Bab 1.2 : Serupa Tapi Tak Sama

1253 Words
Pernah lihat sesuatu yang mirip, tapi eh ... ternyata bukan. Jangan lieur, yak. Hidup emang ribet, tapi kita harus tetap hidup. SEMANGAT! - kevriawan, 2020 = = = = = = = = = = = = = = = = = Bab 1 : Serupa Tapi Tak Sama    Beralih ke case lainnya, gue juga pernah melihat sendiri kalau guru - guru di sekolah melakukan diskriminasi. Padahal bukankah seharusnya mereka menjadi sosok yang paling adil, enggak membedakan murid - muridnya, juga enggak berat sebelah. Kenyataannya enggak begitu. Tapi guru juga manusia, apalagi gurunya perempuan, yaudah pasti ambyar. Biasanya makhluk betina memang cenderung lebih menyukai anak yang manis dan penurut. Sementara yang nakal? Ya bye bye.  Padahal … lo enggak pernah tahu apa yang ada dibalik sosok anak yang nakal itu. “Dek, kenapa kamu bikin temanmu nyungsep?”  Suatu kali gue bertanya pada anak - anak kelas satu SD yang baru selesai bertengkar. Adu mulut dan cekcok itu berakhir dengan salah satu pihak sebagai korban, dia didorong sampai nyungsep ke semak - semak. Teman - temannya mengerubungi pihak yang nyungsep. Lututnya berdarah dan dia menangis dengan sangat kencang. Sementara si pelaku terdiam, enggak tahu harus bagaimana dan cuma menatap ke arah anak yang menangis itu sambil menunduk. Tak lama kemudian Ibu Guru datang. SI Ibu memeriksa korban yang terjatuh dan lututnya berdarah, dia lantas menyuruh anak - anak lainnya membantu membawa korban ke UKS. “Kamu kenapa nakal banget, sih, jadi anak!” Wow, Ibu Gurunya membentak. Santuy, dong Bu. Gue lihat anak itu menunduk, dia enggak mengatakan apa - apa. “Seharusnya kamu enggak mendorong temanmu, loh, Nak. Itu perbuatan yang tidak baik. Kamu sudah SD, lho, bukan di TK lagi. Kan sudah besar!” Anjay lah ini guru. Anak baru kelas satu SD dibilang sudah besar. Suka keterlaluan gitu kadang. Gue miris. Bagaimana mungkin anak kelas satu SD disamakan dengan beliau yang memang sudah dewasa? Mungkin anak itu pun enggak paham apa yang barusan dia lakukan. Mungkin itu cuma kecelakaan antar anak - anak. Tapi kenapa beliau enggak mau mengerti itu? Wahai para guru, tolong bersikap lembut lah pada kami. Karena kami memang masih kecil, masih butuh bimbingan dan masih harus dididik dengan penuh kasih sayang. “Kamu harus minta maaf sama temanmu, ya, Nak!” Si Ibu guru melanjutkan ucapannya sebelum pergi. “Lari keliling lapangan tiga kali!” Bocah itu belum menjawab pertanyaan gue dan langsung berlari keliling lapangan seperti yang diperintah gurunya. Sementara Gue cuma melihat dengan tiada minat. Si Ibu guru langsung terlihat puas setelah si anak menjalankan hukumannya lalu pergi begitu saja. Tersisa gue yang bagai kambing congek. Padahal waktu itu gue ke sekolahan SD untuk membantu para tetangga mendaftarkan anaknya, mereka enggak paham komputer dan gue dengan baik hati menawarkan diri untuk membantu. Setelah berlari mengelilingi lapangan tiga kali, gue menghampiri bocah yang dihukum tadi, menyodorkan segelas ale - ale rasa jeruk yang biasanya disukai bocah SD. “Memangnya kamu salah, Dek?” Gue bertanya lagi padanya, “kok mau - maunya dihukum?” “Bukan gitu, Bang.” Gue mengerutkan kening, “Terus? Kamu salah, memangnya?” Dia menggeleng. “Nanti Bu Guru bilang ke Mama kalau aku nakal.” “Loh, tapi kan kamu enggak salah.” “Ya, tapi kan Mama percayanya sama Bu Guru.” Gue mengerutkan kening, ya benar juga sih apa yang dibilang bocah ini. Orang tua zaman now sering kali cenderung lebih mempercayai guru tanpa mendengar penjelasan anaknya sendiri. Padahal Bu Guru tadi juga sama sekali enggak tanya alasan anak ini mendorong temannya sampai nyungsep. Dengan kata lain, dia hanya melihat dari satu sisi saja.  “Emang kenapa kamu dorong dia?” “Dia itu resek, Bang. Masa dia suruh anak - anak jangan temanin aku!” WTF … dunia anak SD zaman now sudah sekeras ini persaingannya. Masih kelas satu udah maen kubu - kubuan. Emejing! “Kok bisa gitu? “Enggak tau, katanya aku pelit. Gak mau bagi bekal, gak mau bagi jajan, gak mau kasih liat PR.” Tuh, kan, apa gue bilang … belum tentu bocah yang kelihatan barbar ini bersalah. Buktinya dia cuma korban, kan? Kenapa juga semua orang bertingkah seolah dia adalah anak yang nakal. Padahal dia cuma mencoba membela diri. Singkat cerita, anak itu kemudian berlari masuk ke dalam ruang kelas. Tersisa gue yang malah kepikiran tentang betapa dunia ini memang benar - benar kejam. Dalam dua puluh empat jam, bumi berotasi mengelilingi matahari. Dalam waktu yang sempit dan berganti setiap hari itu juga akan terjadi banyak banget penyimpangan dan hal - hal yang begitu enggak adil di dunia ini. Sebenarnya apa esensi dari keberadaan kita semua di sini? Mengapa begitu banyak pertanyaan enggak bisa terjawab, padahal gue tahu kalau hal - hal itu bukan sesuatu yang sulit banget. Sesederhana si bapak security bisa memperlakukan semua pengunjung pusat perbelanjaan dengan sama rata. Sesimpel kalau bu guru tadi bisa lebih open minded, menanyakan dulu apa yang terjadi, apa yang menyebabkan anak itu mendorong temannya, dan juga mendengarkan lebih banyak keluhan anak - anak lainnya. Kenapa semua orang enggak memiliki kemampuan seperti itu, dan hanya berbaring nyaman dalam plasenta keegoisannya masing - masing? Sekali lagi, dunia ini memang enggak adil. Enggak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Enggak semua orang memiliki keberuntungan yang sama. Enggan semua orang memiliki jalan takdir yang sama. Dunia ini begitu enggak adil, sampai gue keheranan sendiri. Apa salah kami - kami yang kebetulan merasa berat bertahan dengan semua ini? “Woy!” Gue menoleh, dan mendapati Juki menghampiri. Cowok itu membawakan tas gue dan melemparnya pelan.  “Gue cariin kemana - mana, juga, Jon!” Juki mengeluh, kemudian dia mengambil tempat di sebelah gue. Membakar sebatang rokok lalu memberikannya ke gue. Iya, gengs, gue gagal bunuh diri kali ini. Begitu memikirkan rasa sakitnya tadi, gue benar - benar auto takut dan enggak jadi melompat. Lantai empat belas kaga sesederhana itu, woy! t*i gue salut sama para artis Koriya dan Jepang yang bisa dengan mudahnya melompat, menggantung diri, atau mengiris nadi. Mungkin, beban hidup mereka sudah begitu menghimpit, sampai - sampai rasa sakit itu jauh lebih mudah dilalui dari pada kejadian - kejadian menyakitkan yang akan menimpa mereka nanti.  “Tumben lo bolos, Jon?” Gue menoleh, menghisap nikotin yang berasal dari rokok yang dikasih Juki. Eh, iya … kalau dipikir - pikir … ini adalah kali pertama gue membolos mata kuliah. “Lo ada masalah, Jon?” Juki bertanya lagi, gue cuma menarik napas tapi sama sekali enggak menjawab pertanyaan kawan satu itu. “Namjon, lo harus ingat. Gue ada di sini buat lo.” Juki nyerocos lagi. “Gue, Jay, Jimmy, Bang Agus, dan yang lain enggak akan meninggalkan lo sendiri. Lo bisa cerita seandainya ada masalah, Jon.” “Gue … cuma lagi capek aja, Juk,” lirih gue pada akhirnya, “seolah gue mulai mempertanyakan seluruh esensi yang ada di muka bumi ini.” Giliran Juki yang memandang gue, tapi gue enggak tahu apa maksud dari tatapannya itu. Sebenarnya hidup gue juga enggak blangsak - blangsak amat. Gue emang bukan Ardi Bekrie, lakinya Nia Romadhonie yang tajir melintir dan punya segala - galanya. Gue juga bukan manusia cerdas, penuh cinta, kebijaksanaan dan maha sempurna macam Bill Gates, almarhum. Tapi sebenarnya hidup gue mungkin lebih baik dari pada kebanyakan orang diluar sana. Tapi … kenapa, ya, kok gue merasa ada yang kosong di dalam sini? Apa salah gue? Lo mau bilang gue kurang bersyukur? Mungkin iya. Tapi … gue juga cuma manusia biasa, kan? Kenapa gue enggak boleh merasa down, walau gue enggak tahu apa sebabnya? Apa dunia ini memang tempatnya orang - orang yang seperti gue dihakimi? “Jon …,” panggil Juki pelan, “happy b’day, ya.” * * * * * * *  to be continued  * * * * * * *       By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD