DEVON 2 - Denzel dan Darco

1079 Words
Devi menghentakkan kaki keluar dari ruangan Devon. Bagaimana mungkin lelaki seperti Devon selalu saja mengeluarkan kata - kata pedas untuk nya. Apapun yang Devi lakukan selalu mendapat protes dari Devon . Dan kata-kata yang keluar dari mulut Devon, sanggup membuat Devi kesal luar biasa. Astaga ! jika tidak teringat ia butuh banyak uang untuk makan dan biaya hidup , mungkin saja Devi sudah memutuskan untuk keluar dari perusahaa ini dan meninggalkan pekerjaannya sebagai sekretaris Devon. Sekarang Devi tahu kenapa Devon sering sekali berganti sekretaris, karena ternyata ulah Devon selalu saja menyakitkan hati. Membuat para sekretarisnya tidak tahan dengan semua sikap yang Devon berikan. Tapi kembali lagi Devi berpikir jika mencari pekerjaan itu bukanlah hal yang mudah. Dan lagi - lagi Devi harus bersabar hati demi menghadapi semua tingkah laku sang atasan . " Coba saja jika dia bukan pemilik perusahaan, mungkin sudah kusumpal mulut pedasnya itu, " gerutu Devi sambil berjalan menuju ruang kerjanya . Mana pantas seorang lelaki terhormat seperti Devon harus menyebutnya jalang tanpa rasa bersalah atau beban apapun . Seharusnya lelaki itu bisa berkata lebih manis jika ingin menegurnya . Devi kembali meneliti penampilan nya . Menurut Devi, penampilan nya masih dalam batas kenormalan. Meski benar penampilan nya selalu terlihat seksi karena memang Devi memiliki bentuk tubuh yang sempurna. Sekalipun Devi memakai baju tertutup, tetap saja kesan seksi tak akan pernah hilang dari diri seorang Devita Saraswati. *** Malam harinya, sesuai perintah dari Devon , Devi telah berada di suatu tempat. Tepatnya di sebuah gedung pertemuan sedang menghadiri sebuah acara aniversray perusahaan salah satu rekanan perusahaan Devon. Sedikit canggung karena Devi harus berada di antara para pengusaha-pengusaha sukses yang membuat Devi merasa tak terlihat oleh mereka. Andai saja bukan karena perintah Devon yang tak dapat dia bantah, mungkin saja Devi tak akan mau berada di tempat seperti ini. Tidak ada satupun orang yang dia kenal di tempat ini. Berharap agar Devon segera datang dan dia bisa segera pulang. Devi terjengit kaget, sentuhan tangan yang singgah di bahunya membuat Devi refleks menoleh ke belakang. Matanya membulat sempurna mendapati seseorang yang sedang tersenyum lebar kepadanya. " Om Darco  ...." sapa Devi masih tak percaya karena harus bertemu dengan lelaki paruh baya itu. " Kau disini juga rupanya ? " tanya pria itu dengan menyipitkan mata, mulai bingung dengan keberadaan Devi di tempat ini. Lelaki paruh baya itu adalah Darco Jurg. Jika di dengar dari nama belakangnya , pasti orang sudah tahu jika lelaki itu adalah papa dari Devon Jurg. Sebenarnya Devi bisa bekerja di perusahaan Devon juga berkat Darco, sekalipun Devon tak pernah tahu akan hal itu. Devi juga tak pernah mengatakan pada Devon jika Darco lah yang telah merekomendasikan nya sehingga bisa bekerja di perusahaan itu sebagai sekretaris Devon. " Om disini juga?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Devi.  " Jelas aku disini, Devi. Ramono adalah salah satu sahabatku ." "Owh ... " Devi mengerucutkan bibirnya membentuh huruf 'O' sambil kepalanya mengangguk angguk . " Kau sendiri kenapa bisa ada disini ? Devon mana ? kenapa aku tak melihatnya ?" Darco menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan anak tunggalnya. "Aku ada disini karena menggantikan Pak Devon. " " Menggantikan Devon ?"  "Ya, Pak Devon bilang dia masih ada urusan , dan memintaku untuk menggantikan nya sementara menunggu dia datang." Mendengar penuturan Devi, Darco justru tersenyum. Dia tentu saja sangat senang mendapati Devi berada di tempat yang sama dengan nya . " Mungkin kita sudah berjodoh ." ucap Darco genit membuat Devi memelototkan matanya lalu terkekeh. "Om Darco bisa saja." " Ya sudah , bagaimana kalau kita makan saja ." tawar Darco yang diangguki kepala oleh Devi. Bahkan tak segan-segan saat Darco mengulurkan tangan nya , Devi menyambutnya dengan suka cita . *** Devon tengah berjalan tergesa di sebuah lorong apartmen. Seharusnya dia sudah berada disini sejak sore hari tadi, tapi karena banyaknya pekerjaan yang tak dapat Devon tinggalkan , alhasil menjelang malam barulah Devon sampai. Bediri di depan sebuah pintu apartmen dan memasukkan pasword yang sudah ia hafal di luar kepala. Begitu memasuki ruangan tersebut dia tersenyum. Menatap seseorang yang sedang keluar dari dalam kamar. " Dev... kau datang !" seru orang itu melihat kedatangan Devon. dengan cepat Devon menghampiri orang itu dan memeluknya begitu saja. " Aku begitu merindukanmu, Denzel ." kata lirih itu meluncur begitu saja dari mulut Devon. " Akupun juga terlalu merindukanmu , Dev." Cukup lama mereka berpelukan hingga pelukan mereka terlepas. Devon memilih menuju sofa dan duduk disana.  " Kau mau minum apa ?" tawar Denzel. " Berikan aku orange juice. Otak ku sangat panas sekarang dan sepertinya minuman dingin bisa menyejukkannya ." Denzel tersenyum lebar . " Oke. Tunggulah sebentar . " Dan lelaki itu meninggalkan Devon untuk masuk ke dalam pantry yang berada di dalam apartmennya. Denzel Herdia Atmaja adalah nama seorang lelaki pemilik apartmen yang sedang Devon kunjungi. Lelaki itu tak lain adalah kekasih Devon. Ya, Devon adalah seorang gay. Dia memang lelaki penyuka sesama jenis. Dan hubungan antara Devon dengan Denzel sudah terjalin cukup lama. Hampir lima tahun. Tepatnya setelah Denzel pulang dari luar negeri dan menetap di Indonesia. Banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup seorang Devon hingga memutuskan keluar dari jalur normal. Dan bersama Denzel, Devon menemukan kenyamanan. Meski hubungan keduanya tak diketahui orang luar. Hubungan terlarang yang hanya mereka berdua lah yang mengetahuinya. Denzel menyodorkan segelas orange juice pada Devon. Lelaki itu menerimanya dan langsung menyesapnya hingga tandas. Denzel yang kini duduk di hadapan Devon terkekeh melihat tingkah laku Devon. "Kau haus sekali rupanya ?" " Ya, bukankah sudah kukatakan jika otak ku ini sangat panas. terlebih menghadapi sekretaris baruku yang cerewetnya minta ampun . Selalu membantah perintahku membuatku sakit kepala dibuatnya. " " Dimana-mana perempuan itu memang sangat menyebalkan . " timpal Denzel begitu saja dan Devon terhenyak mendengarnya. Devon tahu , jika Denzel sangat membenci wanita. Hingga dia memilih untuk mejalin hubungan bersamanya. Devon dan Denzel sama-sama mempunyai masalah dengan kaum yang berjenis kelamin wanita. Hanya saja konteksnya yang berbeda. Devon mengangkat pergelangan tangan kanan nya dan melihat arloji yang melingkar disana. " Den, aku tak bisa berlama-lama disini. Dan aku harus pergi sekarang. " Denzel tak suka mendengarnya . " Apa ? kau sudah mau pergi ? yang benar saja . Bahkan kau baru saja tiba disini.  " protes Denzel. Devon menghela nafasnya , " Maafkan aku. Tapi aku memang harus pergi sekarang . Aku harus menggantikan Devi menghadiri acara anniversary perusahaan klien. " " Devi .... " Denzel melafalkan sebuah nama yang baru saja di dengarnya . " Iya . Devi, Sekretarisku." Denzel semakin medengus tidak suka  mendapati kenyataan yang ada. "Kau lebih memilih sekretarismu itu daripada aku , Dev ? Bahkan satu minggu lamanya kita tak saling bertemu . Kau sama sekali tak merindukanku?" Devon merasa bersalah pada kekasihnya. Dan entah bagaimana caranya untuk menjelaskan semua ini pada Denzel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD