Dua

1429 Words
Sore ini adalah waktu yang menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi Irish. Menyenangkan karena sebentar lagi jam kerjanya selesai, dan menyebalkan karena saat ini masih ada beberapa anak yang masih mengerumuninya, menjerit senang dan tak jarang menubruk tubuhnya dengan kekuatan yang tidak bisa dikatakan pelan.   “Joget, joget, joget.”   Tepukan tangan semangat langsung menyapa telinganya setelah satu anak berteriak ke arahnya yang mengenakan kostum beruang coklat yang sangat tebal. Di dalam sini serasa gladi resik berada di neraka. Panas tidak tertolong. Irish yakin jika memeras kausnya nanti, akan menghasilkan satu ember penuh keringatnya.   “Ayo joget, badut. Kayak gini.” Anak tadi mulai menggoyangkan pinggulnya di hadapan Irish dan anak-anak lain. Hal itu mengundang gelak tawa bagi semua yang melihat. Apakah gadis itu memiliki pilihan untuk menolak, bahkan saat tubuhnya sudah lelah bukan main seperti sekarang? Oh tentu saja tidak. Irish bertepuk tangan dengan riang dan mulai menggerakkan badannya mengikuti irama dari musik yang diputar di luar sana.   Taman bermain ini sudah mendekati waktu tutup. Seharusnya para pengunjung juga mulai bersiap meninggalkan tempat ini. Ke mana para orang tua, sehingga meninggalkan anak-anak mereka seperti ini? Bukannya mengajak mereka untuk segera pulang dan beristirahat. Karena itu adalah hal yang sangat diinginkan Irish sekarang. Tidur dan beristirahat dengan damai adalah keinginan terdalamnya untuk sekarang. Bayangkan saja, ia sudah mengenakan kostum ini dari empat jam yang lalu, di mana waktu itu matahari masih berada di atas kepala. Irish serasa menjadi adonan kue yang dipanggang di dalam oven. Kepalanya sudah berputar merasa pening bukan main.   Hingga pengumuman di speaker sana memberitahukan jika tempat hiburan ini akan segera ditutup dalam beberapa menit ke depan dan para pengunjung diharapkan untuk meninggalkan tempat dan memastikan jika barang bawaan mereka tidak ada yang tertinggal. Termasuk anak-anak mereka yang saat ini sudah mulai membubarkan diri, dipanggil orang tua masing-masing.   Syukurlah. Irish bisa bernapas dengan lega saat dengan susah payah karena tenaganya yang mulai menipis mengangkat kepala beruang yang berat itu. Wah, gila. Berat sekali benda itu. Ia akan berterima kasih kepada kepalanya yang telah kuat menahan bobot seberat itu nanti di rumah dengan memberikan koyo di keningnya. Berharap dengan hal itu kepalanya bisa diajak bekerja sama untuk memasukkan materi pelajaran yang nanti malam harus ia pelajari lagi.   Dunia memang kejam. Lihatlah satu keluarga yang terlihat sangat bahagia itu. Mereka berjalan bergandengan menuju pintu keluar dengan senyum yang terpancar lebar dari bibirnya. Tidak lupa sang ayah yang rela mengenakan bando kartun tikus berwarna merah muda di kepalanya. Irish masih memperhatikan orang-orang di sekitar yang mulai meninggalkan tempat hiburan ini. Gadis itu duduk sendirian dan membiarkan angin menerbangkan rambutnya. Ia tidak berniat merapikan anak rambut yang nakal tertiup angin karena tangannya tidak bisa melakukan hal itu. Tangan beruang raksasa itu tidak memiliki jari untuk merapikan rambut acak-acakannya. Jangankan merapikan rambut, memegang sebotol minuman yang sedari tadi ia kantongi saja tidak bisa. Hal yang membuatnya menjerit kesal. Kerongkongannya sudah sangat mendambakan air, namun takdir berkehendak lain. Gadis malang itu hanya bisa membiarkan satu botol minuman isotonik dingin yang tadi diberikan salah satu pengunjung itu, suhunya menjadi normal kembali karena terlalu lama tersimpan di dalam kantung beruang di bagian depan. “Sini, saya bukakan.” Sebuah tangan mengenakan jam di sebelah kiri itu merebut minuman dari tangannya. Membuka botol itu dengan sekali putar. Tatapan Irish berpindah dari tangan, menuju wajah pria berjas rapi itu. Formal sekali pakaiannya hanya untuk menghadiri taman hiburan seperti ini. Aneh. “Perlu saya suapi juga?” Tidak. Irish mengalihkan pandangannya dari pria itu dan mengambil kembali botol minuman yang sudah terbuka itu. Tangan beruang ini masih sanggup digunakan untuk menopang sebuah botol. Jadi orang lain tidak perlu repot-repot, ia bisa sendiri. Irish kira, pria yang ditaksir berusia di atas tiga puluh tahun itu akan langsung pergi setelah membantunya membukakan botol minuman. Karena sudah tidak ada orang lain lagi di sini. Para pengunjung sudah memilih untuk meninggalkan tempat ini dan beberapa pegawai yang membersihkan sampah dan dedaunan yang jatuh juga sudah menyelesaikan tugas mereka. Sehingga yang tercipta sekarang hanyalah keheningan semata. Pria itu ikut duduk di sebelahnya. Memandang ke depan dan meneguk minuman soda kalengnya. “Tempat ini buka tiap hari?” Irish tidak akan menjawab jika saja ada orang lain di sini. Namun kenyataannya, tidak ada orang lain lagi selain dirinya. Jadi sudah jelas jika pria itu bertanya kepadanya. “Iya,” jawabnya singkat. “Setiap hari memang selalu ramai, atau setiap weekend seperti ini saja?” Pria itu kembali bertanya. Irish yang berniat untuk bangkit dan menuju ke ruang ganti untuk melepaskan kostumnya pun menjadi urung. “Ramai ketika weekend saja. Hari-hari biasanya tidak seramai ini.” “Oh,” kata pria itu kemudian. “Iya. Permisi, saya mau beres-beres dulu.” Pria berjas itu mengangguk pelan dan mempersilakan Irish untuk beranjak dari sana. Akhirnya, Irish bisa melepaskan kostum tebal nan berat itu dari tubuhnya. Ia mengeluarkan baju gantinya dari dalam tas dan menyimpan kostum beruang itu ke dalam lemari. Akhirnya ia bisa bernapas dengan bebas. Rasanya lega sekali. Saat keluar dari dalam gedung, Irish tidak menyangka jika hari sudah gelap. Beberapa lampu bahkan sudah dinyalakan. Tidak seperti pameran malam, lampu di taman hiburan ini hanya menyala di tempat-tempat tertentu saja. Namun itu tidak membuat Irish takut. Ada yang lebih menakutkan dari mendapati kenyataan jika tidak ada penerangan dan hanya kegelapan yang gadis itu dapati. Yaitu telat gajian. Rrgghh ..., itu adalah hal yang paling menakutkan yang pernah terjadi di hidup Irish. Saat kakinya melangkah keluar kawasan tempat makan, ada hal yang lebih mengejutkan dari pada gelap yang menyapa. Yaitu pria tadi yang masih berada di sana. Duduk di dekat tempat pembelian karcis. Sedang menyalakan sebatang roko dengan korek di satu tangannya. Irish mengamati dari samping. Bagaimana pria itu mengepulkan asap yang langsung menguar dengan udara. Kepalanya mendongkak dengan rambut berantakan yang terlihat begitu ... mendebarkan. Jas itu kini tersampir di pundaknya. Kemeja panjang itu juga tergulung hingga sikut. Celana kerja yang menyembunyikan kaki panjang dan sepatu hitam mengkilapnya. Astaga. Apa yang sedang ia pikirkan? Irish menggeleng-gelengkan kepala dan memilih untuk berbalik. Meneruskan langkahnya menuju rumah. Lagi pula, perutnya sudah berbunyi sedari tadi. Meminta diisi sesuatu untuk meredakan demonstrasi yang dilakukan cacing-cacing itu di dalam sana. Namun ada tangan yang menahan pundaknya. “Saya juga laper. Bisa tunjukkan tempat makan yang kamu rekomendasikan? Saya orang baru di sini soalnya.” Irish menoleh dan mendapati pria itu sudah berada di belakang badannya. Rokok yang tadi terselip di antara bibirnya sudah hilang entah ke mana. Entah bagaimana juga gadis itu bisa mengangguk pelan saat matanya menatap netra milik pria yang memberikan seutas senyum saat meminta sesuatu darinya, mencarikan tempat makan. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.” Seperti terhipnotis, Iris mengangguk begitu saja saat bahu tinggi di sebelahnya tidak sengaja bersinggungan dengan bahunya karena mereka berjalan bersisian. Di kepalanya saat ini, justru memikirkan perkataan Jeni beberapa hari lalu. “Enak, tahu jalan sama yang lebih dewasa tuh. Berasa diperhatiin, berasa dijadiin ratu.” Dan kali ini, pria asing itu menunggunya untuk naik ke dalam bus terlebih dahulu. Irish malah bengong dan menatap pria yang belum ia ketahui namanya itu. Tapi sebentar, untuk ia menanyakan sebuah nama jika setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi? Bukankah ini hanya kebetulan semata yang singkat? “Ayo cepat duduk.” Pria itu menarik bahunya untuk duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersedia. Semua orang berdiri. Jelas saja, ini adalah jam pulang kerja yang sangat biasa, tidak akan membuat heran lagi jika para pegawai berbondong-bondong keluar dari gedung kantor. Macetnya jalan di depan juga tidak begitu aneh. Semuanya adalah hal lumrah. Yang saat ini terasa aneh hanyalah perasaan berdegup yang ada di jantungnya, karena pria itu meletakkan tangannya di antara sandaran kursi, menjaga agar kepala Irish tidak terkantuk besi belakang. Harum yang tercium jelas saat pria itu semakin mendekatkan diri karena bus mulai penuh sesak. Irish berusaha menolehkan kepala untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Namun itu hanya sia-sia belaka jika satu penumpang di dekat jendela itu malah turun. Membuat pria itu menggeser duduknya untuk menduduki tempat yang baru saja ia tinggalkan. Hingga mereka duduk bersisian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali perasaan gadis itu yang mulai tidak menentu, terlebih saat pria di sampingnya menyampirkan jas menganggur itu ke atas pahanya. Untuk menghalau dingin, katanya. Irish hendak menolak dan mengatakan ia tidak papa, karena sudah biasa dengan perasaan dingin seperti ini. “Pakai saja, atau mau saya pakaikan di badan kamu?” Irish menggeleng dan lebih memilih diam, dengan jas wangi itu menutupi pahanya. Orang yang berdesakkan di sana tidak akan ada yang menyadari jika pria itu menyunggingkan sedikit senyumnya saat melihat tingkah Irish yang selalu mencoba memalingkan wajah ke luar sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD