Bab 1 : When the Rain Comes

1032 Words
Setelah 3 minggu meninggalkan mansion di L.A, aku akhirnya pulang kembali. Papa Ace memberikanku tugas yang agak berat, mengingat aku harus membasmi orang-orang di pemerintahan yang berniat menusuk dari belakang keluarga Roulette. Tak banyak tikus pemerintahan yang berhasil ku lenyapkan. Hanya saja, 2 dari 7 orang targetku berhasil kabur ke luar negeri. Sepertinya aku terlalu bermain-main dengan mangsaku. Semoga papa tidak mengancamku 'akan mengembalikanku' lagi ke keluarga lamaku. Membayangkannya saja sudah membuatku kehilangan nafsu makan. Perjalanan hanya memakan waktu beberapa jam, dari pusat pemerintahan hingga mansion utama. Aku membelokkan arah kemudiku begitu aku sudah sampai di gerbang kediaman Roulette. Membutuhkan waktu beberapa saat hingga mobil McLaren 600LT Spyder milikku sampai di depan pintu mansion. Seorang bawahan menghampiriku, saat Spyder-ku berhenti tepat di depan pintu utama. Membukakan pintu untukku kemudian menerima kunci mobilku. "Papa sudah menunggumu di ruangannya." Aku mengangguk samar sembari melepas kacamataku. Perlahan namun pasti aku berjalan menuju ruangan papa. Sebuah pintu putih besar nan kokoh yang kemudian aku ketuk. Terdengar sahutan pelan dari arah dalam, yang mempersilahkanku masuk. Suara siapa lagi kalau bukan papa Ace. Lembut namun juga terdengar berat di saat yang bersamaan. "Kau sudah pulang, Rain? Bagaimana kabar di sana?" tanya beliau begitu aku melangkah masuk ke ruangan serba putihnya. "Ya, Papa. Sebenarnya, ada sedikit masalah," jawabku sedikit takut. Takut akan mendengar ancaman konyolnya. "Apa ada yang berhasil kabur? Dua dari tujuh targetmu berhasil melarikan diri?" tanyanya memastikan. Aku tak heran jika dia sudah mengetahuinya, karena orang yang sedang duduk di hadapanku ini, jelas bukan orang sembarangan. Mata-matanya tersebar di berbagai belahan dunia. "Maafkan aku, Papa. Aku tidak berhasil melenyapkan mereka." "Aku beri kau waktu 2 minggu lagi, tangkap mereka dan lenyapkan tanpa ada yang tersisa. Atau kau..." Papa menggantungkan kata-katanya. Namun meski begitu, aku tahu apa yang selalu menjadi 'senjata andalannya' untuk mengancamku. "Aku lebih baik masuk ke kandang Sam atau dikurung bersama Rury daripada kembali ke sana, Papa. Dan berhenti menggunakan ancaman menakutkan itu," kesalku. Seketika tawa papa meledak begitu melihat raut wajahku yang kesal. Hingga gigi-gigi putihnya terlihat jelas juga kerut samar di sekitar matanya. Ia begitu menikmati saat membayangkan diriku berada di dalam kandang ular super besar milik White, salah satu eksekutif tertinggi Roulette. "Kau lucu sekali, Rain. Wajahmu itu. Kau harus melihat wajahmu di cermin," sarannya yang terdengar menyebalkan di telingaku. "Kau konyol sekali, Papa," ujarku menahan kesal. Papa masih saja tertawa, hingga mama masuk dan menatap heran pada papa. Yang ditatap tidak memberikan respon, mama kemudian beralih melihat ke arahku. "Apa yang kau lakukan, Rain? Hingga Papa tertawa seperti itu?" tanya mama lembut dan menatapku sayang. "Mama bisa bertanya pada Papa. Aku mau bersiap pergi, aku tidak suka berlama-lama di ruangan ini." Entah darimana asalnya, aku bisa melontarkan kata-kata itu. Yang jelas, aku makin kesal begitu melihat papa yang tertawa makin bahagia. "Aku pergi," lanjutku lagi seraya pergi dari tempat menyebalkan itu. "Sayang, kau mengganggu Rain lagi?" tanya mama mengintrogasi. Samar-samar aku mendengar suara mama yang menegur papa lembut. "Biarkan, Sayang. Aku suka melihat raut wajahnya yang sedang kesal." Yah, seperti itulah papa Ace. Selalu mengancamku dengan hal-hal yang bodoh. Selain papa yang selalu menggangguku, ada lagi  lima anggota eksekutif tertinggi dan Felica, putri kandung papa Ace, yang berani membicarakan tentangku di belakang. Hanya mereka yang mempunyai nyali untuk melakukannya. Seperti yang sedang ku dengar saat ini. "Kudengar, wanita kaku itu sudah pulang," ujar Vicente membuka pembicaraan tentangku. Aku berjalan pelan menuju taman belakang. Bau daging panggang menyeruak di indera penciumanku. Tampaknya mereka sedang berpesta di sana. "Dia gagal melaksanakan misi yang diberikan papa untuknya. Dia pulang hanya untuk melapor," jelas Nero dengar wajah datarnya sembari membakar daging untuk Felica. "Aku tidak tahu, kalau kalian berdua suka bergosip." Alucard terlihat santai saat ini. Tidak terlihat raut serius di wajah tampannya. Dengan penuh sayang, dia memberikan sepiring penuh daging barbeque panggang untuk Felica-tercintanya. "Kalian membicarakan siapa?" tanya Felica begitu polos pada pria-pria penjaganya. "Bukan siapa-siapa, Lica sayang." Kali ini suara si rambut putih, Xavier yang ku dengar. "Kau makanlah ini, Felica-ku." White si manusia ular mengambil alih perhatian Felica. "Terima kasih, White." Felica tersenyum menerima suapan dari tangan White. "Apa kita harus membantunya?" Vicente mulai menyeringai. "Tidak perlu, Rain tidak suka pekerjaannya di recoki olehmu. Dia jauh lebih berguna daripada dirimu saat mengerjakan misi." jawab Nero datar. "Wanita itu mengerikan jika sedang kesal, maka jauh-jauhlah darinya saat ini. Atau isi kepalamu sudah berpindah di payung miliknya," sambung Alucard. Masih tersisa sedikit rasa kesalku karena papa, kini ditambah mereka yang membicarakanku di belakang, membersitkan sebuah ide di kepalaku. Ku jentikkan kedua jari tanganku, seketika awan pekat datang di selingi petir yang menyambar-nyambar. Tak lama hujan turun dengan derasnya. Memporak-porandakan pesta mereka. Aku tersenyum jenaka melihat mereka saling berpandangan. Bingung dengan apa yang sedang terjadi. Mereka sudah basah namun masih enggan beranjak dari sana. Ku langkahkan kakiku menuju ke kamarku. Ketukan sepatuku menyadarkan mereka. Tanpa aba-aba, mereka serempak menoleh ke arahku dan berteriak kesal dan penuh emosi. "Rain!!" *** Aku sudah sampai di depan pintu kamarku. Tak perlu kunci pengaman seperti kamar White. Karena kamarku hanya kamar wanita biasa tanpa sesuatu yang berharga di dalamnya. Hanya kamar yang luas dengan nuansa putih di dalamnya. Namun tidak dengan kamar rahasiaku. Tepat di sudut ruangan, ada sebuah pintu besi yang dilengkapi dengan kunci sidik jari. Di dalam sana adalah ruang kerjaku yang berisi berbagai macam senjata pemberian papa dan beberapa aku pesan sendiri dari situs ilegal dari Eropa. Aku tidak sempat mengecek ruangan itu, karena aku akan segera pergi lagi, sebelum papa benar-benar akan menendangku ke Jepang. Aku rasa ini akan sedikit lebih berat karena mereka bersembunyi dan pemerintahan pusat mencoba menyembunyikan lokasi keberadaan dua tikus itu. Aku rasa aku membutuhkan bantuan Nero. Tapi sepertinya dia masih dendam karena tadi aku membuatnya sangat basah. "Haruskah aku meminta bantuan papa?" *** 'Namanya Zillione Hazard. Dia akan membantumu menemukan lokasi kedua targetmu. Dia putra dari Havian Hazard-si ahli dalam mencuci otak. Dia tinggal di California Selatan. Satu hal yang perlu kau dengar, dia punya penyakit mental.' 'Apa itu, Papa?' 'Dia seorang maniak seks. Jadi, Papa harap kau akan lebih berhati-hati dengannya. Jangan kurangi kewaspadaanmu, karena dia tidak selalu menunjukkan taringnya saat akan menerkam mangsanya.' Aku masih terngiang ucapan papa saat menghubungiku tadi. Seorang pria yang bisa membantu menemukan targetku. Kini aku tengah memandangi sebuah foto di ponselku. Foto seorang pria berdarah California-Korea. "Zillione Hazard," gumamku.  Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD