Part 1

2790 Words
Udara siang kota Jakarta yang panas sama tidak menurunkan niat Dira untuk berkeliling dari satu butik ke butik lainnya. Tubuh mungil nan rampingnya kini kemeja putih merk H&M yang dipadukan dengan rok mini berwarna hitam berbahan satin. Kakinya yang jenjang disokong oleh high heels dari Jimmy Choo setinggi tujuh sentimeter, namun semua tak membuatnya kelelahan atau ingin menyerah karena udara panas yang membakar kulitnya ini. Bermodalkan CV, fotoporlio sketsa racangan, Ijazah dan sertifikat dari sekolah tata busana ia berusaha butik yang membutuhkan seorang penata busana. Memang, kalau di bandingkan dengan lulusan luar negeri semacam Prancis, Italy atau Amerika memang Dira masih kalah bersaing. Tapi tekatnya sudah bulat, ia harus memperbaik kehidupanya bersama Rana. Mereka butuh hidup yang lebih layak daripada saat ini, apalagi setelah Daru menyuruhnya keluar paksa dari restoran cepat saji karena melihat keadaan Rana yang sempat tak terurus karena Dira asik berkerja. Secara finacial, Eyang Dira bisa di bilang cukup mampu untuk membiayai Dira hidup dan membiayai Dira berkuliah dimana pun Dira mau. Selain Eyangnya, Om Dira –Reno- juga memilik finacial yang mampu. Tapi, bukan Dira namanya jika ia terus bergantung dengan Eyang atau Om sebagai keluarganya yang tersisa itu. Dira menolak tawaran Eyangnya untuk meneruskan pendidikanya di kedokteran karena sebuah kesalahan fatal di masa lalu yang membuat nama baik Papa dan juga keluarga besarnya tercoreng. Dira begitu malu dengan perbuatanya itu hingga ia memilih untuk berusaha sendiri yang ada di dalam pikiran Dira adalah ia harus berusa untuk hidupnya tanpa bergantung dengan orang lain apalagi anak tunggal Dira, Rana juga butuh biaya untuk tumbuh besar. Langkah Dira berhenti di sebuah butik gaun pengantin yang cukup ternama di bilangan Tebet. Tangan kanannya berusaha menghapus keringat yang membasahi keningnya. Ayo semangat Dir! Rana butuh kehidupan lebih baik kamu nggak boleh bergantung terus sama nenek sama om Reno apalagi sama mas Daru mereka udah terlalu banyak berkorban untuk kamu selama ini. Batin Dira. Hentakan heels setinggi lima senti mulai mengema terbentur dengan lantai marmer teras butik ini, jantung Dira benar-benar berdetak tak karuan. "Selamat siang," sapa seorang wanita cantik dengan tinggi sempai seperti seorang model saat Dira membuka pintu butik ini. "S... S... selamat siang, Mbak." jawab Dira nampak gelegapan. "Mbak ini mau bertemu siapa ya?" tanya wanita ini dengan sopan. "Gini, Mbak saya kemarin baca di internet katanya butik ini sedang butuh asisten perancang busan baru ya?" Wanita itu mengangguk khidmad. "Iya, kami memang membutuhkan asisten perancang busana,  Mbak." Dira nampak tersenyum puas. Tak sia-sia ia harus bermacet-macet ria, berlari-lari mengejar bis, dan bercucuran keringat sejak pagi hari hanya demi mencari sebuah pekerjaan yang cocok untuknya. Semoga hobinya dapat mendatangkan pekerjaan untuknya. "Saya boleh melamar disini?" tanya Dira. "Boleh," sahut wanita ini, "Kalau boleh tahu, apa Mbak membawa CV, fotoporlio dan hasil sketsa gambar, Mbak?" Dira langsung mengeluarkan map hitam, dan sebuah ampkamup cokelat yang berisikan CV juga fotokopi ijazah sekolah formalnya dari tas ranselnya dan menyodorkanya, lalu wanita cantik ini mengambil map itu dari tangan Dira. Setelah hampir lima menit wanita itu masih asik membulak-balikan isi map hitam yang sebagaian besar adalah hasil design baju milik Dira. "Sebentar ya Mbak, saya akan berikan sama pemilik butik ini ya. Mbak, duduk aja dulu nanti kalau ada keperluan saya akan panggil Mbak lagi." Dan wanita ini langsung berlalu meninggalkan Dira sedirian. Sebuah sofa merah menarik perhatian Dira tanpa pikir panjang langsung merebahkan dirinya di sofa itu. Aku harus berusah keras, aku tak boleh bergantung dengan nenek, aku tak boleh bergantung dengan Om Reno apalagi bergantung dengan Mas Daru. Nadira ya Nadira, Nadira harus mandiri dan tidak boleh mengeluh apalagi berpangku tangan dengan orang lain sekali pun dengan nenek atau om Reno. Nadira bukan gadis lemah apalagi manja, batin Dira. ##### Sorak tepuk tangan mengema di ruangan ini. Para barisan orang-orang yang di balut Snelli atau yang biasa orang bilang Jas putih yang selalu menjadi ciri khas seorang Dokter ini nampak senang atas perhelatan penyambutan para dokter muda yang ada di hadapan mereka. Raka tersenyum puas mendengar sorak tepuk tangan dari rekan-rekan barunya. "Selamat bergabung, Dokter Raka." Seorang pria kira-kira berusia lima tahun lebih tua darinya mengulurkan tangannya kepada Raka. Tanpa pikir panjang Raka pun membalas uluran tangan tersebut. Tertulis jelas pada ID-Card yang mengantung di saku atas Snelli dokter ini, Handaru Keanun Bramantyo. Nama yang mencerminkan perawakan dokter tampan ini. "Terima kasih, Dokter Handaru." ujarnya sembari tersenyum. Raka, seorang dokter muda yang baru berusia 26 tahun, memilik tubuh dan wajah yang rupawan juga kemampuan yang di atas rata-rata sebagai dokter muda membuatnya selalu mudah untuk mendapat perhatian. Hidup Raka semakin lengkap rasanya karena ia memilik seorang istri yang begitu cantik yang sudah hampir empat tahun ini menjadi teman hidupnya, Eliana. Mungkin semua orang akan iri dengan Raka karena hidup Raka begitu sempurna bagaikan sebuah kisah negeri dongeng. Tapi siapa sangka, di balik anugerah yang begitu melimpah untuknya terbersit rasa ketidaknyaman untuk Raka. Ya, Raka sama sekali tidak bisa mencintai Eliana istrinya yang sempurna itu. Bukan karena selama empat tahun mereka menikah mereka belum di karunia seorang anak tapi cinta masa lalunya membuat Raka tidak bisa mencintai Eliana seperti seorang suami yang mencintai istrinya. Nadira, nama itu selalu ada di dalam pikiran, napas dan detak jantungnya. Cinta pertamanya yang membuatnya tidak ingin mencari apalagi mencintai wanita lain di dalam hidupnya. Wanita mungil dengan rambut hitam, kulit putih bersih, dengan rona merah muda yang membuatnya semakin terlihat mengemaskan dan tak lupa sepasang mata kecokelatan yang sangat cantik itu membuat Raka bersumpah demi apa pun ia tak akan mencari wanita lain untuk di jadikan istrinya kelak. Awalnya, Raka ragu dengan semua yang ia rasakan. Raka kecil yang dulu belum mengenal cinta itu seperti apa tak pernah mau mengakui bawah ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Nadira, gadis kecil pengemar permen kapas. Tapi pertemuan pertama itu meninggalkan kesan yang sangat indah untuk Raka hingga akhirnya ia mengenal apa itu artinya cinta, mungkin itu cinta monyet ala bocah ingusan sekali pun. Akhirnya mereka tumbuh besar bersama, Nadira yang usianya tiga tahun lebih muda dari Raka sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Walau Raka sudah Riana memilik seorang adik perempuan yang usianya terpaut lima tahun darinya tetapi Nadira juga memilik arti yang begitu penting untuk Raka. Setiap hari Raka dan Nadira selalu menghabiskan waktu bersama Nadira bahkan perbedaan status bagaikan bumi dan langit antara Raka dan Nadira tidak pernah menyurtkan rasa kasih sayang Raka untuk Nadira sebagai kakak dan sahabat untuk Nadira. Nadira, si gadis dari keluarga yang cukup berada itu memilik impian dimana ia ingin menjadi seorang dokter. Tetapi, karena Papa Nadira menentangnya dan menyuruh Nadira menjalankan bisnis milik Papanya. Penetangan dari Papanya sendiri justru memuat Nadira semakin bersemangat untuk membuktikan kepada Papanya bawah menjadi dokter itu adalah harga mati. Sedangkan Raka, hanyalah seorang anak dari keluarga menengah kebawah. Raka harus menjalani kehidupanya yang keras karena perceraian orang tuanya saat ia masih berusia 14 tahun. ibu Raka begitu kejam karena tega mengkhianati Ayahnya yang begitu mencintai Ibunya. Puncaknya, setahun setelah perceraian kedua orang tuanya ibu Raka begitu tega menghabisi nyawa ayahnya hanya untuk mendapatkan hak asuh atas Raka dan adiknya. Tapi sekali lagi mirisnya hidup ini dimana orang berada akan selalu menenang sekalipun kejamnya hukum, pasti merka akan selalu menang. Mengenai suami baru Ibu Raka alias Ayah tiri Raka, ia jauh lebih mapan dan berada daripada Ayah kandung Raka sendiri. Ia berasal dari keluarga berada dengan profesi seorang dokter. Dan mungkin inilah yang membuat ibu Raka berpaling dari Ayah Raka yang hanya berprofesi sebagai pegawai rendahan di kantor walikota. Sejak kedatangan Ayah tiri Raka, Raka pun mulai menaruh dendam dengan dokter. Tapi, sialnya karena Raka tidak punya kemampuan untuk menolak paksaan dari Ayah tirinya yang begitu egois. Sejak kecil, impian Raka adalah menjadi seorang gitaris memilik sebuah band dan menjadi musisi hebat sekelas Keith Richard, Erick Clapton, dan Jimi Hendrix. Tapi, karena ia tak memiliki kekuatan maka ia terpaksa menuruti kemauan Ayah tirinya itu. menjadi dokter adalah sebuah bencana untuknya, ia ingin menjadi gitaris bukan dokter. "Semoga kita bisa menjadi tim yang solid." Dokter Handaru tersenyum tulus dengan Raka. "Semoga ya, Dok," sahut Raka. "Selamat bergabung Dokter Raka!" seru seorang wanita cantik dengan riang. Ia mengulurkan tanganya dengan Raka dan Raka langsung membalas uluran tangan darinya itu. "Terimakasih, Dokter Zafrina." ##### Hampir satu setengah jam Dira menunggu sang repsesionis itu kembali. Bahkan, rasa kantuk sudah menyelimuti dirinya rasanya ia ingin pulang saja dari pada harus menunggu selama ini. "Mbak Nadira Akshita Wicaksono?" panggil seseorang membuat kedua mata Dira yang awalnya sudah mengantuk kini mulai terasa segar. Buru-buru Dira bangkit dari sofa "Iya," sahut Dira. "Anda dipanggil oleh Ibu Eliana di dalam," ujar wanita yang mungkin menurut pikiran Dira adalah seorang repsesionis karena dia lah yang menyambut Dira sejak awal Dira menginjakan kakinya disini. "S-s-saya?" tanya Dira seolah tak percaya. Wanita itu mengangguk, sepertinya ia mulai kesal dengan sikap Dira yang terlalu seperti orang kampungan ini. Tanpa pikir panjang Dira pun langsung masuk kedalam ruangan tempat pemilik butik ini berada. Rasanya Dira tak bisa berhenti berkedip saat melihat seorang wanita cantik dengan rambut pirang pendek membingkai wajah mungilnya, wanita itu sudah duduk manis di depan meja kerjanya. "Silakan anda masuk, Mbak Nadira." ujar wanita ini sembari tersenyum. Dira pun langsung duduk di kursi yang ada di depan meja kerja wanita cantik ini. Rasa takut dan nyalinya mulai menciut sudah menyelimutinya sejak ia pertama kali ia melihat wanita ini. Wanita ini sangat berbeda denganya, dia begitu anggun sedangkan Dira? Tidak. "Nadira Akshita Wicaksono," panggil wanita itu sembari memegang map hitam milk Dira. "I-i-iya?" jawab Dira gelagapan. "Kamu siapanya Pradikta Wicaksono?" tanya wanita itu sembari tersenyum ramah Dira. "Maksud Mbak, Dikta vokalisnya Yovie and Nuno itu ?" Dira nampak kebingungan. "Iya lah," sahut wanita ini nampak gemas dengan tingkah Dira, "Nama belakang kalian sama." "Lah? Emang nama belakang sama berarti kami saling kenal?" tanya Dira heran. Wanita cantik ini tertawa, semakin terlihat cantik dan ini membuat Dira semakin iri dengan wanita yang ada di hadapanya ini. "Saya cuman bercanda loh, Mbak," kata wanita ini, "Jangan di bawa serius." "Maaf." Dira merunduk malu atas sikapnya dengan wanita ini. "Gak apa-apa kok, Mbak." Wanita ini mengetuk-ngetukan jari tanganya yang lentik itu ke meja kerjanya "Saya bercanda biar nggak terlalu tegang aja." Keheningan menghampiri kedua wanita ini. Dira masih merasa harap-harap cemas akan nasibnya di depan wanita cantik ini yang di daulat sebagai pemilik butik ini. ia terus memengangi pinggiran rok mininya sembari mengiggit bibir tipisnya itu. "Lahir di tanggal 21 September," kata wanita itu sembari terus menatap map milik Dira memecahkan keheningan. "Iya." "Tanggal lahir kamu sama seperti suami saya," ujarnya. "Serius, Mbak?" "Iya!" tegas wanita, "Dan.. serius umur Mbak itu, 23 tahun?" "I-i-iya," jawab Dira gelagapan. "Wah, kita seumuran lah ya. Tapi, umur saya 24 tahun deh, he-eh." ujar wanita cantik ini cengegesan, "Jadi, kamu jangan panggil saya Mbak deh panggil saya Eliana aja." "Ba...baik lah." Dira mengangguk khidmat. "Eliana." "Kamu pernah kuliah di kedokteran?" tanya Eliana. Dira mengangguk. "Iya, tapi karena keterbatasan finacial Eyang saya akhirnya saya hanya sampai semester tiga saja nggak melanjutkan sampai lulus. Saya seorang anak yatim piatu dan Eyang saya bukan seorang miliuner. Ya, Mbak tahu lah biaya kedokteran itu mahalanya seperti apa." Bukan, karena aku melakukan kesalahan yang sangat besar dan hina sehingga aku harus merelakan impian masa kecilku. walau sebenarnya, nenek dan om Reno bilang aku masih bisa kalau aku mau kembali. Tapi kesalahan itu... membuatku engan untuk kembali. Itu hanya membuatku terluka. Banti Dira. "Wah, coba kamu lanjut terus, Nad." Eliana mengehela napas panjang untuk mengisi paru-parunya. " Padahal, beasiswa buat kedokteran itu banyak bukan? kalau kamu lanjutkan studi kamu, saya bisa relasiin kamu ke suami saya deh." "Suami Mbak Eliana, dokter?" Eliana mengangguk. "Ya, Nad." "Serius, Mbak?" Eliana mengangguk. "Sepertinya dari CV kamu, kamu dulu kuliah di salah satu universitas negeri yang ada di Semarang?" "Iya, Mbak. Kenapa?" "Suami saya juga lulusan falkutas kedokteran di salah satu universitas negeri yang ada di Semarang loh." Tutur Eliana. "Sepertinya kamu sekampus sama suami saya deh. Atau mungkin suami saya senior kamu jangan-jangan." "Saya memang lahir di Semarang dan juga besar di Semarang," tambah Dira, "Kemungkinan bahwa suami Mbak senior saya kecil lah, saya kan juga nggak lama kuliah di kedokteranya. Semarang juga bukan kota yang kecil Mbak, dan kampus saya dulu mahasiswa kedokteranya juga banyak." "Iya juga si!" tegas Eliana. "Btw, memang suami Mbak tinggal pernah di Semarang?" tanya Dira hati-hati. "Iya, Suami saya juga lahir dan besar di Semarang kok," ujar Eliana sumringah. "Dia juga dulu praktik di Semarang, tapi karena saya di Jakarta dia di Semarang kita nggak kuat LDR-an jadinya suami saya memutuskan untuk pindah deh ke Jakarta." "Beruntung ya Mbak—" Rasanya mendengar kata dokter aku jadi... teringat Raka. Tidak, Raka itu sudah mati tak ada lagi Lolipop yang akan selalu mencintai cotton candy seperti janji-janji manisnya dulu. Batin Dira "Eliana," potong Eliana gemas, "Kan tadi saya udah bilang jangan panggil saya Mbak! Kita seumuran." Dira mengigit bibirnya lagi, belum berkerja disini saja ia sudah membuat si pemilik butik ini kesal apa kabar kalau dia berkerja di sini? "Maaf ya, El." hanya kata-kata itu yang mampu meluncur dari bibir tipis Dira. Eliana tak menyahut, wanita cantik ini masih asik membulak-balikan isi map milik Dira. Kedua mata hitamnya memperhatikan setiap detail kumpulan design yang di buat oleh Dira. Hanya perasaan takjub yang ada di benaknya saat ini. "Menurut saya," Eliana berhenti sejenak. "Saya masih nggak sangka kamu itu adalah mantan mahasiswa kedokteran dulu, gambar-gambar punya kamu itu—" "Maaf El, hanya sebatas itu kemampuan saya." potong Dira, ia sangat ciut untuk menatap Eliana. "Mungkin saya..." "Saya saja nggak tau bisa buat gambar seperti kamu atau nggak." Eliana tersenyum melihat kepolosan Dira. "Gambar-gambar kamu berkata lain seolah-olah kamu itu adalah lulusan dari sekolah tata busana di Prancis atau Italy." Rasanya Dira ingin menampar pipinya sendiri. Apa? gambar sejelek itu di bilang seperti lulusan dari Prancis atau Italy? Sepertinya Eliana sudah rabun. "Kamu dulu sekolah tata busana ya?" Dira mengangguk cepat. "Ya, setelah saya mengundurkan diri dari bangku kuliah akhirnya saya memutuskan untuk mengembakan bakat saya sejak kecil." Eliana terdiam sejenak. ia masih terus memandangi map, dan amplop milik Dira secara bergantian. Rasa iba pun muncul melihat pengorban Dira yang rela keluar dari bangku kuliah lalu memilih sekolah tata busana setelah itu ia berkerja kerja keras demi keluarganya sebagai kasir supermaket dan pelayan restoran cepat saji ini begitu menberikan tamparan hebat untuknya yang notabenya adalah anak yang jauh beruntung hidup di gelimangan harta. Eliana tidak pernah membayangkan jika ia berada di posisi Dira apa yang akan ia perbuat? Mungkin Eliana akan terus mengeluh atau mungkin Eliana akan mencoba mengakhir hidupnya. Tapi Dira? Wanita yang dihadapanya ini walau tubuhnya mungil dan terlihat rapuh ia memiliki sebuah semangat hidup seperti baja. "Baik, saya terima kamu Nad!" seru Eliana spontan. "Mbak El, ini serius?" Eliana mengangguk khidmat, lalu ia mengulurkan tangan kanan untuk Dira. "Saya serius. Selamat bergabung di El's Boutiqeu, Nadira. Mulai besok kamu bisa berkerja di sini, Nad. Dan... besok jangan sampai datang terlambat asisten baruku." Butuh waktu sepersekian detik untuk Dira mencerna perkataan Eliana, rasanya ia benar-benar sedang bermimpi saat ini. semoga ini awal yang baik.Dira menyambut uluran tangan Eliana dengan cepat. "Terima kasih, Mbak El." "Sama-sama Nad," balas Eliana. "Mohon bantuannya ya, El." ##### Raka langsung memasuki ruang pratik barunya. Kedua mata hitamnya terus menatap setiap detail ruangan ini. Lebih baik, bahkan dua kali lebih baik dari ruang praktiknya saat ia masih berada di sebuah puskesmas di desa pedalaman Kalimantan saat ia harus pergi intership[1] tiga tahun yang lalu atau ruang praktiknya saat ia memilh menetap di Semarang dulu. Semarang, kota yang menjadi separu napasnya, separu hidupnya dan separu dari darahnya. Raka lahir dan besar di kota Semarang. Dan di kota Semarang itulah Raka bertemu dengan Nadira, wanita yang mengisi hati bertahun-tahun lamanya. Kesalahan lima tahun lalu begitu menghatui Raka. Masih pantaskan ia mendapatkan Nadira setelah ia merusak masa depan Nadira? Apa ini yang dinamakan cinta? Pasti jika kedua orang tua Nadira masih hidup mereka akan membunuh Raka akibat perbuatannya dengan Nadira dulu. "Kamu di mana, Dir?" ucap Raka lirih, "Andai waktu bisa aku ulang, aku tak ingin merusak masa depan hidupmu hanya karena emosiku sesaat." Apa waktu bisa di putar kembali? Jika bisa, pasti aku akan memilih memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku buat dengan... Nadira. Raka memandangi foto dirinya dengan Nadira yang berada di depan meja kerjanya. Foto terakhir yang di ambil lima tahun yang lalu sebelum ia melakukan kesalahan dan membuat ia harus menerima konsukuensinya, kehilang Nadira. Andai saat itu emosi tidak mempengaruhinya, mungkin Nadira masih ada di sampingnya saat ini. tapi semunya sudah terlambat. Raka sudah kehilangan semuanya, kehilangan cinta, kehilangan gairah hidupnya dan kehilangan semua impiannya yang di rajut sejak kecil. ***** [1] Nama lain adalah kuliah kerja nyata. Dimana bagi lulusan kedokteran setelah lulus UKDI dan pengukuhan dokter harus melakukan dinas di desa/klinik/puskesmas yang di tentuakan oleh pihak kampus/pemerintah selama satu tahun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD