Bab 1.1 : Serupa Tapi Tak Sama

1115 Words
Pernah lihat sesuatu yang mirip, tapi eh ... ternyata bukan. Jangan lieur, yak. Hidup emang ribet, tapi kita harus tetap hidup. SEMANGAT! - kevriawan, 2020 = = = = = = = = = = = = = = = = = Bab 1 : Serupa Tapi Tak Sama      Angin bertiup semakin kencang. Memang sih, ini sudah sore. Lagi pula, sudah satu jam juga gue berdiri di atas atap ini. Maju mundur syantik, padahal niat awal gue mau bunuh diri. Gue tahu kalau sebenarnya tindakan ini salah. Menurut ajaran kepercayaan agama apapun, bunuh diri sangat tidak dianjurkan. Tapi, dengan kondisi seperti ini, gue jadi paham. Alasan kenapa banyak orang bisa dengan entengnya mengakhiri hidup mereka. Caranya beragam. Yang paling sering ya, lompat dari tempat tinggi, gantung diri, dan menghadang kereta lewat di rel. Itu salah tiga cara menyakitkan untuk mati. Setelah gue pikir - pikir, kayaknya gue akan mati dengan cara lain aja. Bunuh diri yang enggak ada rasa sakitnya tapi langsung tewas.     By the way ….      Kalian pernah enggak sih merasa dibedain pake banget. Maksud gue gini, misalnya kalian ada di suatu tempat gitu, tapi mendapat perlakuan yang bagai langit dan bumi. Anggap kalian adalah seorang anak kecil, usia baru lima tahun. Saat itu kalian sedang ada di salah satu pusat perbelanjaan atau mall. Entah gimana ceritanya kalian kehilangan jejak induk kalian. Alias hilang. Enggak jauh dari sana ada juga seorang anak yang sepertinya sama - sama nyasar. Saat itu gue masih lima tahun, dan gue ingat banget saat orang dewasa mulai melakukan diskriminasi.     Gue saat itu hanya mengenakan kaos, celana jeans tiga per empat, dan sepatu sandal. Yah, sebagai anak TK gue emang enggak lucu - lucu banget. Dari pada duduk di tempat ber-ac sambil main gadget, Emak lebih sering nyuruh gue maen bola ke lapangan sama anak tetangga. Lalu, kebetulan anak itu memang tampilannya eye catching banget. Pakaiannya rapi, kemeja anak - anak yang harganya selangit. Juga celana jeans dan sepatu yang tampak mahal juga. Ditambah doi kinclong banget, tipikal anak orang kaya.      Enggak berapa lama gue lihat dia menangis karena enggak menemukan sang mama. Begitu pula gue yang sejak tadi enggak bisa menebak yang mana Emak sendiri. Terlalu banyak orang, terlalu bising. Ditambah ada beberapa orang yang menyenggol gue tanpa perasaan. Padahal waktu itu gue cuma anak kecil, ya Lord. Gue merasa takut waktu itu, dan gue pun ikut menangis. Kami akhirnya lomba nangis sampai salah satu bapak - bapak security menghampiri … anak itu. Ya, kalian enggak salah baca. Bapak itu jelas melihat gue dan anak itu, but ya, in the end dia memilih untuk menghampiri anak itu.       Meskipun pada akhirnya bapak security itu juga menghampiri gue, tapi dia enggak bicara apa - apa. Beda dengan anak kaya yang ditanya, ditenangin, bahkan dikasih permen. Singkat cerita gue akhirnya bertemu Emak, sementara anak itu bertemu Mama, eh, bukan. Maminya.       “Makasih, ya, Pak. Anak saya memang aktif banget, jadi gampang lepas dari pengawasan.” Ibu - ibu kaya itu tersenyum ramah.      “Iya, sama - sama, Bu.” Si bapak membalas enggak kalah ramah. “Adek jangan lepas tangan Mami lagi, ya?”      Bocah kaya itu mengangguk, dan pak security memberikan dia permen lagi. Kemudian enggak lama kemudian bapak itu menghampiri Emak dan gue.      “Makasih, ya, Pak. Jono emang bandel, suka lari - lari sendiri.” kata Emak gue.      “Iya, Bu. Makanya kalau punya anak bandel dijaga yang bener, dong, Bu. Kan kalau hilang semua orang repot nyarinya.” si bapak membalas sewot. Ya elah, kenapa dia jadi sewot sama Emak?      “Iya, Pak. Makasih.” Cuma itu yang dibilang Emak sebelum gue diseret dalam genggaman tangannya yang makin erat.     Dulu, gue enggak mengerti kenapa hal seperti ini harus ada. Kenapa kami dibedakan. Kenapa Emak dijawab ketus, sementara si Mami dijawab lembut. Gue kira itu hanya karena gue masih bocah ingusan yang enggak tahu apa - apa. Gue kira apa memang cara berpikir orang dewasa seperti itu? Tapi seiring berjalannya waktu gue pun menyadari bahwa sebenarnya hal kayak gitu enggak seharusnya terjadi. Itu mungkin cuma satu dari sekian ribu case yang sama.       Bukankah diperlakukan sama dan sejajar adalah hak yang semestinya didapatkan semua orang dengan sama rata? Apakah gue harus kaya, pakai baju bagus, ditempeli barang - barang bermerk baru gue bisa sederajat dengan orang - orang kaya? Banyak orang yang bilang pemikiran seperti ini adalah karena gue iri, julid, karena enggak bisa makanya protes. Padahal enggak. Gue yakin, kalau seandainya kita hidup dengan mengandalkan sikap yang saling menghargai, enggak mendiskriminasi, pasti dunia ini akan sangat damai.     Sayang, sungguh sayang.      Dunia ini adalah tempat yang kejam.     Dia enggak peduli walau lo sudah meringis.     Enggak akan ngurusin mental lo yang kayak permen yupi.     Juga ogah melihat lo yang sama sekali enggak memberi nilai tambah.     Dunia ini memang kejam, totally agree!       Orang biasanya memiliki tujuan dan pilihan dalam hidupnya. Mereka umumnya mulai menciptakan mimpi - mimpi kecil dan cita - cita yang suatu saat nanti akan dicapai. Akan tetapi gue enggak memiliki pemikiran yang sama. Kenapa? Ya, itu, karena terlalu banyak diskriminasi di dunia ini. Kenapa orang - orang harus dibedakan, kenapa setiap apa yang melekat dari diri kita harus membedakan. Bukankah seharusnya kita ini sama? Tapi, sama dalam hal apa?      Dunia ini berjalan dengan enggak semestinya. Gue enggak tahu bagaimana sistem yang sebenarnya berjalan di dunia ini. Gue merasa semuanya itu enggak adil. Itu adalah bagian terburuknya. Lalu faktanya, kita semua dipaksa untuk menerima segala sesuatu yang enggak adil tersebut. Manusia punya daya pikirnya sendiri, mereka unik dan berbeda satu sama lain. Kayak sekarang, gue yakin bahwa pemikiran lo dan gue pasti berbeda. Tapi gue enggak akan menyangkal, bisa jadi menurut lo ini adalah cara berpikir yang picik. Bisa jadi gue terlihat seperti tukang ngeluh yang hanya bisa memprotes segala sesuatu pada kerasnya hidup ini.       Itu terserah lo, tentang bagaimana lo melihat semua ini. Itu adalah hak kalian masing - masing. Tapi gue yakin bahwa gue enggak salah walau memiliki cara pandang seperti ini.      Beralih ke case lainnya, gue juga pernah melihat sendiri kalau guru - guru di sekolah melakukan diskriminasi. Padahal bukankah seharusnya mereka menjadi sosok yang paling adil, enggak membedakan murid - muridnya, juga enggak berat sebelah. Kenyataannya enggak begitu. Tapi guru juga manusia, apalagi gurunya perempuan, yaudah pasti ambyar. Biasanya makhluk betina memang cenderung lebih menyukai anak yang manis dan penurut. Sementara yang nakal? Ya bye bye.    * * * * * * *  to be continued  * * * * * * *       By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD