Truth

Apa arti sebuah kebenaran itu? Apa masih penting sebuah kebenaran itu? Apakah masih ada sebuah kebenarandi dunia yang begitu naif ini? Perlukah, aku menyerah dengan masa lalu dan mengakui semua masa laluku walau itu menyakitkan sekalipun? Apakah, kebenaran yang aku ungkapkan akan berbuah manis? Atau Kebenaran itu hanya akan menambah beban hidupku? -- prolog Juni 1996 Udara kota Semarang di sore hari nampak begitu bersahabat bagi para anak-anak Kecil, dimana kala sore tiba inilah kesempatan mereka untuk keluar rumah dan bermain dengan teman-teman sebayanya terbuka lebar. Taman bermain adalah tempat yang sangat ramai kala sore hari menyapa. Tawa riang dari wajah-wajah yang tak berdosa selalu menghiasi tempat selalu sunyi di kala malam dan selalu sepi di kala siang dan pagi hari sekali pun. Di sudut lain taman bermain ini seorang gadis kecil berusia kurang lebih empat tahun dengan rambut hitam legam panjangnya yang tergerai menutupi punggunya itu sedang duduk termenung di tengah-tengah gemuruh suara riang para anak-anak kecil yang nampak senang. Gadis itu terus memandang sebuah permen kapas berwarna merah yang tergeletak di tanah. Kedua mata cokelatnya nampak sendu memandangi permen yang tergeletak di tanah itu. "Ya, pelmennya jatuh!" gerutunya. Semua orang tak ada yang perduli denganya, ia terus termenung di atas ayunan tua yang catnya sudah terkelupas. "Mbok Imah pasti malah ni kalau aku minta di beliin pelmen lagi," katanya lirih. "Kamu kenapa?" tanya seseorang membuyarkan lamunan gadis cilik ini. Gadis ini mendongak kearah kedatangan suara itu. sesosok anak laki-laki berusia tiga tahun lebih tua darinya sudah berdiri sejak beberapa menit yang lalu sembari membawa sebuah gumpalan permen kapas di tangan kananya, anak laki-laki ini tak pernah melepaskan pandanganya dari sang gadis kecil ini. "Pelmenku jatuh," sahut gadis kecil ini. "Kamu mau ini?" tanya anak laki-laki ini sembari menyodorkan gumpalan permen kapas miliknya yang masih utuh. "Untukku?" gadis kecil itu nampak berbinar melihat permen kapas yang ada di hadapanya. "Aku nggak boleh makan permen banyak-banyak," ujar anak laki-laki itu dengan pokamus, "Kata Ayah, kalau makan permen banyak-banyak gigiku bisa sakit aku nggak mau ah pergi ke dokter. Dokter nakutin ih." Gadis kecil yang awalnya malu-malu kini mulai mengambil gumpalan permen kapas dari tangan anak laki-laki itu. "Ma'aci!" seru gadis itu riang. Pandangan anak laki-laki itu benar-benar tidak berpaling sedetik pun dari gadis kecil ini. ia benar-benar merasakan jantungnya kini berdetak tidak karuan. Selama hidupnya, ia baru kali ini melihat seorang bidadari cantik turun dari khayangan. "Nama kamu siapa?" akhirnya anak laki-laki ini mulai bersuara. "Nadila," ujar gadis cilik ini riang karena gadis ini belum mampu mengucapkan huruf 'R' dengan fasih anak laki-laki ini hanya menganguk-ngaku seolah-olah ia paham namanya mungkin Nadira. "Aku Raka." Anak laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. *****