengejar, aku pun berlari menuju pintu keluar. Kakakku pasti masih berada di stasiun ini. Aku yakin ia belum pulang. Semoga. Ketika akhirnya mencapai pintu keluar dan hendak berlari menuju tempat dimana Rhez tadi memarkirkan mobilnya, kulihat sebuah mobil polisi terpakir di sisi jalan beberapa meter di hadapanku. Segera saja kulangkahkan kaki menuju mobil tersebut. “Pak polisi, tolong aku.” Seorang polisi paruh baya yang sedang memangku kotak donat di tempat duduknya menoleh bingung ke arahku. “Seseorang ingin menculikku dan ia sekarang berada di belakang sana,” jelasku melalui jendela mobil. Ketika kulirik ke belakang, pria itu ternyata telah semakin mendekat. Ia bahkan tidak takut dan terus berjalan mendekat walaupun tahu aku sedang berada di dekat seorang polisi. “Tolong aku, Sir. Pria tak dikenal itu memaksaku untuk ikut dengannya,” jelasku lagi. Oh, andai saja aku tidak begitu ceroboh meninggalkan tas yang menyimpan ponselku di tempat tadi, mungkin Rhez sudah datang menyelamatkanku saat ini. Kenapa aku harus mengikuti sarannya dengan menonaktifkan benda itu demi keamanan sementara pria menyeramkan ini dengan mudahnya dapat menemukanku. Polisi itu melirik spion, lalu membuka pintu mobil. Perlahan ia melangkah keluar dan berdiri di sebelahku. “Itu dia orangnya,” tunjukku ke arah pria yang tadi mengikutiku. Yang mana sekarang telah berdiri beberapa meter di depan kami. “Selamat malam, Tuan,” sapa polisi itu dengan gaya khas pelindung masyarakatnya. “Oh, selamat malam,” jawab pria itu tenang. “Saya mendapat laporan bahwa Anda memaksa nona ini untuk ikut bersama Anda. Apa itu benar?” Aku bersembunyi di belakang sang polisi untuk mencari perlindungan. Tidak berani melirik pria yang tadi mengejarku. “Ya, benar.” “Jika boleh tahu apa yang Anda inginkan darinya? Saya mendengar nona ini mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak mengenal Anda,” tanya polisi itu lagi. “Dia tunanganku,” jawab sebuah suara tiba-tiba. “Lebih tepatnya calon istri.” Kupikir tadi kami hanya bertiga. Takut-takut aku akhirnya memutuskan mengintip dari balik punggung si polisi dan mendapati sosok Leeland berdiri di sebelah pria asing tadi, dengan jas yang telah dilepas yang mana hanya menyisakan kemeja biru muda yang melekat pas di tubuhnya dengan lengan yang digulung hingga di bawah siku. Dia masih terlihat tampan seperti sebelumnya, hanya saja hal itu sama sekali tidak mempengaruhiku sedikit pun karena kengerian yang ditimbulkannya lebih mendominasi. “Besok pagi kami akan menikah. Sejak tadi aku dan asistenku ini mencarinya karena ia pergi minum bersama teman-temannya dan membuatku khawatir,” ujarnya penuh dusta. “Itu bohong!” Selaku keras. “Aku bahkan tidak tahu siapa dia.” Polisi yang berada di dekatku menatap kami bergantian dengan wajah bingung. “Sssttt… Sayang kau benar-benar mabuk ya.” Pria tampan yang memiliki aura iblis itu berjalan mendekat ke arahku dengan senyum yang sebenarnya sungguh menawan seandainya kami berada dalam situasi sebaliknya saat ini. “Pak polisi, tolong jangan percaya. Kalau aku memang tunangannya, coba lihat, di jariku bahkan tidak ada cincin pertunangan kami.” Kuangkat kedua tanganku sejajar di depan wajah, memperlihatkan jari-jariku di depan sang polisi. “Oh, apa kau membuangnya?” Leeland berhasil meraih tanganku. Entah sejak kapan ia bisa sedekat ini. “Kau pasti sudah mabuk berat, Sayang. Aku tahu kau sedang marah, kau terlalu tegang memikirkan upacara besok.” Ia mengusap wajahku seolah aku benar-benar sedang mabuk. Dasar b******k! “Maaf manganggu Anda, Sir. Saya yakin tunangan saya sedang mabuk,” ujarnya lalu menarikku menjauh dari si polisi. “Sir, apa aku terlihat seperti sedang mabuk?” pekikku pada polisi yang menatap kami dengan wajah bingung. “Pria ini ingin menculikku. Tolong aku, Sir!” “Maaf telah merepotkan Anda. Saya akan segera membawanya pulang.” Leeland mendekapku erat. Kupukul tubuhnya sekuat yang aku bisa, tapi dekapannya semakin kuat. “Oh ya, jika sedang tidak bertugas bersediakah besok Anda menghadiri pernikahan kami?” tanyanya lagi. Pria yang disebut sebagai asisten Leeland tadi maju untuk menyerahkan sebuah kartu nama dan sesuatu yang terlihat seperti kartu undangan kepada si polisi. “Oh, suatu kebanggaan bagi saya untuk menghadiri pernikahan Anda, Mr. Leeland,” ujar polisi tersebut sumringah. APA?! Hanya karena ia adalah pemilik beberapa gedung pencakar langit dan jaringan bisnis raksasa di negara ini, bukan berarti ia tidak layak untuk dicurigai. Kenapa polisi ini mendadak berubah t***l? “Terimakasih, kalau begitu kami permisi dulu.” Leeland lalu membawaku menjauh dari polisi tadi menuju ke mobilnya yang terparkir di sudut jalan dengan paksa. Teriakan minta tolongku tak didengar lagi oleh si polisi yang langsung masuk kembali ke dalam mobil dan menghidupkannya kemudian berlalu. Kupukul tubuh pria yang mendekapku dengan erat ini tiada henti sambil meneriakinya sebagai penculik. Membuat beberapa orang yang lewat menatap kami heran, tapi kemudian berubah kembali tak peduli karena dihadiahi dengan senyum menawan serta ucapan “mabuk” sebagai penjelasan darinya. Pria ini benar-benar mengerikan. Juga berbahaya. Apa itu tadi? Sebuah kartu undangan? Aku benar-benar kagum dengan caranya mempersiapkan diri untuk kabur dari kecurigaan polisi dengan repot-repot membuat kartu undangan palsu. Tubuhku sudah banjir oleh keringat, tapi aku masih belum lelah dalam usaha untuk kabur. Pria sialan ini kuat sekali, pukulanku sama sekali tidak berpengaruh padanya. “Jangan coba-coba untuk kabur dariku,” desisnya tajam saat kami sudah tiba di sebelah sebuah mobil. Aku mendongak untuk menatap matanya dan mendapati diriku langsung merasa terintimidasi. “Lepaskan aku!” Aku masih berusaha memberontak sekuat tenaga agar terlepas dari cengkeramannya. “Tidak, karena kau sudah jadi milikku,” balasnya saat si asisten membukakan pintu untuk kami. “Aku tidak sudi. Lepaskan!” pekikku dan menendang kakinya. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan kesakitan, padahal tadi aku yakin telah menendang tepat di tulang keringnya. “Kau ingin aku berbuat kasar ya?” tanyanya sambil menyeringai sadis. “Ronald!” Panggilnya pada sang asisten. Lalu sebelum aku sempat mencapai pintu masuk mobil, pandanganku tiba-tiba menjadi gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD