bc

Iridescent

book_age18+
82
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
badgirl
drama
sweet
bxg
heavy
city
coming of age
affair
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

KONTES MENULIS INNOVEL -- GIRL POWER

#kickassheroine

“Gugurkan saja.”

Bagai disambar petir di siang bolong. Perkataan laki-laki yang begitu ia cintai tidak sebanding dengan kebahagiaan yang baru ia rasakan beberapa jam lalu setelah memeriksa bahwa di dalam rahimnya telah tumbuh nyawa baru.

“Kamu gila? Dia harus tetap hidup. Kamu ayahnya.” Bisakah kamu menerima kenyataan bahwa anak yang bahkan diidam-idamkan, harus pergi begitu saja tanpa sempat hadir ke dunia?

“Tapi aku sudah punya anak dan istri.”

Perempuan itu tidak bisa diam saja. Matanya menatap nyalang ke arah Steve Johnson Agnibrata. Pria yang saat ini menempati angka pertama untuk ia hajar habis-habisan.

“Biar aku yang berbicara kepada istrimu.” Perempuan itu melenggang meninggalkan kamar mereka. Menutup pintu dengan kencang setelah diberi umpatan oleh laki-laki yang menjambak rambutnya sendiri.

“Kamu gila, Irish.”

-----------------------

Iridescent-2022-

chap-preview
Free preview
Satu
“Ibu, aku berangkat kuliah dulu, ya.” Jari-jari itu bergerak, memberikan bahasa isyarat kepada seorang perempuan yang sedang duduk dengan peralatan jahit sederhana di teras rumah. “Bu!” Karena tidak mendapatkan jawaban meski sekadar anggukan, Irish menepuk paha sang ibu untuk membuatnya menoleh. Berhasil, Almira menoleh kepada putrinya dan mengerutkan alis, pertanda perempuan itu tidak menangkap maksud yang diberikan Irish. Sang putri berdecak dan kembali menggerakkan jari-jarinya untuk berpamitan kepada ibunya. Almira hanya menganggukkan kepala. Irish tersenyum melihat respons singkat yang diberikan ibunya. Sebelum benar-benar membuka pagar, gadis itu mengeluarkan beberapa lembar uang dan meraih tangan sang ibu untuk menerimanya. “Untuk apa, ini?” Raut wajah Almira penuh tanya kepada Irish. Jari-jarinya bergerak cepat. Gadis itu memberikan senyum sayangnya dan mengatakan jika Almira boleh membeli apa saja yang diinginkan. Setelah itu, ia benar-benar meninggalkan rumah untuk berangkat menuntut ilmu. Tentu saja dengan mengecup kedua pipi Almira terlebih dahulu. Suara pagar tua yang suaranya cukup membuat tetangga di samping langsung menoleh ke arahnya saat membuka atau menutup pagar. Seperti saat ini, Ibu Rita menyapanya dengan senyuman. “Berangkat kerja?” Irish membalasnya dengan senyuman serupa, namun kemudian menggeleng. “Kuliah, Bu. Pamit, ya Bu.” “Iya, tenang aja, Mira kalo ada apa-apa suka ketuk pager kok.” Irish berterima kasih kepada wanita itu, karena masih mau peduli dengan ibunya di saat orang lain kebanyakan mencibir, dan tak jarang membicarakan hal yang sanggup membuatnya ingin mencabik mulut-mulut itu jika tidak memikirkan sang ibu kembali. Pernah beberapa kali ia mendapati sekumpulan ibu-ibu yang bergosip ria di hadapan Almira yang tidak tahu apa-apa dan malah ikut tertawa. Padahal mereka sedang mengolok-olok ibu tercintanya itu. Hanya karena Almira tidak bisa mendengar dan berbicara, tidak serta merta membuat orang lain boleh mengatakan hal-hal seperti itu kepada satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Seperti saat ini, saat dirinya melewati gang depan. Ada beberapa orang yang entah sedang membicarakan apa, yang jelas setelah salah satu dari mereka melihat ke arahnya, mulut-mulut yang bercakap itu langsung diam seribu bahasa. Mereka menatapnya, memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki. Siapa yang bisa merasa baik-baik saja jika diperhatikan dengan tatapan yang tidak jelas alasannya? Irish adalah salah satu orang seperti itu. Dia tersenyum manis dan merunduk sedikit saat melewati sekumpulan ibu-ibu itu. Seolah baik-baik saja, padahal di dalam d**a, gemuruh perang sudah siap ia kibarkan. “Irish ini yang tadi malem pulang dianter mobil sedan item, ya?” Langkahnya terhenti. Mengambil napas, untuk kemudian berbalik menatap satu orang wanita yang ia yakini usianya berada di atas empat puluh. Namun mulutnya masih bisa membual akan hal-hal yang sanggup membuat para warga memandang rendah kehidupannya. “Iya, jam sebelas.” Akibat perkataannya, semua mata yang memandangnya kini memberikan tatapan kaget bukan main. “Dianterin bos tempat kerja, nggak sendirian kok. Ada temen-temen saya juga di dalem mobil.” Helaan napas lega mulai terdengar. Namun tetap saja, ada mata yang tidak mau mempercayai ucapannya. “Kerja apa, ya kalo boleh tahu? Kok pulangnya sampe selarut itu, sih.” Ada tawa pelan di akhir kalimat yang diberikan seorang wanita yang sama. Mungkin untuk sekadar bercanda, tapi Irish yakin, jika pertanyaan itu hanyalah untuk memantik api lebih besar di sana. Menggiring opini untuk membuat orang lain memandang seorang anak yatim sepertinya menghidupi keluarga dengan uang haram. “Bukan jual diri, kok Bu.” Suara terkesiap dari beberapa orang terdengar. Irish menandakan jika hal itu sekadar basa basi saja karena sebelumnya mereka memang memikirkan hal itu di kepalanya. Irish tidak begitu mengetahui nama-nama orang yang ada di sana, tapi ia cukup tahu jika wanita yang selalu mengurusi hidup orang lain, termasuk dirinya itu bernama Ibu Werni. Wanita bermulut ular yang sangat ingin ia cabik menggunakan pisau. “Ehehe, kita nggak mikir ke sana kok, Irish. Kok kamu bilang kayak gitu, sih.” Tangannya menepuk pundak Irish. Membuat gadis itu tersenyum simpul. “Nggak papa Bu, saya cuma meluruskan saja kalau-kalau ada dari salah satu ibu-ibu di sini berpikir ke sana.” Matanya tidak menatap ke arah lain selain Bu Werni. Membuat wanita itu tertawa gusar menatap sekitar. Tidak lama berselang, seorang perempuan dengan rambut berantakan dan mata memerah berjalan melewati mereka. Berjalan dengan kaki sempoyongan yang berusaha tegap, hingga cara berjalannya terkesan aneh. Tanpa menyapa atau mengatakan satu patah kata pun untuk melewati orang yang lebih tua darinya di sana. “Eh, itu Wina kan, Bu Wer?” Tangan yang sedari tadi masih berada di pundak Irish itu terlepas. Werni menatap semua orang yang ada dengan senyum masam. Bolak balik melihat ke arah perempuan yang baru saja melewati mereka. Itu anak semata wayangnya. “Dari mana jam segini? Keliatannya abis main, ya? Bajunya juga acak-acakan.” Werni merapikan rambut ikalnya ke belakang telinga. Menatap gusar kepada ibu-ibu di sana dan langsung pamit tanpa menjelaskan apa pun lagi terkait sang putri yang sudah berjalan ke arah sana. Senyuman licik terbit di bibir Irish. “Oh, Wina. Itu kemarin waktu saya pulang kerja malem, dia lagi di pinggir jalan deh. Ketemuan sama cowok pake motor. Pake baju terbuka, nggak kayak barusan. Ya ..., meski baju barusan juga nggak bisa dibilang rapi, ya. Ibu-ibu liat nggak matanya? Kayak orang yang abis ..., ekhem mabok, ya.” Ucapan Irish membuat ibu-ibu itu menatapnya dengan penuh keingintahuan. Biasa, telinga-telinga yang butuh asupan gosip untuk dibagikan kepada tetangga yang masih beberes di rumah. Siapa juga yang berkumpul membahas kehidupan orang lain sepagi ini? “Terus, gimana lagi Rish? Bu Werni tuh, ya bisa aja ngomongin anak orang lain. Begini lah, begitu lah. Tapi anaknya sendiri malah kayak gitu.” Semua mata menanti kalimat selanjutnya. Namun Irish hanya tersenyum saja menanggapi semua mata-mata lapat yang menatapnya penuh minta itu. “Maaf, Bu ibu. Saya mau berangkat kuliah dulu, ya. Nggak punya banyak waktu kayak kalian yang sepagi ini sudah bisa nongkrong cantik kayak gini. Permisi.” Senyum manis itu langsung luntur ketika tubuhnya berbalik. Berganti delikan mata yang sangat tajam. Bibirnya meludah ke samping. Ia yakin, orang-orang di belakang sana menatap penuh jengkel kepadanya. Namun itu tidak masalah. Ia hidup bukan untuk terlihat baik di mata orang lain. Ia hidup hanya untuk bertahan. Tidak pernah peduli pada anggapan yang tidak-tidak kepada dirinya. Namun jika hal itu sudah keterlaluan, jelas saja ia manusia yang masih punya perasaan marah dan jengkel. Ah, satu lagi. Ia juga masih berada di dalam kategori perempuan yang tidak mau ditindas begitu saja. Jika ada celah melawan, ia tidak akan segan untuk memperlihatkan keberaniannya.              ***  “Elo mau tambah kerjaan, nggak? Lumayan loh, mana ini fleksibel banget waktunya. Bisa dikerjain kapan aja. Malem juga bisa. Yang penting elo kuat.”  Irish memandang Jeni dengan penuh minat. “Apa? Kerja apa?” “Tapi elo jangan tersinggung, ya. Soalnya ini kerjaan bukan hal yang biasa buat kita.” Raut wajah Irish langsung mengerut, tahu ke mana arah pembicaraan ini. Teman-temannya memang memiliki pengalaman luas dibanding dirinya. Tentu saja, mereka pergi kuliah hanya untuk belajar. Selebihnya, mereka lebih senang menghabiskan waktu untuk main. Tidak ada tanggungan yang harus mereka penuhi setiap harinya. Berbeda dengan dirinya yang harus memutar otak, mencari tahu bagaimana caranya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan esok hari. Untuk membayar listrik, membeli gas, belum membayar uang semester. Kehidupannya sungguh berbanding terbalik dengan mahasiswa lain. “Nggak deh, kalo kerja di tempat kayak gitu.” Jeni langsung memukul tulang kering Irish di bawah sana karena saat ini mereka sedang makan di kantin. Mata kuliah untuk hari ini baru saja berakhir. “Tempat kayak gitu gimana, maksud lo? Orang gue belum ngomong apa-apa, juga.” Jeni memberengutkan wajahnya. Memandang Irish dengan mata yang sedikit memicing, merasa terpojok dengan kalimat yang dikatakan gadis berambut sebahu itu. “Ya kan elo kalo nawarin kerjaan, kallo nggak di club, ya jadi pacar sewaan aki-aki, kan? Jelas aja gue enggak mau.” “Hush, bukan aki-aki. Tapi, pria dewasa yang lebih menggoda, dari pada anak muda yang nggak ada kerja. Iya sih, muka mereka lebih keriput dari pada si Devan Kece Badai itu. tapi urusan perhatian, Rish ..., elo nggak akan pernah tahu gimana mereka ngetreat perempuan manis imut lucu kayak gue sebaik apa. Di umur kayak mereka tuh, ternyata banyak yang kurang kasih sayang, ya. Jadi kasian, tapi enak sih. Mau apa aja dibeliin. Aw, emangnya elo enggak tertarik?” Irish tidak mau menjawab pertanyaan yang sudah terlalu sering Jeni tanyakan kepadanya itu. Rasanya tidak perlu ia jawab, jika jawabannya akan selalu sama dengan yang sudah-sudah. “Bukan, bukan kerjaan ‘enak’ kayak gitu kali ini.” “Terus apa?” Meski begitu, kepalanya tidak bisa membiarkan sebuah kesempatan hilang begitu saja. Sebuah kata pekerjaan, adalah hal yang harus ia dapatkan jika memungkinkan. Sebelum menjawab, Jeni menyeruput terlebih dahulu mie pangsitnya yang sudah sedikit dingin karena sedari tadi, yang dilakukan gadis itu hanyalah menggulir layar gawai. Entah melakukan apa di sana, yang jelas gadis itu tersenyum kecil dengan gemas. Irish sampai bergidik ngeri melihat temannya yang satu itu. “Jadi pembokat.” Jeni menggeser mangkuknya untuk lebih serius membicarakan hal ini dengan Irish. Gadis yang sedari tadi membaca buku di saat orang lain menghabiskan waktunya di kantin ini untuk makan atau sekadar mengobrol dan tertawa bersama temannya yang lain. “Elo cukup bersihin rumah doang, nggak masak nggak papa, cukup beres-beres rumah doang. Ya kalo elo mau, sih itu ju-“ “Gajinya berapa?” “Ga.” Jeni tersenyum menggoda saat Irish menanyakan hal itu tanpa meliriknya sama sekali. Karena ia tahu jika temannya itu sangat tertarik dengan hal-hal seperti ini. “Masalah gaji bisa diatur nanti. Soalnya ini penginapan punya nyokap.” “Di mana?” Kali ini Irish mengalihkan pandangannya dari buku yang berisi huruf-huruf yang tidak dimengerti Jeni itu. Sebuah buku terjemahan yang banyak sekali kata-kata membingungkan. Otaknya tidak dapat mencerna itu semua. Mata kuliah saja banyak yang tidak ia pahami. Banyak kelas yang ia lewati. “Tempat yang baru itu. Yang kemarin gue cerita, loh.” “Berapa menit kalo dari rumah gue?” Mata Jeni menatap ke atas, seolah sedang mengira berapa jarak yang akan ditempuh Irish dari rumah ke tempat penginapan itu. “Tiga puluh menit ada, kali ya.” “Gue pikirin dulu. Tapi jangan tawarin ke yang lain sampe gue mutusin.” Jeni menyatukan jari telunjuk dan jempolnya, membentuk bulatan kecil. “Okey, tenang.” ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook