Bab 2 Sekarang Aku Merasa Lima Tahun Lebih Muda

1904 Words
Hari masih sangat pagi. Awan-awan cerah sisa hujan semalam masih melayang di antara langit dan bumi. Burung-burung gereja terbang menyilang, melintasi siapapun yang ada di bawahnya. Pembawa berita, dalam segmen ramalan cuaca mengatakan kalau sepanjang hari ini akan jadi hari yang cerah. Di hari dengan cuaca yang menyilaukan ini, Bintang sudah mendapatkan begitu banyak penolakan. Dia sudah berusaha mengajak banyak temannya yang sedang tidak menangani kasus apapun untuk bergabung dengan timnya. Sayangnya dia selalu ditolak. Alasan demi alasan Bintang terima. Tapi satu hal yang dia tahu pasti, sembilan puluh tujuh koma lima persen dari setumpuk alasan itu hanya sebuah alasan. Tidak ada kebenaran yang bisa dipertanggung jawabkan dari semua itu. Karena Bintang tahu, dia sadar kalau kasus yang ia tangani kali ini jelas sangat berbeda dengan kasus-kasus lainnya. Sudah dua minggu berlalu sejak iklan pertama Andi terbit di koran Harian Rakyat Tegal. Koran ini sangat populer di kalangan masyarakat Tegal, dan merupakan salah satu koran yang paling laris penjualannya. Andi menulis kometarnya tentang Bintang di kolom iklam koran itu, atau lebih tepatnya disebut sindiran. Berita tentang Bintang yang berkelakuan buruk sudah menyebar ke berbagai sudut di Kota Tegal. Tentu saja tidak ada seorang pun yang mau terseret ke dalam lubang ini. "Itu sangat tidak mungkin dilakukan. Bekerja tanpa surat tugas, bahkan polisi sektor pun tak akan ada yang percaya." "Ya. Kenapa juga dia mau melaksanakan tugas tidak legal seperti itu?" "Tentu saja mau. Ini masalahnya. Namanya tertulis di berita di koran itu." "Benar. Dia mengajak orang lain untuk ikut menangani kasusnya. Dia bahkan mengajakku." "Kau menerimanya?" "Tentu saja tidak." "Ya, jangan sampai namamu ikut tercemar hanya karena hal sepele ini." Orang-orang mulai membicarakan kemalangan Bintang. Atau lebih tepatnya menambah parah kemalangan yang sudah ada. Seorang pria dewasa dengan kemeja biru langit memasuki kantor kerja. Wajah tampan pria itu tersenyum ceria. Namun senyum itu membeku saat mendengar desas-desus yang dari segerombol polisi. Dengan kaki rampingnya, pria itu menyelinap di antara gerombolan dan bertanya, "Siapa 'dia' yang kalian maksud?" Sekelompok polisi itu terkejut. Mereka tidak tahu ada orang yang menguping dan bahkan berani menanyakan identitas objek percakapan dengan keras. Apa orang ini bahkan tidak tahu mereka sedang bergosip? "Ah, Pak Dani. Itu... kami sedang membicarakan IPTU Bintang," jawab salah seorang polisi. "Bintang? IPTU muda itu?" "Ya. Seseorang mengomentarinya di koran. Orang itu bahkan menyebut Polres Tegal Kota tidak becus dalam bekerja. Pak Bayu menyuruhnya menyelesaikan kasus pencemaran nama baik ini secepatnya tanpa surat tugas," jelas polisi lain. "Tanpa surat tugas? Bagaimana bisa?" Dani mengerutkan keningnya keheranan. Seorang polisi tidak bisa melakukan apapun dalam suatu kasus tanpa surat tugas. Proses untuk surat tersebut pun terbilang cukup panjang. Jadi jika seorang polisi berusaha melakukan penyelidikan, penyidikan, atau operasi tanpa surat tugas maka dia akan dianggap melanggar perintah dan tindakannya ilegal.  Para polisi itu terdiam beberapa saat sebelum seorang di antara mereka menjawab dengan ambigu, "Kami juga kurang tahu. Bisa jadi Pak Bayu geram karena ulah Bintang, warga sipil sampai berani menghina aparat kepolisian." "Bukankah polisi memang sering dihujat? Apa masalahnya? Kenapa Pak Bayu begitu pendendam secara tiba-tiba?" Dani menyadari ada yang salah dengan perbincangan para penggosip ini. Polisi-polisi ini sangat jelas ingin menjatuhkan Bintang di depan Dani. Dani Hermansyah, pria blasteran berumur kepala tiga itu menduduki posisi yang cukup tinggi di Polres Tegal Kota. Bukan hal baru baginya melihat para polisi ini menjatuhkan satu sama lain sementara menyanjung diri sendiri. Dia juga sering melihat tipe orang yang benar-benar peduli dengan pangkatnya sampai-sampai berusaha menyogoknya agar mendapat promosi. Dani sudah mendengar banyak kisah heroik polisi yang cepat panjat hierarki, termasuk Bintang. Tapi dia belum pernah mendengar Bintang berbicara omong kosong apalagi memohon padanya atau pada petinggi lain. Rasa penasaran mulai memenuhi pikiran Dani. Dia merasa tertarik untuk menjadi dekat dengan "bintang" yang satu ini. Dani mengerling, memandang Bintang yang tengah duduk di kursinya sambil menyangga kepala dengan telapak tangan. Alisnya menyatu. Matanya antara fokus dan kosong, memandang lurus ke permukaan meja. Dari jarak tertentu, orang-orang bisa merasakan kepenatan yang Bintang rasakan. Dani mengambil inisiatif dan mengajak Bintang mengobrol. "Siang," sapa Dani. Sapaan pertama hari ini, seperti sebuah keajaiban dalam hidup Bintang. Kepalanya segera mendongak. Dia tersenyum sembari menyapa balik, "Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" "Hm... apa yang kau pikirkan? Wajahmu sangat suram dan aura gelap keluar dari setiap pori tubuhmu. Itu sangat menganggu pekerjaan orang lain." Dani menyatukan jarinya dan menyentuh dagu, pura-pura berpikir keras. Meskipun kalimatnya sebenarnya agak menyakitkan, karena diucapkan dengan nada bersahabat maka tidak ada rasa tidak nyaman sama sekali di telinga Bintang. "Ah, ini. Saya mendapat tugas untuk menyelesaikan kasus. Jadi saya sedang bingung akan mengajak siapa lagi untuk membentuk tim penyelidikam." "Membentuk tim? Apa anggota tim tidak disertakan di surat tugas? Kenapa tidak minta disusunkan humas saja?" Dani memilih untuk berpura-pura tidak tahu tentang keadaan Bintang. Dia ingin mengukur selayak apa Bintang untuk mendapat uluran tangannya. "Itu... Pak Bayu tidak akan menurunkan surat tugas. Saya diminta untuk membentuk tim sendiri." Sebenarnya Bintang merasa tidak nyaman untuk mengatakan segalanya secara langsung. Alasannya, tentu saja karena dia sadar diri. Hal-hal yang menimpanya akhir-akhir ini seperti aib publik. Tidak mungkin untuk mencegah perluasan penyebarannya. Jadi mendengar seseorang mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang masalahnya adalah bohong. Pria di depannya benar-benar penuh omong kosong. Dani mengangguk-angguk paham. "Lalu, sudah berapa banyak yang bergabung?" "Sejauh ini tidak ada. Baru saya satu-satunya." Entah kenapa Dani merasa sedikit kesal. Barusan dia mendengar sekumpulan polisi bergosip. Itu berarti mereka sedang lengang. Begitu banyak polisi yang sedang tidak bertugas dan Bintang belum mendapatkan satu pun anggota. Sesuatu harus diperbaiki dari dalam. Dani seketika meneriakkan sebuah tekad di dalam hatinya. Pria jangkung itu memikirkan beberapa solusi. Dan sebenarnya dia ingin melibatkan dirinya sendiri untuk menangani kasus Bintang. Tapi niatnya terpaksa diurung ketika melihat sebuah map yang penuh dengan kertas di tangan kanannya. Ada kasus lain yang butuh untuk ia selesaikan secepatnya. Saat itu layar ponsel Bintang menyala. Di Polres Tegal Kota, saat jam kerja tak seorang pun diizinkan menyalakan notifikasi ponselnya. Kebanyakan akan mengubahnya ke mode dengung atau mute untuk mematuhi peraturan sekaligus menghindari ketertinggalan bila ada notifikasi yang penting. Dan Bintang menggunakan mode mute pada ponselnya sehingga saat sebuah pesan masuk layar ponsel itu hanya akan menyala. Bintang mengambil ponselnya dan membuka pesan. Hal ini membuat otak Dani terisi oleh sebuah ide. Semalam seorang polisi senior mengirim data anggota polisi baru. Pada data itu disematkan sebuah link khusus yang hanya bisa dilihat oleh warga Polres Tegal Kota. Dani membuka link tersebut dan mengetahui kalau isinya adalah data diri, termasuk latar belakang dan riwayat hidup para polisi baru serta tugas pertama mereka. Hanya saja, satu di antara sekian banyak anggota baru tidak mendapatkan tugas dasar hari ini. Seorang polisi baru harus menyelesaikan setidaknya satu tugas dasar setelah diresmikan keanggotaannya. Tugas dasar bisa berupa kasus-kasus kecil seperti pencurian, penipuan, dan semacamnya. Setelah menyelesaikan tugas dasar dengan baik, polisi baru akan mendapatkan meja kerja individu. Jika belum berhasil, mereka harus mengulang kasus lain. Mungkin keberuntungan belum datang pada seorang polisi baru bernama Yogi. Dia menjadi satu-satunya orang yang tidak kebagian tugas dasar. Sepertinya Kota Tegal sangat damai akhir-akhir ini. Menghadap Bintang yang masih membaca pesan di ponselnya, Dani memberikan saran, "Bagaimana kalau mengajak anak baru? Aku melihatnya belum mendapatkan tugas dasar sampai hari ini. Mungkin dia bisa membantu." Kepala Bintang yang hampir pecah mendongak. Dia tidak tahu sejak kapan Polres Tegal Kota kekurangan tugas dasar. Tapi ia mengakui ide seniornya ini bagus juga. Hatinya merasa hangat dan tersentuh oleh bantuan Dani. "Sungguh? Tapi apa boleh anak baru mengurusi kasus ini? Tanpa surat tugas. Kasus ini tidak bisa dijadikan pengganti tugas dasar." Sekali lagi Bintang sadar diri. Meskipun dia bahagia dan ingin mengambil saran Dani secepatnya, dia tidak ingin ada orang lain yang dirugikan sekecil apapun karena masalahnya sendiri. Sekalipun bukan dia yang salah. "Kalaupun tidak bisa, setidaknya dia mendapat pengalaman dari masa vakumnya. Dari pada hanya jadi pesuruh di sini. Bukankah kau juga merasa prihatin dengan keadaannya?" Dani membesarkan matanya. Bukan karena dia memelas agar sarannya diterima. Bukan. Dia hanya ingin menyumbangkan pemikirannya tentang betapa mengenaskannya kisah hidup polisi baru yang belum mendapat tugas dasar atau bisa disebut vakum. Diam-diam berharap Bintang juga setuju. Sesuai dugaan Dani, Bintang mengangguk pelan setelah berpikir sejenak. "Baiklah. Saya akan mencoba mengajaknya. Terima kasih banyak, Pak. Saya akan mengingat kebaikan Bapak selamanya." Seketika tawa meledak dari Dani. Dia tertawa terbahak-bahak dan tak ada seorang pun di ruangan itu yang tahu penyebabnya. Termasuk Bintang yang sedari tadi mengobrol dengannya. "Hahaha... selamanya? Itu terlalu lama! Ayolah, kita bukan anak TK lagi yang akan mengatakan kata-kata manis untuk menghibur orang lain. Tidak perlu sungkan! Sungguh! Haha...." Dani terus tertawa dan tertawa. Bintang mengangkap maksud Dani tapi dia tetap merasa sangsi. "Ah, maafkan saya, Pak." Pipi Bintang bersemu merah karena malu. Bagaimana tidak. Dani menertawainya dan mengungkapkan pikirannya dengan lantang! Bintang tidak kesal. Dia hanya menanamkan pada otaknya untuk mengolah kata-kata lebih cermat sebelum memuntahkannya begitu saja. Dia hanya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus pada Dani. Bukan berarti dia berjanji untuk membalasnya atau menjadikannya hutang budi atau apapun. Tapi karena respons Dani yang berlebihan, dia sedikit merasa bersalah. "Jangan panggil 'pak'! Usia kita tidak terlalu jauh, 'kan? Jangan menuakanku begitu saja." Dani masih tertawa sambil memegangi perutnya yang sakit. "Tapi..." Bintang melirik name tag Dani sebelum melanjutkan, "Usia kita terpaut lebih dari lima tahun, Pak." Dani membisu. Dia lupa kalau orang di depannya ini hanya wajah dan kepribadiannya saja yang dewasa. Dia masihlah seorang ABG! "Oh, benar. Kau benar. Benar juga. Hm...." Dani kembali ke pose berpikirnya. "Tapi kau tahu, jiwa mudaku menggelora sepanjang masa. Aku sangat muda meskipun umurku tidak begitu. Percayalah! Panggil saja aku dengan nama dan buat aku bahagia dengan merasa sedikit lebih muda. Hahaha!" Bintang sedikit memiringkan kepalanya. Dia tidak pernah berbicara santai dengan orang ini. Saat ada kesempatan untuk berbincang, semua topiknya adalah pekerjaan. Dan Bintang memang bukan tipe yang banyak bicara. Dia hanya membuka suaranya untuk hal yang benar-benar penting. Dia juga tidak suka mencampurkan masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Apapun masalah yang ia miliki, punya masalah dalam hidup adalah satu hal. Dan punya pekerjaan yang harus diselesaikan adalah hal lain. Dengan sedikit ragu, tidak. Banyak keraguan, Bintang memanggil Dani tanpa embel-embel "pak." "Dani...?" Keraguan jelas terlukis di suaranya, tapi Dani bahkan tidak berhenti tertawa. "Ya! Ya! Sekarang aku merasa lima tahun lebih muda! Hahahaha!" Dani seperti hantu. Atau asap. Dia datang tanpa diketahui, tapi efeknya cukup besar. Kemudian pergi begitu saja. Bintang ingin menemui polisi senior yang menangani anak baru. Letak kantornya berada di gedung lain. Jadi dia membutuhkan waktu setidaknya lima menit untuk sampai di sana. Di ruangan yang besar itu Bintang melihat seorang pemuda mondar-mandir dengan setumpuk berkas. Memberi salam kepada siapapun yang sudah berseragam cokelat dengan perut buncit mereka. Bintang melihatnya, namun segera mengalihkan pandangannya pada seorang polisi berkumis tebal yang tengah tertawa terbahak-bahak. "Permisi. Pak Budi, saya ingin mengajukan permintaan." Sejak pertama kali Bintang menjadi bagian dari Polres Tegal Kota, dia dicap sebagai orang yang tak tahu sopan santun berkali-kali. Alasannya mudah. Dia tidak suka basa-basi dan banyak dari seniornya yang tersinggung. Tak terkecuali seniornya yang satu ini. Tapi seiring berjalannya waktu, para polisi itu terlalu sibuk dan mulai mengesampingkan kebiasaan buruk Bintang. Dan mereka akhirnya menyadari kelebihan Bintang yang sangat serius soal pekerjaan. "Oh, IPTU Bintang rupanya. Ada apa? Apa yang bisa polisi ini bantu?" Suasana hati pria berkumis itu sedang baik. Dia menanggapi Bintang dengan senyuman. Tapi sungguh, bukan berarti dia adalah orang yang ramah. Bintang kena semprot orang ini lebih dari tiga kali saat masih baru di Polres Tegal Kota. Dan sejujurnya dia masih sedikit trauma. Menarik napas dalam, Bintang mempersiapkan dirinya untuk kejutan. "Saya ingin meminta Bripda Yogi untuk bergabung dengan tim penyelidikan saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD