Dua

1272 Words
Tesa melepaskan sendok yang dipegangnya setelah tersadar jika sendok itu telah bengkok sepenuhnya hingga terjatuh di lantai. Suaranya benda jatuh terdengar nyaring di telinga. Ia hendak mengambil sendok itu dengan kemampuan telekinesis miliknya, namun niatnya harus ia kubur karena suasana kantin yang ramai. Ia berjongkok dan mengambil sendok miliknya. Dengan kemampuan telekinesis, ia membuat sendok itu kembali lurus walau tak sempurna sama seperti di awal. Hatinya panas menyaksikan kemesraan Hana dan Abian yang diumbar di publik. Tak bisa ia pungkiri, ia memang memiliki perasaan lebih pada kekasih sang kakak. Ia juga mencintai Abian, namun, sayangnya lelaki itu lebih memilih Hana, kakaknya dari pada dirinya. Lagi-lagi dirinya harus kalah dari sang kakak. Tesa tak pernah iri dengan apa yang didapat sang kakak selama ini. Ia juga tahu diri dan tahu batasan. Dirinya hanyalah anak pungut, anak yang ditemukan oleh ibu angkatnya entah di mana. Ia tak berhak untuk iri. Namun berbeda jika itu mengenai Abian. Tesa, gadis itu tak bisa memendam rasa cemburu jika Abian berdekatan dengan kakaknya. Hana memang tak tahu jika Tesa juga menyukai kekasihnya. Karena jika ia tahu, bisa dipastikan gadis itu akan melepaskan Abian untuk adiknya. Sungguh kakak yang baik bukan? Hal itu yang membuat Tesa bersyukur memiliki kakak sebaik Hana. Dengan cepat dan penuh emosi Tesa menghabiskan makanan miliknya. Ia bahkan tidak sadar jika emosinya mampu membuat lantai bergetar, rasanya seolah terjadi gempa bumi. Banyak murid yang menyadari hal itu lalu memilih berlari dan pergi meninggalkan kantin menuju halaman terbuka. Hana, sang kakak menatap cemas adiknya sebelum dirinya ditarik oleh Abian dan terpaksa keluar dari kantin. Tesa lalu berjalan menjauh dari kantin. Ia bahkan tak sadar bahwa dirinya baru saja melakukan hal berdampak besar bagi orang lain. Ia memilih tempat yang sepi untuk menenangkan diri. Tempat itu tak lain tak bukan adalah perpustakaan. Perpustakaan tampak sepi, hanya ada penjaga perpustakaan dan beberapa siswi yang mengantri untuk meminjam atau mengembalikan buku. Entahlah, Tesa tak terlalu memperhatikan. Ia melangkah semakin jauh ke dalam ruangan perpustakaan yang cukup luas. Ia memilih tempat duduk yang paling ujung dan menghempaskan dirinya dengan kasar di kursi. Kembali memainkan kemampuan miliknya, gadis itu mengambil salah satu buku di rak yang terdekat dengan dirinya. Ia berkosentrasi penuh. Dalam otaknya, ia ingin agar buku yang diamatinya itu melayang mendekat ke arahnya. Dan hal itu lah yang kini sedang terjadi. Buku tebal itu melayang perlahan menuju ke arah Tesa. Sementara gadis itu menyaksikannya dengan santai. Tak lama buku itu telah sampai di hadapan Tesa dan ia meraihnya. Membaca judul buku yang baru saja diambilnya. Satu sudut bibirnya ia tarik ke atas. Tampaklah senyum remeh yang tercetak jelas di wajahnya. "Sistem tata surya." desisnya. Ia tak suka bahkan tak tertarik sama sekali dengan sains. Namun ia malah mengambil buku seperti itu. Di lemparkannya buku itu ke meja yang ada di depannya dengan pelan. Hanya karena Abian, mood miliknya benar-benar kacau. Namun entah mendapat dorongan dari mana, gadis itu kembali memungut buku yang telah ia campakkan. Penasaran dengan isinya. Membolak-balik satu per satu lembaran buku dan membacanya dengan seksama. Ia menjadi sedikit tertarik untuk mendalami astronomi setelah membacanya. Lalu dengan tergesa melangkah menuju meja penjaga perpustakaan. Ia menyerahkan buku tadi pada penjaga dan mengeluarkan kartu anggota perpustakaan untuk meminjam buku tebal itu. Ia berniat menyimpannya di dalam kelas. Namun di tengah perjalanannya, ia di hadang oleh tiga orang gadis yang sangat ia kenal. Mereka adalah teman-teman kakaknya. Satu gadis berambut pendek sebahu dan dua teman lainnya berambut panjang sepunggung namun berbeda warna. Salah satu rambut gadis itu berwarna hitam legam dan satu lagi berwarna hitam kecoklatan. Dengan sengaja, salah satu dari mereka mendorong bahu Tesa hingga buku yang dibawanya terjatuh. Tesa hendak mengambil bukunya, ia berjongkok dan mendekatkan jemarinya pada buku tebal itu. "Akh!" ringis Tesa. Tangannya di injak oleh salah satu dari orang itu. Temannya yang lain mengambil buku yang dipinjam Tesa tadi dan membacanya. "Sistem tata surya. Sejak kapan seorang Tesa Amora suka sama sains?" ejeknya sang gadis. "Balikin buku aku, An!" hardik Tesa. Ia mendorong gadis yang menginjak tangannya kemudian berdiri. Mengambil kembali bukunya secara paksa dari gadis yang ia panggil An barusan. "Kok, lo nyolot, sih?" sentak gadis bernama An itu. Ia mendorong Tesa hingga gadis itu ambruk. Tesa menatap tajam ketiga gadis yang kini tengah merundungnya. Dari sorot matanya terlihat bahwa kini gadis itu tengah menahan amarah yang membuncah. "Heh, anak pungut, jauhin Hana! Lo tuh gak pantes jadi adiknya Hana. Gue udah peringatin lo berulang kali ya, tapi kenapa lo selalu ngebantah, hah?!" bentak gadis berambut sebahu. "Aku gak tahu kalian bertiga punya dendam apa ke aku. Yang jelas jangan pernah ganggu aku lagi atau kalian bakalan nyesel karena udah berurusan sama aku!" ancam Tesa. "Terutama kamu, Dinar Kusuma!" tunjuknya pada gadis yang berambut sebahu. "Lo nantang gue?" teriak gadis bernama Dinar itu. Lalu ia menatap kedua temannya bergantian dan bergumam 'toilet' tanpa suara. Kedua temannya yang paham akan kode itu langsung saja menyeret Tesa menuju toilet wanita. Setelah sampai, mereka memaksa para siswi yang ada di toilet agar keluar. Setelah kosong dan hanya ada mereka berempat di sana. Gadis bernama An tadi mengunci pintu toilet dari dalam. Tesa tenang-tenang saja menghadapi tingkah mereka bertiga. Hal itu sudah biasa ia rasakan selama dua tahun terakhir. Dinar dan kedua temannya memang membenci Tesa entah karena apa. Bahkan gadis itu sendiri bingung kenapa mereka bisa membenci dirinya sedalam itu. Bahkan mereka sampai pura-pura berteman baik dengan Hana agar kakak perempuannya itu jauh dari dirinya. Mereka juga lah yang membuat Hana dan Abian berhubungan dekat hingga akhirnya jadian. "Lo gak bisa lolos kali ini," tunjuk gadis berambut hitam kecoklatan itu tepat di wajah Tesa. "Kita lihat aja nanti," balas Tesa sembari tersenyum miring seolah mengejek mereka bertiga. Suasana toilet sangat menengangkan dan sedikit gaduh. Dinar dan kedua temannya bergantian menyiksa Tesa, namun gadis itu bisa mengelak dan menghindar. Sampai pada akhirnya ia tak bisa berkutik karena kedua lengannya dipegang oleh dua teman Dinar. "Kita mulai permainan yang sebenarnya, Tesa Amora," bisiknya tepat di telinga kanan milik Tesa. Dinar membenturkan dahi Tesa ke tembok bilik toilet dengan kencang. Bahkan mendengar suaranya saja membuat Dinar dan kedua temannya meringis. Pasti sangat sakit. Kepala Tesa berdenyut. Hidungnya bahkan sampai mengeluarkan darah kental yang berwarna merah pekat. Ia meringis merasakan nyeri di kepalanya. Ia yakin jika kepalanya akan mengalami geger otak ringan nantinya. Dua teman Dinar tadi melepaskan pegangan di lengan Tesa. Setelahnya gadis itu ambruk karena tak kuat menahan pusing yang mendera. Dinar berjongkok. Tangannya ia tuntun untuk meraih dagu milik Tesa agar gadis itu menatapnya. Manik mata mereka bertubrukan. Namun Dinar sedikit terkesiap karena kilatan cahaya muncul di retina mata Tesa. "Rasa sakit yang lo rasakan hari ini gak akan pernah bisa sebanding dengan rasa sakit yang gue alami karena lo," desis Binar. Dengan seringai yang menghiasi wajah innocent-nya, Dinar merogoh sesuatu dari dalam kantung baju seragamnya. Sebuah silet kecil yang masih baru, bahkan segelnya belum ia buka. Dengan senyum menyeramkan ia membuka segel dari silet itu dan mengarahkannya pada baju Tesa. "Let's play!" ujarnya lalu menyobek lengan baju Tesa dengan silet itu. Namun, senyum Tesa malah mengembang saat Dinar mulai menyayat kain miliknya dengan pelan. "Permainan yang sesungguhnya baru akan dimulai darl," sinis Tesa. Dinar kesal dengan ekspresi wajah Tesa yang terkesan datar dan tak ada raut ketakutan di sana. Ia hendak menyayat kulit lengan Tesa, namun hal yang menakutkan terjadi. Silet itu melayang dengan sendirinya menuju ke arah ketiga gadis itu. Suara kunci diputar juga terdengar. Ketiga gadis itu ketakutan dan bersembunyi di balik bilik toilet sementara Tesa tersenyum puas dan keluar dari toilet. Suara-suara jeritan mulai terdengar bersahutan. Dan Tesa sudah menghilang jauh dari toilet. to be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD