2. s**t Happens

1372 Words
"From now on, we are really really done!" Tidak pernah semarah ini selama hidup dua puluh enam tahun. Harry meruntuhkan harga diriku sebagai seorang perempuan. Dua tahun menjalin hubungan LDR telah dirusak hanya dalam hitungan detik dari ulah b*****t pasangan gay tersebut. Di depan mataku, Harry saling bertukar liur dan beradu lidah dengan seorang lelaki. Tidak hanya sampai disitu, bahkan tangan kekar Harry tampak meremas b****g cowok berjiwa perempuan hingga desahan menjijikan terdengar samar di telingaku. Terus terang, saking tidak terimanya, tanpa rasa takut kulayangkan pukulan penuh amarah di wajah Harry, mendaratkan tendangan di betis Harry, dan memukulinya menggunakan kepalan tangan berulang kali. Aku membabi buta, amarah berkecamuk di dalam d**a, hingga akhirnya menangis sesenggukan setelah sadar bahwa kemarahan, serta tindak kekerasan yang kulakukan terhadap Harry tidak sebanding dengan rasa sakitku. Sehingga tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku pun pergi meninggalkan mereka yang mana jika semakin dilihat akan semakin memperparah luka hati. Sambil terus menangis, aku melangkah lebar tanpa perlu menoleh. Berjalan setengah berlari, ke mana pun asalkan tidak ada pasangan gay tersebut. Dan melupakan semua janji manis, sekaligus mimpi masa depan bersama Harry. Shit happens! Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus di hari anniversary kami? Sejak kapan mereka melakukan itu? ... dan sejuta pertanyaan dengan awalan kenapa. "Dua tahun bersama, hari-hari yang kita lewati bersama, janji manis tentang masa depan yang kamu tawarkan ... sial! Kenapa baru sekarang mengetahui kalau Harry semenjijikan itu?!" Menarik kasar koper yang senantiasa mengganggu langkah penuh emosi, kuabaikan saat benda tersebut menabrak para pejalan kaki lainnya. Mereka memang sempat mengumpat, tapi (syukur) tidak menuntut karena--mungkin--mereka tahu bahwa aku sedang dalam masalah. Masalah yang telah menguras air mata, hingga pikiran hanya tertuju pada bagaimana cara melangkah sejauh mungkin. "I really hate you, Harry," bisikku meski tidak ada Harry di sini, sambil mengusap air mata serta cairan kental di hidung. "I really hate you. I wish, I never love you," kataku masih dengan isakan tangis, hingga seseorang menabrakku dan membuat jatuh terduduk. "Sorry," katanya bersuara bariton, tapi kuabaikan. "I hope you are ok." Dia menepuk bahuku kemudian melanjutkan langkahnya, mengabaikan seorang gadis yang sedang bermuram durja. Haha, memangnya siapa yang mau peduli denganku? Harry yang jelas pacarku saja lebih memilih lelaki itu, daripada aku dan .... ... seharusnya tidak perlu menoleh ke belakang karena jelas, batang hidung lelaki b*****t itu tak nampak dari ujung jalan sana. Yang terlihat hanyalah para pejalan kaki--turis maupun warga lokal--penikmat musim panas dan keberadaanku hanyalah sebutir deterjen tak terlihat. Aku menangis lagi, sambil menekan d**a kemudian menatap layar kamera. "Congratulation, karena ini adalah anniversary yang gagal untuk kedua kalinya dan paling menyedihkan sepanjang sejarah. Harry bukannya ngambek seperti tahun lalu, melainkan ...." Menarik napas panjang, berusaha kuatur emosiku agar tidak menangis sesenggukan. "Aku yakin kalian melihat apa yang terjadi saat itu, jadi .... we are done and ... tidak ada lagi pasangan sempurna antara Kirana dan Harry. Serius ini benar-benar selesai, guys so ... sampai jumpa," ujarku dengan berlinang air mata, seperti Awkarin muda saat dia curhat mengenai mantan pacarnya. Di mana perbedaan hanya terdapat pada lokasi serta bagaimana proses perpisahannya. Awkarin lebih private yaitu di dalam suatu ruangan, sedangkan aku .... ... di tempat umum, di pinggir jalan, bersama para bule yang bersikap abai pada kesedihanku. Mematikan kamera vlog yang sedari tadi dalam keadaan on, bahkan saat baku hantam terjadi, aku pun segera membersihkan cairan kesedihan di wajah. Berusaha berlapang d**a, sembari mencari pelampiasan atau pengalihan fokus. Kedua senjata ampuh yang senantiasa kulakukan setiap kali dihadang masalah, stress, atau sedih sekali pun. Seperti dulu saat ibu meninggal yang kulakukan bukanlah menangis dan bersedih terus-menerus, sebab kutahu hal tersebut hanyalah membuang waktu. Tuhan jelas tidak suka jika umatnya berada dalam kesedihan berlarut-larut, sampai mengalami kemunduran sehingga setelah seminggu kepergian ibu, aku berubah menjadi sosok penggila kerja. Aku bekerja apa saja dari pagi sampai larut malam dan hanya tidur selama lima jam, dari sinilah aku bertemu Toko Bunga Dahlia--berkenalan dengan Darka, Putri, Boss Benji, serta Annora--orang-orang yang menyenangkan, hingga mampu menyembuhkan kesedihanku. Namun, untuk sekarang rasanya mustahil jika berbagi cerita kepada mereka sebab kami semua sedang berduka atas kematian Annora serta cerita mengenai Harry yang kurasa itu hanya sekadar pengharapan. Kuharap kalian tahu maksudku, ya ... seperti terlalu percaya diri bahwa Harry benar-benar mencintaiku. "Bodoh!" Umpatan itu kuarahkan pada diri sendiri, sembari memukul kepala berusaha keras agar tidak menangisi lelaki tidak tahu diri itu. "Kalau memang berakhir seperti ini, bukan berarti liburannya gagal. Kamu harus tetap bersenang-senang, Kira!" ujarku lalu kembali mengedarkan pandangan dan .... ... aku menemukan sesuatu yang super lezat untuk saat ini. Musim panas yang secara terang-terangan mengejekku, tapi tangan Tuhan tetaplah yang terbaik karena memberikan manusia pikiran untuk menciptakan es krim. Aku suka es krim, apalagi jika disantap saat terik dan hati gundah gulana. Sebab menurutku, dinginnya es krim tentu mampu membekukan sang hati. Dengan sisa-sisa kekuatan, aku pun bangkit dari tempatku terduduk, kembali berjalan sambil menarik koper dan melupakan paper bag yang berisi oleh-oleh untuk Harry. Bodo amatlah, lagipula itu hanya kaos oblong biasa--bertuliskan 'I love my girlfriend'--kusablon sendiri waktu aku dan Darka pergi ke tempat temannya yang memiliki usaha tersebut. Uang bukan lagi masalah untuk saat-saat seperti ini karena tidak mampu mengobati luka di hati. Harry b*****t! Semua konten di Youtube yang kubuat bersamamu sekarang hanya menjadi kenangan pahit dengan akhir paling menyedihkan sepanjang abad. "Hi, bisa aku memiliki es krim lezatmu?" Sambil berusaha tersenyum, sebisa mungkin kutampilkan ekspresi ceria. Meskipun yang kudapat adalah tatapan penuh tanya dari sang pedagang es krim. "8,50 Dollar," jawabnya setelah beberapa saat menatapku kemudian menaikkan sebelah alisnya. Oh, apa aku semenyedihkan itu hingga pedagang es krim pun menatap sedemikian rupa. "Baik, berikan satu untukku dengan ekstra selai strawberry di atasnya." Kembali kunyalakan kamera vlog untuk membuat video baru lalu merogoh sling bag dan mencari dompetku. Tapi ... astaga! Geser kanan, kiri, depan, belakang. Tidak ada apa pun yang menyentuh tanganku. Kosong melompong. "Oh my God!" ujarku setengah berteriak, seratus persen panik. Aku segera membuka lebar sling bag, membalikkan posisinya, menggoyang-goyangkan. Namun, tetap. Tidak ada apa pun, dompet termasuk ponselku raib begitu saja, meninggalkan kecemasan karena sadar bahwa baru saja menjadi korban pencopetan. Aku tidak tahu pasti kapan kejadiannya. Yang kupikirkan sekarang adalah .... Sial! Sudah jatuh ketiban tangga pula. Gimana aku bisa pergi ke rumah Paman Arya? Lalu es krimnya? Seriously! It's really s**t happens! "I'm so sorry, Sir." Takut-takut kutatap wajah penjual es krim tersebut, kemudian menghentikan sejenak rekaman di kamera vlog dan mengatupkan kedua tangan di atas kepala, dengan wajah sedikit tertunduk. "Aku kecopetan dan kehilangan semua uangku. Jadi ...." "Kau tidak bisa mendapatkan es krimnya." Menggeleng cepat, penjual es krim itu salah sangka. Bukan maksud ingin minta gratis, tapi aku butuh toilet untuk mengambil selembar uang darurat di dalam tas pinggang yang kuletakkan di balik dress musim panas. "Apa Anda tahu di mana letak toilet umum? Aku membutuhkannya karena bentuk tanggung jawab atas es krim yang telah Anda buat ada di balik dress ini," ujarku sambil menarik dress ke samping, hingga ukurannya menjadi sangat ketat dan memperlihatkan bentuk tas pinggang di baliknya. Si pedagang es krim mengembuskan napas lalu menunjuk ke sebelah kiri. Aku pun menoleh dan .... Oh my God, jaraknya sekitar dua ratus meter dan jika ke sana pun es krimnya akan-- "Double s**t, right?" tanyanya dengan nada merutuk kemudian mengulurkan es krim disertai ekstra selai strawberry ke arahku. "Nah, ambil saja. Semoga bisa memperbaiki hari-hari burukmu." "Oh my ... thank you so much! I ... I'm Kirana from Indonesia and--" "Tidak punya waktu untuk mendengar curhatanmu. Pergilah sebelum aku berubah pikiran." Ia mengibaskan tangannya di depan wajahku, menyuruh agar segera pergi dan mau tidak mau, aku pun mengangguk lalu bergegas melangkah  setelah mengucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya. Tidak semua orang itu buruk. Tuhan menciptakan dua sifat dasar pada umatnya, yaitu baik dan jahat. Sehingga ketika dijahatin oleh seseorang, maka Tuhan akan mengirimkan kebaikan sebagai balasan. Itu perkataan ibu sebelum kematiannya. Satu, dua, ... sepuluh. Aku menghitung dalam hati sambil melangkah menuju toilet umum. Sejauh ini semua berjalan lancar, tapi faktanya masalah belum benar-benar selesai. Ini California, aku tidak pernah ke sini sebelumnya dan semua petunjuk untuk pergi ke rumah Paman Arya pun lenyap. Hanya menyisakan dokumen pribadi, selembar uang seratus Dollar, serta secarik kertas berisi nomor telepon rumah paman. "Don't be stress. You can speak English and it will help you, Kira." Menepuk-nepuk pipi lalu menengadahkan kepala, kucoba untuk mengembalikan akal sehatku. Kali ini jangan sampai kepanikan serta kecemasan mendominasi sebab jika itu terjadi, maka kebodohan akan menerpa dan tidak menutup kemungkinan aku akan berakhir di ujung dunia. Dalam artian, bisa saja aku tersesat dengan hanya bermodal selembar seratus Dollar. Karena di mana pun kita berada selama masih bersifat legal, jika terjadi sesuatu masih ada yang namanya kedutaan dan tentu itu adalah tempat teraman untuk meminta pertolongan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD