3. I Have No Money For A Coffee

1308 Words
Tuhan menciptakan otak manusia secara istimewa ibarat suatu benda atau makanan, pusat saraf yang berada di dalam tengkorak kita merupakan hasil dari kualitas premium. Contohnya saja seperti; Pertama, terdapat seratus miliar sel neuron yang bertugas mengirim pesan, sehingga menghasilkan fakta bahwa meski sedang tidur otak kita pun masih tetap bekerja. Kedua, setiap mempelajari hal baru, maka sel otak juga membentuk jaringan baru. Ketiga, otak mampu mengendalikan banyak hal serta bekerja jauh lebih cepat, daripada komputer. Keempat, otak ternyata telah memberikan indra keenam--bukan indigo--yaitu bisa melihat 360°. Bayangkan saja, jika sedang diikuti atau diperhatikan pasti perasaan tak nyaman hadir secara tiba-tiba. Itulah yang dimaksud dari kemampuan indra keenam. kelima, silakan cari tahu sendiri, sebab masih banyak lagi keunggulan otak yang pasti bisa kalian ketahui melalui membaca. Sayangnya tidak semua manusia bisa memaksimalkan cara kerja otaknya. Seperti aku yang tidak sadar saat pencopet mencuri dompet serta ponselku, tetapi di lain waktu malah peka saat—seolah—ada yang sedang mengamati saat setelah nyaris tiga jam berkutat di tempat serupa. Seratus persen akurat, aku akhirnya nyasar. Fasih berbahasa Inggris ternyata bukan jaminan untukku memecahkan masalah ini. Seolah sedang dipermainkan oleh mata angin, meski telah bertanya pada warga lokal di mana letak telepon umum atau minimal bisa meminjamkan ponselnya, pertolongan sekali pun tak kunjung datang. Mereka hanya menanyakan alamat ke mana aku ingin pergi dan satu-satunya yang kuingat hanyalah Shaw st. Sisanya aku tidak ingat karena alamat lengkap tersimpan rapi di dalam ponsel yang hilang. "Dari sini ambil arah selatan menuju Ring Ave, belok kiri ke Cartilla Ave, belok kiri lagi ke 19th st, belok kanan ke Heaven Ave, terakhir belok kiri ke Pasific Electric Trail. Cukup sampai di situ saja aku bisa menolongmu, karena kulihat kau pun kebingungan jadi sisanya, ketika sampai di Pasific Electric Trail silakan tanyakan lagi," kata seorang wanita paruh baya penjaga supermarket, sambil memberikan uang kembalian saat aku membeli air mineral dengan selembar uang seratus Dollar. "Dari sini, kurang lebih hanya membutuhkan seratus sembilan puluh langkah." "Berapa menit?" "Lima puluh delapan menit," jawabnya sambil tersenyum ramah dan aku membalasnya lalu segera meninggalkan supermarket. Tidak sepenuhnya pergi, sih karena kenyataan mengatakan bahwa aku juga perlu istirahat barang sejenak. Kedua lututku terasa ingin lepas, tiga jam berjalan kaki mencari jalan pulang bukanlah hal mudah. Terlebih karena kelemahan tidak mampu membaca jalan, peta, dan kompas semakin memperparah keadaan. Ketiga hal itulah yang membuatku semakin berputar-putar di tempat yang sama. Ya, kurasa begitu karena pemandangannya tetap sama dan hanya memiliki satu perbedaan saat ini. Yaitu, aku tidak sendirian, melainkan bersama seorang lelaki yang entah sejak kapan terus memerhatikanku. Bahkan saat meneguk mineral pun, sepasang netra tersebut seolah tidak bisa berkedip. "Tok tok." Ia mengetuk meja, tempat aku beristirahat. "Apa ada orang di sini?" Melemparkan pertanyaan konyol, kurasa ini bukan waktu yang tepat. Menengadah agar bisa melihat lawan bicara, segera kuletakkan botol air mineral di atas meja. Ia tersenyum lebar, rambut cokelat terang yang bergelombang--sedikit messy--tampak mengkilap akibat sinar matahari sore. Sepasang netranya terbingkai kacamata dan saat angin musim panas merembus ke arahku, aroma citrus berpadu dengan kayu manis menyambut indra penciumanku. Well, kukira orang bule kebanyakan memiliki aroma keju basi. Namun, lelaki di hadapanku ini berhasil menampiknya. "Hi," katanya lagi karena tidak menerima reaksi apa pun dariku sebab terlalu sibuk melakukan pemindaian otomatis. "I'm Walter." "Hi," jawabku, sambil memegang erat koper dan memastikan bahwa tas pinggang--berisi harta satu-satunya yang kumiliki--masih berada di posisi sebenarnya. "Boleh duduk di sini?" Sebelah alisku terangkat. "Masih banyak tempat kosong." Dia tertawa renyah, terdengar seperti saat kalian sedang makan keripik kentang. "Kalau begitu kita ubah kalimatnya. Aku memerhatikanmu sejak tadi dan tertarik untuk mengenalmu," katanya lugas seolah kalimat barusan telah ia ucapkan sebanyak ribuan kali. Cumi ngebor! Kupinjam dulu umpatan khas Darka untuk yang satu ini karena scene pada film selalu menayangkan adegan nyaris mirip, hingga secara tidak langsung kita pun terbiasa dengannya. Salah satunya seperti sekarang, saat seseorang menghampiriku mengatakan bahwa ia tertarik dan ingin berkenalan, maka terdapat empat praduga yang bisa diambil. Pertama, dia adalah seorang yang pandai melakukan hiptonis untuk melakukan tindak kejahatan. Kedua, dia adalah orang iseng kurang kerjaan yang melakukan prank terhadap orang asing. Ketiga, dia adalah warga lokal yang hobi mengambil foto selfie bersama para turis untuk dibagikan di media sosial. Kebiasaan orang Indonesia setiap kali mereka bertemu bule, dan aku bukan salah satu di antara mereka. keempat, ini yang terparah. Bisa jadi dia adalah seseorang yang menawarkan kencan semalam untuk mendapatkan penghasilan. Paham maksudku, 'kan? Apalagi karena sekarang adalah musim liburan dan banyak turis yang juga membutuhkan teman ranjang. Atau bahasa kerennya 'Wisata Seks'.   Dan dalam sekali lihat pun, lelaki bule yang menegurku barusan memiliki potensi jenis ketiga. Dia tampan, seksi, tinggi, dan kuyakin memiliki tubuh idaman para wanita. Sejenak hasil dari pemindaian otimatis beberapa menit lalu, sukses membuatku teringat Harry. Are you crying?" tanyanya, sambil membungkuk, memangkas jarak di antara kami berdua. "Aku bisa melihat matamu berkaca-kaca, meski dengan jarak seratus meter." Aku menggeleng kemudian mengibaskan tangan, memberi isyarat agar lelaki asing itu segera pergi. Namun, memang kepala batu, dia masih bertahan pada posisi serupa hingga memaksaku untuk segera bangkit. "Jika kau ingin berkencan dengan para turis, maka aku bukan orangnya. Aku tidak punya uang dan aku tidak tertarik. Excuse me," kataku tegas, sambil kembali melanjutkan perjalanan mengabaikan rasa lelah luar biasa. Fine, berjalan kaki hingga nyaris satu jam bukanlah hal mudah, tapi jika di Pasific Electric Trail memiliki telepon umum, maka rasa lelahku akan terbayar. Baiklah, sekarang ambil arah selatan menuju Ring Ave, belok kiri ke Cartilla Ave, belok kiri lagi ke 19th st, belok kanan ke Heaven Ave, terakhir belok kiri ke Pasific Electric Trail. Mengulang petunjuk dari wanita penjaga supermarket, aku pun kembali melangkah dan kali ini dengan kehati-hatian hinga seribu kali lipat. Namun, lagi-lagi fokusku terganggu saat seseorang mengiringi langkahku hingga kami berjalan bersisian. Lelaki yang sama dengan sifat kepala batunya. Tidak ada alasan untuk berhenti, apalagi bertanya. Namun, otak kritisku meminta agar segera dimanja hingga sampai di langkah kedua puluh, aku pun berhenti sambil bertolak pinggang, menghadap lelaki itu. "Ada banyak turis yang bisa kau tawar, jadi jangan paksa aku karena sungguh! Aku tidak punya uang dan aku tidak ter--" I just want to know about you, talk a little bit, and drink coffee together." Kedua alisku refleks menyatu, mulut terbuka seolah ingin bertanya, tapi kehabisan kata-kata lalu mengembuskan napas kasar. "Find another girl," kataku super cepat, sambil ingin melanjutkan perjalann. Namun, segera dihadang oleh tubuh menjulangnya. And I find you." And I find you, dia bilang? Terdengar familier. Itu kalimat yang pernah dikatakan Harry. Kalimat manis penuh aroma tai kambing karena hanya bersifat gombalan. Aku ingin meludah sekarang juga, tapi sopan santun masyarakat ketimuran masih melekat erat di dirku. "Pikirkan bagaimana jika seseorang yang kau cintai berselingkuh dengan makhluk sejenis, padahal hubungan kalian sudah berjalan selama bertahun-tahun kemudian di saat hati tersakiti orang asing menawarkan kencan semalam yang jelas-jelas akan terdengar buruk jika dilakukan saat patah hati! "Aku tahu kau tidak mengerti bagaimana rasanya karena kalian sama-sama lelaki, pengguna logika, dan bertindak hanya untuk bersenang-senang. So go away from me!" Aku membentak kemudian mendorong tubuh lelaki asing itu dan kembali melangkah. Entah apa yang merasukiku, hingga harus melakukan curhat colongan terhadap lelaki asing itu. Jelasnya ini bersifat refleksi otak akibat stress mendominasi, hingga akal sehat pun terkalahkan. Aku ingin segera sampai di rumah Paman Arya dan kuharap, secepat mungkin bisa menemukan kantor polisi demi meminta pertolongan sebab jika mengandalkan Kedutaan Indonesia, maka kita harus pergi ke Washington terlebih dahulu. ... dan itu bukanlah perjalanan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hi, once again, I'm Walter." Lelaki asing itu kembali berjalan di sisiku. "Sebenarnya, apa yang kau pikirkan?" Apa yang aku pikirkan?! Aku berhenti melangkah dan menatap si orang asing Walter dengan tatapan tak bersahabat. "Sejujurnya, kau pasti seorang pekerja seks dengan orientasi para turis demi mendapatkan banyak fasilitas di musim liburan. Benar, 'kan?" Walter terdiam. Tidak menjawab. Mungkin karena tebakkanku benar. Namun, beberapa detik kemudian tawa serenyah keripik kentang kembali terdengar di telingaku dan Walter memegang kedua lututnya. Seriously, what did you say, eh?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD