1. Arjani Larasati Ayu Darmaji

647 Words
Arjani Larasati Ayu Darmaji atau yang lebih akrab disapa dengan Jani tahu bahwa selama ini hidupnya sudah diatur. Mulai dari pakaian apa yang harus dikenakan, makanan yang ia santap, hobi seperti apa yang harus ia sukai hingga bakat seperti apa yang harus ia perdalam semuanya sudah diatur oleh kedua orang tua Jani mungkin sejak ia masih berbentuk janin.   Selama hidupnya, Jani tidak pernah benar-benar memilih dan membuat keputusannya sendiri. Sampai suatu hari sang ibu memperkenalkan Jani dengan seorang pria bernama Ariano Mahesa Kusmawan Hartadi, Jani membuat keputusan untuk meminta dijodohkan dengannya.   Jani baru menemui Ariano satu kali. Tetapi entah kenapa Jani merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya dengan orang lain. Ariano seperti bentuk manifestasi lain dari dirinya. Jani merasakan kesamaan yang nyaris terlalu banyak di antara mereka berdua. Dan salah satunya adalah mereka berdua terlahir sebagai manusia yang memiliki keterbatasan untuk memilih dan memutuskan.   Ibu Jani sebetulnya tidak memiliki niat untuk menjodohkan Jani dengan Ariano karena saat itu Jani masih disibukkan dengan tugas akhir kuliahnya yang sebentar lagi selesai. Maka ketika Jani sendiri yang memintanya untuk bisa dikenalkan dan dijodohkan dengan Ariano, ibu Jani senang-senang saja. Toh, Ariano adalah anak dari sahabat dekatnya.   Namun sayangnya Jani harus patah hati karena ternyata Ariano tidak merasakan perasaan yang sama dengannya. Lelaki itu memilih perempuan lain dan memutuskan untuk berpegang pada pilihannya.   Jani merasakan dunianya runtuh. Ternyata keputusan dan pilihan pertamanya dalam hidup justru mengkhianatinya. Seharusnya sejak awal Jani tidak memilih dan memutuskan. Seharusnya ia hanya perlu mengikuti apa saja yang Ibu dan Ayahnya katakan seperti biasa. Dengan begitu, ia tidak perlu khawatir untuk sakit hati atau terluka.   Maka ketika ayah Jani membawa berita bahwa Jani akan kembali dijodohkan dengan seorang laki-laki bernama Antares Pramudya Hadinata, Jani tidak menolak. Meskipun sebenarnya Jani juga tidak benar-benar memiliki pilihan untuk menolak.   Lagi-lagi Jani memilih orang tuanya yang memilihkan jalan untuknya. Meski itu berarti Jani harus meninggalkan London dan kembali ke Indonesia untuk menjadi seorang istri dari laki-laki yang tidak dikenalnya.   Meski itu berarti Jani akan menikah tanpa mengenal apa itu cinta sebelumnya.   ***   Jani melangkahkan kakinya menyusuri Fournier Street dengan gerakan sedikit cepat. Memasuki pertengahan bulan Desember, kota mulai dipenuhi salju sehingga orang-orang memilih tidak berlama-lama berada di luar ruangan. Saat musim dingin dan salju turun dengan lebat, jalanan di Spitalfields, yang biasanya ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang entah itu untuk berdagang atau tengah berwisata menjadi lebih sepi.   Selama tiga bulan menetap di Spitalfields salah satu distrik di London Timur itu, Jani selalu merasa senang ketika melewati Fournier Street. Jalanan itu dipenuhi bangunan-bangunan artistik seperti rumah-rumah abad ke-18 yang membentang sepanjang jalan. Spitalfields sendiri juga dikenal sebagai lokasi yang cukup ramai oleh seniman dan pekerja kreatifnya. Dan itu adalah alasan mengapa Jani berada di sana saat ini.   Jani sampai di sebuah bangunan dengan tembok bata yang khas. Semua bangunan hampir terlihat sama, yang membedakan bangunan ini dari bangunan adalah sebuah papan besar dengan tulisan terbuat dari potongan keramiknya.   “Morning, Rowena.” Jani menyapa seorang perempuan paruh baya berambut keriting panjang yang sedang duduk di balik etalase.   “Oh, good morning, Jani. I thought you won’t come!” Perempuan bernama Rowena itu tampaknya sedikit terkejut dengan kehadiran Jani di tokonya. “My husband just told me that you will back to your country today.”   Jani tersenyum tipis. “Ya, Rowena, aku akan kembali ke Indonesia hari ini. Penerbanganku nanti malam.” Jani melepas coat yang ia kenakan dan menggantungnya di dekat pintu. “Aku kemari untuk membeli kenang-kenangan.”   “Oh dear, kau bicara seperti tidak akan pernah kembali lagi saja ke sini.” Melihat Jani yang hanya diam saja mendengar ucapannya, Rowena terbelalak. “Holy moly, kau tidak akan kembali lagi, Jani?”   Jani menggeleng pelan. “Sepertinya tidak. Aku akan menikah, bulan depan.”   “Oh?” Rowena menatap Jani bingung. Baru kali ini ia melihat seseorang menginfokan pernikahannya dengan raut tidak nyaman. Tetapi Rowena tidak ingin ikut campur urusan mantan karyawan suaminya di studio keramik itu sehingga ia hanya bisa berkata, “Selamat untuk pernikahanmu, Jani. May God bless your wedding.”   Jani tidak ingin mengamininya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD