bc

Love Scenario

book_age18+
1.3K
FOLLOW
9.3K
READ
possessive
family
independent
neighbor
boss
comedy
sweet
city
enimies to lovers
slice of life
like
intro-logo
Blurb

"Attitude itu nomor satu. Sedangkan cowok tadi itu nggak punya attitude sama sekali. Yang artinya di nggak ganteng untuk standar saya. Paham?" -kata Arbetiana Bianca, si tenaga medis judes.

"Pesona apa sih, Om? Pertama, dia galak. Pesonanya ya jelas nggak keliatan lah. Trus kedua, aku tuh nggak kenal dia, jadi ya gimana mau sadar sama pesonanya? Nggak mungkinlah." -kata Pranadipa Mahendra, si pasien sok dewasa yang terdzolimi.

***

Seperti apa Skenario Cinta yang pernah kau bayangkan?

Indah?

Romantis?

Atau justru menjengkelkan seperti yang dirasakan oleh tokoh utama cerita ini?

Arbetiana Bianca tidak pernah menyangka kalau dirinya akan bertemu dengan pria sok dewasa bernama Pranadipa Mahendra. Bukan sekali atau dua kali, tapi berulang-ulang. Dan dari intensitas pertemuannya dengan pria itu, Bianca yakin kalau Prana akan menjadi salah satu "Skenario Cinta" Tuhan untuknya.

Berkali-kali Bianca mencoba menepisnya, tapi Skenario Cinta Tuhan teramat kuat. Bianca dan Prana larut dalam Skenario Cinta tersebut sampai mereka lupa dengan satu hal yang penting: tidak pernah ada hal yang mulus di dunia ini. Layaknya jalanan, Skenario Cinta Tuhan pasti akan menjumpai belokan, jalan bercabang banyak, jalan terjal, sampai jalan yang rusak parah.

Dan kala mereka sampai pada titik itu, satu pertanyaan muncul: Apakah kalian akan tetap bersama-sama atau berpisah?

Ikuti kisah mereka dan jadilah saksi bagaimana mereka memperjuangkan Skenario Cinta yang sudah dibuat Tuhan untuk mereka.

(Jangan lupa tap love dan follow akun aku untuk kelanjutan cerita ini ya. Salam hangat, Lizzz ^_^)

chap-preview
Free preview
AB - PRIA SOK DEWASA (1)
  Happy Reading ^_^   ***   Seorang perempuan terlihat berjalan dengan kepercayaan diri penuh. Berbekal langkah yang mantap, baju batik formal yang membungkus tubuhnya dengan pas, rambut yang dicepol rendah yang formal, serta nametag khas pegawai tempat ini, perempuan itu benar-benar membuat siapa pun yang melihatnya menjadi segan. Semuanya sempurna, kecuali wajahnya yang terlihat cantik sekaligus galak di waktu yang bersamaan. Semua ini karena tidak ada jejak senyum sedikit pun di wajahnya. Ingatkan semua orang yang dekat dengannya untuk mengingatkan sosok ini karena bagaimana pun mereka adalah orang pelayanan. Kesan sopan dan ramah dengan senyum yang terpatri adalah dasar yang penting.   Perempuan berusia duapuluh sembilan tahun itu melewati lorong demi lorong tanpa ada kebingungan sedikit pun. Wajar saja, pikirnya. Sudah lima tahun dia bekerja di sini dan akan sangat-sangat konyol kalau dia masih tersasar. Tersasar tidak ada dalam kamusnya, bahkan dia tahu setiap cela yang mungkin untuk dijadikan terobosan. Karena apa? Tentu saja karena dia pegawai tetap di sini.   Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya perempuan itu sampai di tujuannya. Dia berbelok ke gedung tempatnya bekerja di mana tertulis nama Laboratorium Patologi Klinik dengan huruf kapital yang sangat mencolok. Dia mendorong pintu utama dan kedatangannya langsung disapa oleh staff administrasi yang melihatnya.   “Good morning, Kak Arbeeeeee,” sapa staff administrasi melalui celah yang biasa digunakan untuk transaksi dengan pasien yang datang.   Perempuan itu –Arbetiana Bianca- mendengus. “Pagi-pagi udah kerja aja. Udah ada pasien?” tanya perempuan itu sambil terus berjalan. Dia mendorong pintu kaca tunggal yang akan mengantarkannya pada wilayah khusus staff.   “Belum sih, Kak. Tapi prepare aja mengingat hari ini biasanya banyak pasien medical check up.”   Arbetiana Bianca atau yang kerap disapa Arbe atau Be, atau Bianca –khusus untuk orang normal- menjawabnya dengan melambai sekilas. Itu artinya dia paham. Dia melewati staff itu dan bergegas ke bagian paling belakang untuk meletakkan tas yang dibawanya ke loker. Setelah itu dia kembali lagi ke depan lengkap dengan jas laboratorium di tangannya. Dia memakainya sesaat sebelum memasuki ruangan yang benar-benar merupakan tempatnya bekerja.   Yup, Laboratorium. Sebuah tempat yang berisi banyak alat pemeriksaan kesehatan ini adalah tempat seorang Arbetiana Bianca bekerja. Mengingat title rumah sakit yang tersohor, tentu saja rumah sakit tidak main-main dengan alat pemeriksaan yang mereka miliki. Ada banyak alat yang berjejer, baik yang bentuknya mungil sampai yang besar dan memakan ruang yang cukup banyak. Oleh karena itu tidak heran kalau laboratorium mereka tergolong sebagai laboratorium yang lengkap. Bahkan Laboratorium Mikrobiologi* yang masih langka di beberapa rumah sakit pun tersedia di sini dan Arbetiana Bianca-lah yang menjadi penanggungjawabnya.   Bianca melambai ke arah kakak seniornya yang sedang me-respon* beberapa anak magang yang merupakan mahasiswa tingkar akhir sekolah kesehatan. Dia terkekeh saat melihat gugupnya mereka layaknya pencuri yang diinterogasi oleh rekannya yang sudah senior.   “Jangan galak-galak, Kak. Kasihan,” komentar Bianca yang disambut dengan gelak tawa kakak seniornya.   “Nggak galak lho. Ini tuh standar. Lagian kalo nggak sekarang, kapan mereka bisa belajar dunia laboratorium yang sebenarnya? Sekarang lho waktunya. Dah sana urusin bakteri-bakterimu aja.”   “Siap, Kak.” celetuk Bianca sambil tertawa. Kali ini tatapan Bianca terallih ke dua anak magang yang sedang direspon kakak seniornya. Dia teringat sesuatu. “Oh ya, temen kalian yang hari ini sampling di VIP siapa ya?”   “Maaf tapi kami kurang tahu, Kak. Nanti coba aku liatin di jadwal yang dibuat ketua kelompok dulu.”   Jawaban mereka tidak memuaskan Bianca. Dia berfikir sejenak. “Nanti tolong tanyain ya, terus bilang suruh nyiapin box sampling. Kalo udah langsung suruh ke ruangan mikro nemuin saya. Saya mau sampling pagi aja, biar nggak banyak pasiennya.”   “Siap, Kak.”   Bianca membuat tanda oke dengan jarinya lalu melenggang pergi ke ruangannya yang bisa dikatakan sangat-sangat terpencil namun nyaman. Tanpa pikir panjang dia langsung menghidupkan lampu, komputer, dan beberapa alat pemeriksaan yang terhubung langsung ke komputer. Seraya menunggu semua on, Bianca berjalan ke bagian paling belakang untuk mengeluarkan beberapa sampel pemeriksaan yang akan diperiksa hari ini.   Laboratorium Mikrobiologi tersohor sebagai lab dengan sampel* paling menjijikkan. Yang cukup normal adalah darah dan yang paling abnormal ada pus*, sputum*, sampai feses. Dan yang perlu digarisbawahi, semuanya mengandung bakteri. Oleh karena itu mereka diperiksa di lab mikrobiologi. Orang awam pasti akan muntah detik itu juga, tapi tidak dengan Bianca. Pertama karena dia adalah Ahli Tenaga Laboratorium Medis. Dia sudah paham kalau inilah pekerjaannya. Kedua, dia sudah ada di bidang ini selama tiga tahun berturut-turut. Jadi hal seperti ini sudah seperti rutinitas harian yang biasa saja.   Sebenarnya bidang pekerjaan Bianca memang terkenal sebagai bidang yang menjijikkan. Bagaimana tidak, sebagai ATLM –Ahli Teknologi Laboratorium Medis- mereka dituntut untuk memeriksa cairan tubuh manusia yang gunanya untuk mengetahui kondisi tubuh pasien. Cairan tubuh tersebut nantinya akan diperiksa –bisa manual atau dengan bantuan alat canggih- dan kemudian hasilnya akan digunakan dokter untuk menegakkan diagnosanya. Normalnya cairan yang digunakan adalah darah, tapi ada beberapa kondisi yang mengharuskan penggunaan urin, feses, atau bahkan cairan otak sebagai sampel. Semua itu kembali lagi dari diagnosa dokter dan ATLM akan mengerjakannya sesuai instruksi.   “Kak Arbe?”   Bianca yang sedang sibuk preparasi sampel langsung menengok. “Kamu yang jatah sampling* di VIP hari ini?” tanyanya yang langsung diangguki oleh anak magang itu. “kamu tunggu bentar di depan ya? Aku preparasi sampel dulu. Abis itu kita berangkat.”   “Iya, Kak.”   Selepas anak magang itu pergi, Bianca langsung meneruskan pekerjaannya yang sudah tanggung. Karena sudah terbiasa, tidak ada bingung sama sekali. Setelah memindahkan sampel ke suhu ruang, Bianca langsung memindahkan media kultur* yang biasa digunakan ke inkubator*. Ah, jangan lupa reagen kit* untuk pemeriksaan sputum yang harus berada di suhu ruang sebelum digunakan. Tujuan pemindahan ini tentu saja supaya bahan-bahan tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya agar hasil yang didapat akurat.   Selesai melakukan preparasi sampel, Bianca langsung melepas handscoon* dan maskernya. Tanpa pikir panjang dia langsung membuangnya ke kotak sampah yang memang untuk peralatan yang infeksius. Mengingat bidangnya yang berurusan dengan bakteri yang tidak terlihat dengan mata telanjang, Bianca tidak mau bermain-main dengan memakai barang sifatnya sekali pakai dengan dalih sayang. Rasanya tidak lucu kalau dia menegakkan diagnosa penyakit tuberculosis namun dirinya sendiri terinfeksi tuberculosis karena kelalaiannya.   Bianca menghampiri anak magang yang sudah siap sedia dengan box samplingnya. “Udah siap semuanya?”   “Udah, Kak. Boleh dicek dulu mungkin aja kurang.”   “Udah, nggak usah. VIP biasanya tuh nggak banyak. Makanya juga aku ajak kamu pagi-pagi biar nggak keduluan dokter visiting. Bisa berjam-jam kita di sana kalo dokter udah visiting trus pasiennya nambah-nambah.”   Bianca dan anak magang yang diketahui dari nametag-nya bernama Chintya itu tertawa. Walau baru magang beberapa minggu, tapi Bianca yakin mereka sudah paham dengan sistem ini. Memang banyak ATLM yang memilih visiting pagi-pagi demi menghindari menumpuknya pasien di kamar rawat. Bukan karena mereka tidak suka kegiatan itu, tapi sampel yang harus mereka periksa bisa menumpuk kalau mereka terlampau lama melakukan sampling ruangan. Sedangkan ada TAT* –Turn Around Time- yang harus mereka patuhi karena semua kegiatan laboratorium mereka terhubung dengan sistem.   Bianca dengan Chintya –si anak magang- berjalan bersisian menuju kamar rawat khusus pasien VIP. Tak butuh waktu lama sampai mereka berhasil sampai di wilayah yang kadang suka membuat Bianca emosi. Yup, Bianca tidak begitu bersahabat dengan ruangan tersebut. Bukan karena perawat dan dokternya, tapi pasiennya itu sendiri. Ada banyak orang-orang yang katanya sakit tapi sangat menjengkelkan di ruangan yang nilai prestige-nya tinggi. Ruangan seperti ini benar-benar lebih cocok untuk ATLM yang sabar, bukan orang seperti Bianca yang gampang sekali emosi karena kadang tidak begitu dihargai.   Dia mengambil formulir pemeriksaan yang untungnya tidak banyak. Hanya lima orang dan semoga saja tidak bertambah. Yang artinya, dia tidak perlu menahan rasa jengkelnya terlalu lama.   “Plebotomi* kamu oke kan, Dek?”   “Oke, Kak. Tapi ya kadangan gagal juga sih.”   Bianca terkekeh karena mendengar ada nada ragu dalam suara anak magang itu. Wajar, mereka masih pemula. Sesering apa pun mereka berlatih, pasti akan ada rasa rendah diri jika berhadapan langsung dengan pasien yang kadang tidak terduga sifatnya.   “Santai, santai. Yakin aja dulu, nanti pasti bisa kok. Ada lima pasien, nanti kamu ya yang ambil?”   “Kakak bantuin kan?”   “Bantuin dong,” Bianca terkekeh di balik maskernya. “... bantu doa maksudnya.”   Melihat ekspresi tertekan si anak magang, Bianca menepuk punggungnya. Dia tahu apa yang dirasakan mereka karena Bianca pun pernah ada di posisi itu. Dia kembali menenangkan dengan mengatakan,   “Kunci plebotomi itu yakin dulu. Jangan pesimis hanya karena vena* pasien nggak begitu keliatan. Soalnya kadangan ada pasien yang langsung panik hanya dengan ngelihat kita ragu. So, santai. Syukur-syukur kamu bisa komunikatif ke dia biar dia nggak fokus ke sakitnya.”   Chintya mengangguk mantap. “Siap, Kak.”   “Okay... sekarang kamu pake handscoon dulu trus kita masuk ke kamar pasien.”   ***   “Semua baik-baik aja, kan?” tanya Bianca dengan nada sedikit mengejek yang dia tujukan pada si anak magang. Dia mengangguk malu-malu. “Ya udah, buruan masuk gih. Ini kamar terakhir. Inget kata-kata saya tadi.”   “Oke, Kak.”   Bianca membuka pintu kamar terakhir yang pasiennya harus di sampling. Dengan sopan Bianca permisi dan masuk. Si pemilik ruangan yang sedang membaca langsung menatapnya dengan tatapan yang sedikit... terkejut dan meremehkan. Okay, sepertinya yang satu ini akan sedikit menggunakan urat, batin Bianca mencoba menabahkan hatinya.   “Dengan Bapak  Pranadipa Mahendra?” kata Bianca sesopan mungkin.   “Iya, dengan saya sendiri.”   “Sendirian aja, Pak? Keluarga atau wali lainnya yang menunggui Bapak mana?” tanya Bianca setelah melihat ke sekeliling arah dan tidak menemukan seorang pun yang menjaga pria itu.   “Bu, saya sudah sedewasa untuk jadi wali bagi diri saya sendiri. Dan karena saya udah sedewasa ini, jadi saya nggak perlu ditunggui oleh orang lain.”   Bu?   Bianca tertawa dalam hati. Tidak, dia tidak marah. Dia hanya merasa lucu saja. Bagaimana ekspresi Bapak Pranadipa Mahendra yang sangat dewasa  ini kalau tahu orang yang dipanggilnya sebagai Ibu adalah perempuan berusia duapuluh sembilan tahun dan belum menikah? Pasti lucu sekali.   “Kalo gitu saya mau ambil darahnya dulu ya, Pak? Untuk pemeriksaan rutin harian.”   Bianca berujar dengan nada dingin. Dia sudah tidak tahan harus berlama-lama di ruangan ini. Dia merasakan aura-aura yang tidak baik yang melingkupi Bapak Pranadipa Mahendra yang sangat dewasa ini.   “Dek, ambil ya. Kakak siapin tabungnya.”   “Iya, Kak.”   Si anak magang sudah maju untuk melakukan pengambilan sampel, tapi sayangnya si pasien langsung menolak. Tidak, dia tidak ketakutan. Orang itu meremehkan si anak magang. Bianca tidak salah menilai karena dia sudah menggeluti bidang ini bertahun-tahun. Dia memahami dengan baik mana pasien yang takut dan mana yang enggan karena ragu.   “Bu, saya nggak mau ya kalo diambil darahnya sama anak magang. Saya keponakannya dokter Adi lho.”   Bianca memutar bola matanya. Dia merasa jawaban pasien manjanya ini sangat-sangatlah konyol.  “Ya terus apa hubungannya kalo Bapak ini keponakannya dokter Adi? Dokter Adi juga nggak bakal ikut campur urusan lab.” Bianca memberitahu dengan nada sedikit ngegas. Dia gemas dengan tipe pasien yang seperti ini. Membuat proses sampling terhambat, yang artinya membuat pekerjaan Bianca semakin menumpuk di laboratorium saja.   “Ya pokoknya saya nggak mau. Kalo kamu nggak bisa ngambil darah saya, mendingan saya telepon dokter Adi ajalah. Saya mau diambil darahnya sama dia. Saya nggak mau sama kalian.”   Hati Bianca langsung mencelos. Kredibilitasnya sebagai ATLM di rumah sakit ini selama bertahun-tahun dipatahkan oleh Bapak Pranadipa yang katanya sudah sangat dewasa tapi nyatanya sangat kekanakan.   “Bapak Pranadipa, ini bukan karena saya nggak berkompeten di pekerjaan saya. Sama sekali bukan. Tapi masalahnya saya punya tanggung jawab untuk ngasih pengalaman ke anak magang di sebelah saya. Apa yang bakal mereka dapet kalo cuma ngeliat saya ambil darah? Nggak ada. Mereka nggak akan dapet ilmu apa pun.” Bianca menjawab dengan nada jengkel. Dan kejengkelannya semakin menjadi-jadi kala pria itu tidak mendengarnya sama sekali dan terus fokus pada iPhone versi terbarunya. Bianca mendengus.   “....”   “Bapak Pranadipa?”   “Udah, udah kamu diem aja. Tunggu di situ sampe dokter Adi dateng.”   Kalau tidak ingat sekarang tangannya memakai handscoon, Bianca pasti sudah menyugar rambutnya dengan frustasi. Dan untungnya sosok dokter Adi yang dielu-elukan pasiennya datang dengan tergopoh-gopoh. Tatapannya mengedar dengan panik.   “Kenapa? Kenapa? Jangan bikin panik.”   Padahal dia dan keponakannya yang bikin panik, gerutu Bianca dalam hati.   Bianca memutar bola matanya jengah. Dokter Adi adalah dokter yang berkompeten, tapi sayangnya cara bicaranya yang kadang terasa tidak serius suka membuat Bianca emosi luar biasa. Untung saja dia sudah tua jadi Bianca terjebak dalam keharusan untuk bersikap sopan. Dan bagaimana Bianca mengenalnya? Demi Tuhan, Bianca sudah bekerja di rumah sakit bertahun-tahun. Jangan kan staff tenaga medis, beberapa petugas kebersihan pun dia mengenalnya dengan baik.   “Heyyyy, Arbe! Udah lama kayaknya aku nggak ngeliat kamu. Apa kabar kamu? Pikirku kamu udah pindah kerja di RS lain,” tanya dokter Adi dengan menepuk bahu Bianca secara ringan. Khas kebapakan sekali.   Sementara itu Pranadipa Mahendra –atau yang kerap disapa Prana-  mengerutkan keningnya melihat interaksi dua orang tenaga medis di depannya. Dari interaksi itu sepertinya dokter Adi kenal dekat dengan staff medis yang tidak berkompeten itu.   “Om kenal dia?”   “Ya kenal lah. Siapa sih yang nggak kenal Arbe? Orang asli rumah sakit ini pasti kenal. Iya nggak, Be?”   Bianca mendengus mendengar nada centil dokter Adi. Dia memelototinya tanpa peduli kalau yang ada di depannya adalah salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini.   “Ini kenapa sih? Kok kamu nelpon Om kayak ada something serius aja. Kenapa? Kenapa?”   “Ini... aku pokoknya nggak mau diambil darah sama dia. Dia nggak kompeten. Aku nggak percaya.”   Bianca tercengang di balik maskernya. Pria sok dewasa itu benar-benar harus disiram dengan suspensi bakteri biar tahu rasa! Batin Bianca menatap horor ke arah pria itu. Dokter Adi yang mendengarnya pun tertawa kering. Dari ekspresi wajahnya dia menyayangkan kelakukan keponakannya yang seperti mengusili singa yang sedang tidur. Itu karena dia tidak tahu siapa Arbetiana Bianca yang sebenarnya.   “Udah, dok, ambil aja. Buruan, buruan. Kerjaan saya di lab banyak dan terhambat gara-gara pasien satu ini. Untung aja keponakan dokter, coba kalo bukan—”   “Kalo bukan memangnya kenapa? Kamu mau apa?” tantang Prana.   “Saya mau marah! Kenapa? Nggak boleh?!”   Prana terkejut karena mendapati respon staff tenaga medis yang ada di depannya. Dia benar-benar... Prana ingin marah, tapi kode tangan dokter Adi yang menyuruhnya diam membuatnya semakin gemas. Memangnya kenapa sih sampai dia harus diam? Siapa sih Arbe-Arbe ini?   “Kalem, kalem. Jangan emosi, Be. Kalo udah tenang, monggo diambil. Saya pegangin deh lengannya buat kamu,” kata dokter Adi yang berusaha membujuk Bianca yang mood-nya sudah hancur. “Keponakan saya ini emang agak takut kalo harus disuntik berkali-kali, jadi apa pun perkataannya nggak usah diambil hati.” Dokter Adi menambahkan yang membuat Prana bersungut-sungut. Harga dirinya terasa tersungkur ke tanah gara-gara sang Om membocorkan ketakutannya.   “Om ini apa-apaan sih? Aku nggak mau ya diambil dia atau anak magang itu. Masa dia ngelimpahin tugasnya ke anak magang. Kan nggak profesional banget.”   “....”   “Kemaren aja pas aku di UGD ada anak magang ngambil darah aku berkali-kali. Kan jengkelin. Udah sakit, tapi ketambahan sakitnya disuntik. Aku nggak mau ya ngerasain lagi. Udah Om ajalah yang ngambil.”   “Ssssttt, Prana!”   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Dan... BOOM! Bianca sudah tidak bisa menahannya lagi. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
115.0K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.1K
bc

OLIVIA

read
29.2K
bc

Just Friendship Marriage

read
507.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook