AB - PRIA SOK DEWASA (2)

1660 Words
  Happy Reading ^_^   ***   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Dan... BOOM! Bianca sudah tidak bisa menahannya lagi.   “Justru saya melakukan ini karena saya profesional, Bapak Pranadipa Mahendra. Pihak kampus membayar rumah sakit kami supaya anak didiknya bisa belajar di sini. Tujuannya apa? Ya supaya mereka bisa lebih familiar dengan suasana rumah sakit karena inilah bidang mereka nantinya. Karena adanya transaksi itu makanya kami sebisa mungkin akan mendidik mereka. Dan membiarkan mereka melakukan proses sampling adalah salah satunya.”   “....”   “Saya tahu kok kalo mereka memang pemula, tapi apa nggak bisa Bapak menghargai mereka dengan membiarkan mereka melakukan pengambilan darah? Nggak sampai satu jam kok. Bahkan lima menit pun nggak sampai. Dan setelah itu pun mereka nggak meminta pujian, malah mereka yang mengucapkan terima kasih. Kenapa? Ya karena Bapak sudah berbaik hati untuk membiarkan mereka belajar.”   “....”   “Lagian ya, Pak, untuk sampai di titik ini pun bagi mereka juga nggak mudah. Sebelum menerapkan ilmunya ke Bapak, mereka pun udah berlatih sebelumnya. Saya juga nggak akan membiarkan mereka ke pasien dalam keadaan otak yang bener-bener kosong. Ini adalah bentuk saya menghargai mereka sebagai pemula yang sedang belajar sekaligus menghargai Bapak yang juga sedang kesakitan.”   “...”   “Seorang profesional seperti saya pun diawali dari mereka yang pemula. Bahkan nanti kalo saya pensiun pun siapa lagi yang mau gantiin saya kalo bukan mereka? Jadi tolonglah, Pak, jangan meremehkan mereka sampai seperti itu.”   Prana terperangah –benar-benar terperangah karena tidak menyangka akan mendengar kalimat panjang penuh nasihat yang menohok. Sekarang dia merasa seperti orang paling jahat dalam ruangan ini. Dan yang lebih miris adalah dokter Adi yang notabene statusnya lebih tinggi hanya menunduk dalam-dalam mendengar keponakannya dimarahi oleh staff medis kurang ajar itu.   “Saya... saya tetep nggak mau!” kata Prana mencoba mempertahankan harga dirinya. Sudah kepalang malu, jadi dia tidak mau terlihat lemah hanya karena omelan perempuan yang tidak dia kenal itu. “kalo mereka gagal lagi gimana? Saya nggak mau pokoknya.”   “Kalo gagal lagi, saya sujud di bawah kaki Bapak sebagai bentuk permintaan maaf,”   Prana tercengang.   “.... karena dia anak didik saya, jadi saya yang bertanggungjawab atas semuanya. Ini adalah bentuk saya yang menghargai dia dan percaya kalo dia bisa. Nggak seperti Bapak yang sejak awal udah meremehkan dia.”   Bianca menatap laki-laki itu dengan tatapan membara. Untung saja emosinya keluar dalam bentuk nasihat yang menohok.   “Tapi yang lucu dari semua ini adalah... apa yang bakal Bapak lakuin kalo ternyata dia bisa ngambil darah Bapak dalam sekali tusuk? Bapak bisa sujud di bawah kaki dia untuk meminta maaf karena sudah meremehkan dia? Bisa nggak?”   Tantang Bianca yang membuat pria sok dewasa itu gelisah dalam duduknya. Berkali-kali Bianca juga melihat matanya yang mengedar karena tidak bisa menatap mata Bianca atau pun anak magangnya. Mungkinkah dia menyesal? Tidak mungkin. Laki-laki sok dewasa itu pasti merasa malu, bukannya menyesal.   “Bapak nggak bisa kan? Jadi tolong tutup mulut Bapak sekarang juga. Kerjaan saya banyak, jadi tolong jangan mempersulitnya.” Bianca mengakhiri kalimatnya dengan nada ketus.   “Udah, Be, ambil aja. Nggak usah peduliin dia. Anaknya emang tengil banget dia itu.”   Bianca tidak perlu izin dari dokter Adi untuk melakukannya karena sebelum itu dia sudah memberikan instruksi melalui gerak tangannya agar si anak magang mendekat. Dengan gerak kasar dia membantu persiapan pasien sampai proses plebotomi siap untuk dilakukan.   “Kamu bisa kan?” tanya Bianca yang dengan suara tegas ke anak magangnya. Dengan ragu-ragu dia mengangguk, tapi Bianca mengangguk dengan terus meyakinkan. “Tusuk sekarang.”   Bianca memerintahkan dengan menekan lengan pria sok dewasa itu kuat-kuat. Sementara itu di posisinya Prana tidak bisa berkutik. Dia terlalu malu dengan semua perkataan staff medis kasar yang sekarang menahan lengannya. Belum lagi dengan Om yang jelas-jelas tidak mendukungnya sama sekali. Harga dirinya benar-benar tidak tertolong.   Bianca menyeringai di balik maskernya kala melihat si anak magang –Chintya- berhasil melakukan plebotomi pada pasien sok dewasa itu dengan sekali tusukan. Ingin rasanya dia membuka maskernya sekarang juga dan menunjukkan senyum mengejeknya agar laki-laki itu malu karena sudah meremehkan mereka sebagai petugas medis. Tapi tentu saja tidak Bianca lakukan karena tidak ingin membuat suasana semakin menyebalkan. Dia hanya ingin segera pergi dan memulihkan harga dirinya yang sudah diinjak-injak oleh keponakan songong dokter Adi.   Tapi sebagai gantinya, Bianca memplester luka bekas tusukan dengan agak kasar. Memang kekanakan, tapi ini jauh lebih baik daripada Bianca memplester mulut si pasien yang jahat sekali. Dari posisinya, Bianca bisa mendengar kalau laki-laki itu meringis. Dalam hatinya dia mengejek pria yang sejak tadi mengagung-agungkan kedewasaannya ternyata hanyalah pria sok dewasa yang menjengkelkan. Untung orang sakit, coba kalo bukan, udah gue plester mulutnya yang sudah Bianca plester demi kemaslahatan umat, rutuk Bianca dalam hati dengan jengkel.   “Saya pergi dulu dokter Adi. Tolong keponakannya dijaga karena seminggu dari sekarang saya yang sampling di bagian VIP. Semoga dia cepat sembuh.”   ***   “Ya ampun, Dek, untung kamu tadi bisa! Coba kalo nggak, saya beneran sujud di bawah kaki dia! Harga diri saya –astaga, kepala saya pusing.”   Yup, heboh adalah sosok Arbetiana Bianca yang sebenarnya. Tapi memang jarang orang lain bisa melihat sisi ini. Bianca akan terlihat tenang dan tegas kala bersama orang yang sifatnya tidak terlalu dekat. Sedangkan dengan orang yang dekat? Tidak perlu ditanya lagi. Semua orang tahu betapa bobrok dan recehnya seorang Arbetiana Bianca.   “Iya, Kak, aku juga udah takut banget. Tapi untungnya bisa,” Chintya menghela napas pelan. “tapi aku tadi tremor*, Kak.” Tambahnya dengan nada lesu. Padahal sebelum-sebelumnya dia biasa saja. Mungkin ini efek sampling di bawah tekanan jadi gugupnya sampai membuat tangannya gemetar bahkan setelah semuanya berlalu.   “Nggak apa-apa, Dek. Bagus banget malahan. Orang songong kayak gitu memang harusnya disuntik pake gaya tremor. Biar sakitnya makin kerasa.” Bianca memberikan acungan jempol untuk menenangkan si anak magang yang sudah melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini.   Tapi meskipun begitu Chintya tidak begitu puas. Alih-alih senang, dia justru merasa bersalah. Ada perasaan tidak nyaman karena tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan sempurna.   “Untung aku besok nggak di VIP lagi, Kak. Aku nggak sanggup kalo harus ketemu orang itu lagi.”   “Kamu mah enak, Dek. Apa kabar sama aku yang masih harus stay di VIP sampe minggu depan? Semoga aja hari ini dia keluar deh. Ogah banget ketemu pasien kayak gitu. Bikin dongkol aja.” Bianca berujar dengan jengkel. “Sebenernya tuh nggak semua pasien VIP kayak Bapak itu sih, Dek. Kayak pasien pertama sama kedua yang humble banget bahkan terkesan mendukung kamu yang baru magang. Yah, intinya kembali ke orangnya sih. Kalo dia baik mah mau di VIP atau kelas tiga sekali pun ya bakal tetep sopan.”   “Bener banget, Kak. Pasien yang kayak gitu tuh yang bikin aku kadangan langsung down padahal belum apa-apa. Padahal pas di sampling bisa kok, ya walaupun venanya agak susah, tapi kan berhasil sekali tusuk.”   “Ya itu tadi... intinya kamu harus percaya diri, Dek. Dengan pasien yang agak kolot kayak gitu memang nggak gampang, tapi kan ini tugas kita. Dokter dia juga nggak akan ikut campur karena urusan lab ya tanggung jawab kita. Malah kita yang bakal disemprot kalo kita nyerah dan pergi gitu aja.”   Bianca menepuk bahu Chintya untuk menenangkan. Bagi Bianca ini adalah hal yang sangat biasa. Tapi tentu saja ini adalah hal baru untuk Chintya. Dalam hatinya pasti ada kekhawatiran bagaimana kalau nanti si pasien mempersulit dirinya di masa depan atau semuanya akan buruk karena ini. Tapi sekali lagi Bianca tekankan kalau semua hal buruk itu tidak akan terjadi. Bianca yang akan menjaminnya dengan segenap jiwa dan raganya. Lagipula yang mereka lakukan bukan hal yang mengarah ke hal-hal kriminal, pikir Bianca.   “Padahal dari tampangnya udah oke kan, Kak? Sayang banget sikapnya kurang bagus.”   “Dek, kamu masih terlalu kecil untuk memahami definisi ganteng yang sebenarnya.”   “....”   “Kamu inget slogan kita?” Bianca menaikkan alisnya. Tapi sebelum si anak magang menjawab, dia kembali menyahut dengan cepat. “Attitude nomor satu. Sedangkan cowok tadi nggak punya attitude sama sekali. Yang artinya dia sama sekali nggak ganteng untuk standar laboratorium kita. Paham?”   “Iya, si Bapak tadi emang nggak ganteng kalo mengikuti standar lab kita, Kak. Tapi di standar aku dia oke banget tahu. Dan seharusnya di mata Kakak dia juga oke sih. Tampangnya emang good looking banget kok.”   Chintya mengacungkan kedua jempolnya yang membuat Bianca tercengang. Duh gustiiiiii! Ingin rasanya dia menepuk jidat Chintya supaya si anak magang itu sadar kalau ganteng saja tidak cukup untuk dijadikan patokan kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang baik.   Note:   Laboratorium Mikrobiologi adalah laboratorium yang digunakan untuk pemeriksaan yang diagnosa penyakitnya berupa mikroba/bakteri. Tahu penyakit TB alias Tuberculosis? Itu ranah pemeriksaannya ya di laboratorium Mikrobiologi.   Respon: Semacam tanya jawab. Biasanya dilakukan agar mahasiswa magang lebih memahami dia tuh besok mau ngapain di lab yang bersangkutan, jadi nggak asal dateng kerja kayak robot. Beda tempat, beda penyebutan ya. Dan ini mengikuti kebiasaan pelafalan di tempat aku.   Sampel/ sample: Bahan pemeriksaan. Bisa darah, urin, dll.   Pus : Nanah   Sputum : Dahak. Biasanya utk pemeriksaan penyakit TBC.   Sampling : Proses pengambilan sampel darah. Biasanya dilakukan di laboratorium itu sendiri atau saat ATLM visiting ke masing-masing kamar rawat.   Media kultur : Bahan yang digunakan untuk penanaman sampel untuk pemeriksaan bakteri. Media terbagi jadi 2 yaitu media padat dan media cair. Yang padat itu kayak agar-agar, sedangkan yang cair ya kayak air. Tapi komposisi media itu kaya nutrisi jadi bakteri bakal tumbuh subur di situ yang akhirnya bisa diidentifikasi.   Inkubator : Alat untuk mengikubasi media, baik sebelum penanaman sampel maupun setelah penanaman sampel.   Reagen kit: Intinya semacam bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan tertentu. Misalkan pemeriksaan asam urat, glukosa, dll. Beda pemeriksaan laboratorium, beda juga reagen-reagennya.   Handscoon : Sarung tangan sekali pakai untuk tenaga medis.   TAT (Turn Around Time) : Semacam patokan waktu ATLM dalam memeriksa sampel. Untuk pemeriksaan biasa, waktu TAT-nya sekitar dua jam. Dan dalam dua jam, sampel tersebut harus selesai dan hasil udah dikeluarkan. Kalo nggak sesuai TAT, berarti hal tersebut akan jadi bahan evaluasi. Kok bisa tahu? Ya tahulah. Di rumah sakit besar rata-rata semuanya sudah terkoneksi pake komputer. Jadi kapan waktu sampel masuk dan selesai dikerjakan itu ada datanya. Duh panjang banget wkwkwk   Plebotomi : Proses pengambilan darah. Yah, kata lainnya sampling lah.   Vena : Salah satu pembuluh darah manusia yang umum untuk di sampling. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD