1. Welcome To California

1592 Words
"Waahh, cuacanya cerah banget!" kataku sebagai kalimat awal yang digunakan sebagai pembuka, saat pertama kali menginjakkan kaki di California. Lebih tepatnya setelah melewati gerbang kedatangan di Bandara Internasional Los Angeles, LAX dengan sebuah koper dan kamera khusus kegiatan vlog yang baru kubeli spesial untuk momen ini. Ya. Momen ini! Tanggal sepuluh Agustus saat musim panas, aku, Kirana Mahaputri memutuskan datang ke California demi memberikan kejutan spesial di anniversary kedua tahun bersama Harry James, setelah yang pertama gagal sebab Harry keburu ngambek. Tentu saja karena ini adalah big surprise, Harry sama sekali tidak terlihat di setiap sudut bandara--seperti yang diperlihatkan para pasangan LDR--saling berpelukan di bandara atau berciuman. Aku menghindari hal tersebut agar tampak berbeda, sekaligus memperlihatkan kesungguhan cintaku terhadap Harry, kemandirian, serta keberanianku melewati lintas benua demi menemui kekasih tersayang. Yakin, deh, saat Harry melihatku berdiri di depan matanya nanti, dia akan memelukku erat kemudian mengomel senang karena aku merahasiakan kejutan tersebut. Dan kenyataannya, setiap kejutan adalah sesuatu yang rahasia sehingga jika ketahuan, itu bukan lagi sebuah kejutan. Aku tersenyum-senyum sendirian. Merahasiakan hal ini sukses membuatku begitu excited. Serius, deh, kepo banget pengen tahu bagaimana ekspresi Harry saat melihatku nanti. Apa dia bakal langsung menangis bombay? Tidak bisa berkata-kata apalagi berkedip? Atau lebih ekstrimnya, apa Harry bakalan pingsan? Lol kuharap yang terakhir tidak terjadi karena jika dia pingsan, mungkin vlog ini bakal jadi lebih mendramatisir dan pasti, bisa dianggap palsu. Jangan sampai berlebihan. Itu doaku, semoga Tuhan mengabulkan. "I'm sure he will be very surprise, shock, and maybe cry because of happines. Ha-ha," kataku pada kamera vlog, sambil terus melangkah menuju pintu keluar bandara, menggerek koper biru mudaku, dan sesekali membaca buku panduan mengenai California yang diperuntukkan khusus wisata asing dengan begitu semangat. Jakarta, Tokyo, Los Angeles. Delapan belas jam mengudara, termasuk dengan satu jam transit di Bandara Internasional Narita kemudian lanjut berkendara menggunakan taksi sejauh enam puluh mil menuju Mesada st yang merupakan lokasi tempat tinggal Harry. Sambil mendengarkan musik menggunakan earphone melalui ponsel, kubiarkan supir taksi berkulit gelap membawaku dengan kecepatan sedang menuju alamat rumah Harry. Sekarang pukul dua belas, jika di Indonesia momen ini merupakan puncak-puncaknya sang raja siang memamerkan kejayaannya, hingga membuat kebanyakan orang malas keluar. Namun, di California justru sebaliknya di mana mereka saling berlomba memamerkan kulit, bahkan ada yang rela berjemur di pinggir pantai hanya dengan bermodalkan sunscreen, serta payung besar demi mendapatkan warna tanned super seksi. Harry yang bilang begitu padaku—membagi informasi tentang kesukaan warga Amerika—dan menjadi salah satu alasannya, tentang mengapa ia suka padaku. Kata Harry, kulit sawo matangku super seksi karena senantiasa berkilau tanpa harus repot berjemur. Lalu ngomong-ngomong masalah kedatanganku ke California yang bersifat mustahil bagi seorang yatim piatu dari anak seorang ASN, serta hanya bekerja sebagai penjaga toko bunga, maka jawabannya, katakan saja ini adalah keberuntungan. Dua minggu lalu Paman Arya, satu-satunya adik kandung ibu, menghubungiku menggunakan Skype kembali membujuk agar aku mau ikut tinggal dengannya demi meyakinkan diri, bahwa aku tidak terlantar sebatang kara di Indonesia. Sebenarnya aku sudah pernah menolak untuk ikut. Ini terjadi saat seminggu ibu meninggal, alasannya pun sederhana yaitu karena masih banyak urusan kampus yang tidak bisa ditinggal dan keinginanku untuk melamar sebagai PNS. Namun, kegagalan menerpa, sehingga demi bertahan hidup seorang diri di Bandung kuputuskan untuk bekerja apa saja, mengabaikan ijazah S1 yang tersimpan rapi di kamar. Beberapa bulan terlewat dengan aman, ekonomiku tetap stabil bahkan bisa menabung. Sayangnya musibah kembali datang, rumah ibu kebakaran membuatku terpaksa pindah dan memutuskan ngekos. Paman Arya membujukku lagi untuk ikut dengannya dan .... ... kutolak. Paman Arya menyebutku keras kepala dan mengirimiku uang melalui western union yang sama sekali belum kugunakan. Sampai akhirnya aku bertemu Harry di situs kencan online, dia berhasil memutarbalikkan hatiku dengan menanamkan keinginan besar untuk bertemu dan tinggal di California. Saat itulah aku semakin giat bekerja keras, menabung pundi-pundi rupiah, hingga Paman Arya kembali menghubungiku, menawarkan hal serupa, dan kujawab dengan jawaban berbeda. Aku setuju untuk pergi ke California saat musim panas tiba—melalui sponsor dari Paman Arya—dan mungkin, jika cocok akan tinggal—menuruti keinginan beliau. "Kamu sudah di mana?" Suara Paman Arya terdengar jelas di earphone. Menggunakan nomor telepon rumah, dia kembali menelepon setelah sebelumnya sudah melakukan hal serupa saat aku baru saja duduk di bangku belakang taksi. "Kulihat di status perjalanan, seharusnya kamu sudah sampai di sini? Kamu yakin enggak mau Paman jemput? Ini tempat baru, loh, banyak orang asing yang jahat dan kamu keponakan paman satu-satunya jadi—" "Paman," ujarku sengaja menyela perkataan Paman Arya karena sifat cerewetnya sudah tidak jauh berbeda dengan ibu. "Aku sudah di dalam taksi dan masih di perjalanan. Jangan khawatir, aku baik-baik aja, kok. Bahasa Inggrisku juga fasih jadi mustahil akan kesulitan. So see you soon, Uncle." Memberikan kedipan mata, meski Paman Arya tidak mungkin melihatnya, segera kuputuskan panggilan agar fokusku tak terbagi dan hanya berpusat pada keindahan California. Ketika menatap ke atas, langit bersih tanpa gumpalan awan akan menyambutmu, sehingga akan memanjakan siapa saja yang menyukai foto dengan menggunakan kekuatan cahaya matahari. Lalu saat memandang ke depan, pengguna terbesar jalan raya dalah para pejalan kaki. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kendaraan roda empat pun juga turut mendominasi. Musim liburan memang beda, kepadatan tidak lagi dipenuhi dengan kendaraan dan orang-orang berpakaian formal, melainkan berubah haluan menjadi kepadatan para keluarga yang ingin bersenang-senang. Sehingga kalau sudah seperti itu, maka .... ... kenapa kita enggak bergabung dengan mereka juga? Menyimpan ponsel di dalam sling bag, kualihkan perhatianku pada kamera vlog yang sejak beberapa menit sempat menganggur, hanya tergantung di leher. "Excuse me, Sir," panggilku sambil menatap ke arah kaca spion depan supir, "Bisa berhenti di sini? Kurasa, aku ingin jalan kaki saja. Terlebih karena tujuanku sudah dekat dan aku ingin menikmati musim panas di sini." "Sure, Miss." Ia tersenyum padaku hingga aku dituntut harus membalasnya. "Musim panas di California adalah yang terhebat untuk dinikmati," katanya lagi, sambil menepikan mobil di pemberhentian selanjutnya yang berjarak sekitar seratus meter. "Thanks," kataku saat taksi benar-benar berhenti dan yakin tidak ada lagi barang yang tertinggal. Memang sebanyak apa barang yang kubawa selain sling bag, koper berukuran sedang, dan satu paper bag berisi oleh-oleh dari Indonesia untuk Harry. Aku menghirup napas panjang, udara kering bercampur dengan aroma daging asap menyambut indra penciumanku, memberikan efek lapar. Namun, menolak untuk langsung memanjakan perut karena jantung tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Pasalnya, Google Maps mengatakan, bahwa jarak tempatku berada hanya tinggal empat belas meter menuju tempat tinggal Harry. "Empat belas meter menuju Harry dan jantungku sudah tak keruan," kataku sekadar info saat kamera sudah dalam keadaan on. "Tapi, aku bahkan belum menanyakan keberadaanya. Jadi, kita membutuhkan wifi demi menjaga kerahasiaan. Ikutin terus, ya!" Setelah menjentikkan jari, kuedarkan pandangan ke sekeliling sambil terus berjalan. Kamera masih tetap menyala, mengikuti segala perjalananku dan tidak jarang pula merekam para bule yang melintas di sekitar, lalu sesuatu yang belum pernah ditemukan di Indonesia sukses menarik perhatianku. Tempat ini ramai—maksudku jalanannya cukup ramai—banyak pertokoan seperti jika berada di wilayah sekitar Pasar Baru di Bandung—menjual beraneka macam souvenir, makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Namun, bukan itu yang menjadi daya tarik bagiku, melainkan sebuah benda yang berada di pinggir jalan—bertugas sebagai pengganti tukang parkir. Menurut buku panduan yang aku baca barusan, di tempat seperti ini memang tidak ada parkiran, sehingga jika ingin parkir di pinggir jalan hanya butuh membayar dua puluh lima sen di parking meter. Wow! Kurasa Bandung juga harus menerapkan ini sehingga enggak ada lagi pungli. Coffee shop di seberang jalan berhasil memanjakan indra penciumanku. Aroma espresso yang bercampur dengan s**u, mengingatkanku dengan minuman khas Italia dan juga kenangan Abimanyu. Oh, sekadar informasi dia mantan terindah dalam dunia kampusku, tapi pupus karena lelaki itu pindah ke Kalimantan dan tak tahan dengan hubungan jarak jauh. Teringat kenangan tersebut, langkah kakiku pun menuntun agar bergerak memasuki coffee shop tersebut kemudian memesan cappucino dan duduk sejenak di sana untuk menghubungi Harry melalui chat. Remember that we need free wifi for this surprise. Singkat cerita, aku hanya bertanya tentang bagaimana kabar Harry hari ini? Apakah dia punya kegiatan untuk menyambut musim liburan? Lalu sedang apa dia sekarang? Dan terakhir ucapan 'I love you and see you later on video call.' "Dia lagi di rumah dan katanya lagi nunggu teman yang ingin bertamu. He will call me later." Senyum lebar tergambar lagi di wajahku, sambil mengangguk seolah kamera adalah lawan bicaraku. "Well, kita liat saja nanti, apa Harry bakalan bener nelpon aku atau bakal diam seribu bahasa pas liat pacar Indonesianya sungguhan berdiri di depan matanya," kataku lagi kemudian meminum segelas kertas cappucino dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Teman Harry yang akan datang katanya cuma mampir sebentar untuk mengambil sesuatu, sehingga besar kemungkinan jika aku sampai, teman Harry pasti sudah meninggalkan rumah dan Harry .... Mungkin sudah benar-benar sendirian karena saudara perempuannya sedang pergi ke Nevada untuk mengunjungi bibi tertuanya. Aku sempat bertanya tentang mengapa Harry tidak ikut dan alasannya sederhana, dia bilang hari ini adalah jadwal kami melakukan video call sehingga ia ingin melewatinya bersamaku ganpa gangguan siapa pun. Well, aku tahu maksudnya jadi karena sudah berada di sini, mengapa tidak sekalian melakukannya secara nyata saja? Sambil bersenandung menyanyikan lagu Justin Bieber, aku terus merekam sambari mencari alamat Harry. Satu per satu kuperhatikan nomor rumahnya dan sesekali bertanya kepada warga sekitar, hingga bangunan bercat dominan putih terpampang jelas di depan mata. Nomor 7229, Mesada st Alta Loma, CA 91701. Rumah sederhana yang rapi dengan hamparan rumput hijau sebagai pekarangannya. Aroma rumput basah menenangkan jiwa gugupku, sehingga setelah menarik napas panjang lalu mengembuskannya, aku pun melangkah menyebrangi jalan dengan perasaan tak keruan seolah .... Langkahku seketika terhenti. Pupil mata melebar. Dan seolah ribuan king cobra menusukkan bisanya di tubuhku secara bersamaan. Anggota gerakku seketika kehilangan fungsi. Ya Tuhan, apa-apaan ini! "What the f**k are you doing, Harry James?!!" teriakku begitu membahana, hingga dua lelaki tak tahu diri itu menghentikan aktivitas menjijikan di depan pintu rumah dan seperti banteng yang ingin menyerang kain merah dari seorang matador, aku mendorong tubuh Harry dengan sangat kuat. Kemudian memukul. Menampar. Memaki. Dan menangis. "From now on, we are really really done!" Brengsek! Hatiku hancur berkeping-keping dalam hitungan detik, setelah dua tahun dirawat dengan baik oleh rayuan Harry James.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD