2). Sistem Kerjasama

1137 Words
*** "Kita sampai." Persis ketika taksi yang dia dan Tiffany tumpangi berhenti di depan sebuah rumah, ucapan tersebut lantas dikatakan Indira pada perempuan tiga puluh tiga tahun yang baru dikenalnya beberapa waktu lalu. Menilai Tiffany baik dari bagaimana cara perempuan itu bersikap, Indira memang mantap menjadikan Tiffany sebagai ibu pengganti untuk mengandung anaknya juga Marvin dan tak ada penolakan, Tiffany menerima tawarannya tersebut sehingga setelah mengobrol di mobil, keduanya memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan di rumah Indira dan Marvin. "Ini rumah Mbak Indira?" tanya Tiffany yang nampak terkesima usai melihat kediaman Indira yang bisa dibilang bagus. "Iya, ini rumah saya. Ayo turun." "Iya." Tak perlu mengurus ongkos karena pembayaran yang sudah dilakukan lewat aplikasi, selanjutnya Indira membawa Tiffany menuju tangga yang akan mengantar mereka ke pintu utama. Membuka kunci tanpa membangunkan sang art, Indira membawa Tiffany menuju ruang tengah rumah lalu di sana dia mempersilakan tamunya tersebut untuk duduk. "Saya ambilin minum dulu ya," kata Indira sambil melangkah menuju dapur sementara Tiffany sendiri duduk untuk menunggu. Tak lama, Indira kembali membawa dua botol minuman dan tentunya sebelum memulai obrolan, dia meminta Tiffany untuk minum lebih dulu guna mengusir rasa lelah karena katanya tadi, perempuan itu berlari cukup jauh dari rumah tempatnya tinggal. "Mamanya Mbak udah balas belum chat yang Mbak kirim?" tanya Indira setelah Tiffany menegak air yang dia suguhkan. "Udah, Mbak, barusan dan Mama malah nyaranin aku buat enggak pulang dulu karena besok preman tadi mungkin balik lagi ke rumah," kata Tiffany. "Bos mereka pengen banget jadiin aku istrinya dan aku enggak mau karena dia udah tua dan yang aku tahu, dia ada istri juga." "Ya ampun," desah Indira prihatin. "Ya udah kalau gitu untuk malam ini Mbak nginep aja di sini biar besok bisa bicarain semuanya sama suami saya, karena malam ini katanya dia pulang malam. Jadi enggak akan sempat kalau kita bicarain semuanya." "Enggak apa-apa memangnya, Mbak?" tanya Tiffany sungkan. "Saya kan orang asing." "Ya enggak apa-apa," kata Indira. "Meskipun asing, sebentar lagi kan kita bakalan kerjasama dan saya yakin Mbaknya perempuan baik." "Terima kasih untuk penilaiannya, Mbak." Tak menjawab, yang dilakukan Indira setelahnya hanyalah tersenyum hingga usai beberapa detik saling diam, dia kembali buka suara. "Oh ya soal apa yang harus Mbak lakukan sebagai ibu pengganti, Mbak benar-benar cuman mengandung anak saya dan suami saya aja, Mbak," ungkap Indira—menjawab semua rasa penasaran Tiffany bahkan pertanyaan yang sempat perempuan itu lontarkan. "Anaknya nanti berstatus anak saya sama suami saya pun dengan s****a sama sel telurnya yang juga punya kami karena alasan saya enggak bisa punya anak bukan kesuburan saya yang jelek melainkan rahim saya yang enggak memungkinkan." "Oh, jadi bukan saya tidur sama suami Mbak terus nanti anaknya dikasihin ke Mbak sama suaminya ya?" "Bukan, Mbak," kata Indira sambil tersenyum. "Saya memang pengen banget punya anak, tapi ya saya enggak mau juga suami saya tidur sama perempuan lain. Lagipula yang saya pengen tuh darah daging saya sendiri, bukan anak orang lain." Tiffany tersenyum samar. Merasa tak enak karena sudah salah menebak, itulah yang dia rasakan hingga setelah beberapa detik diam, dia kembali buka suara. "Maaf ya, Mbak, kalau saya lancang menebak. Saya pikir bakalan kaya gitu karena kebanyakan yang saya lihat biasanya kaya gitu." "Hal itu mungkin berlaku kalau seandainya si istri kesuburannya kurang atau tidak bagus, Mbak, sementara kesuburan saya baik-baik saja," ucap Indira yang tak terlihat marah apalagi kesal. "Rahim saya yang bermasalah, bukan kesuburan saya jadi saya masih bisa punya anak, tapi enggak di rahim saya." "Ah iya, saya paham." Lagi, Indira tersenyum. Tak ada obrolan kembali untuk beberapa detik, setelahnya dia kembali buka suara. "Untuk saat ini obrolannya mungkin sampai sini aja dulu ya, Mbak. Lanjutannya kita bahas besok pas suami saya ada di rumah karena kebetulan kan saya belum bilang juga sama suami saya tentang ini," ungkap Indira. "Saya baru bilang ke dia kalau saya pengen pake ibu pengganti buat punya anak sementara pertemuan kita, saya belum bilang." "Iya, Mbak. Boleh." "Sekarang mungkin lebih baik Mbak istirahat dulu karena malam juga udah larut," kata Indira. "Setelah besok kita ngobrol, Mbak bisa pulang ke rumah diantar sopir saya dan ya ... Mbak bisa bicarain semuanya sama Mamanya mbak." "Iya, Mbak Indira." "Ayo saya antar ke kamar tamu," kata Indira. "Mbak bisa tidur di sana untuk malam ini." "Iya." Tak banyak menunda, setelahnya yang dilakukan Indira adalah; membawa Tiffany menuju ruang tamu kemudian mempersilakan perempuan itu beristirahat, dan tentunya tak hanya itu, Indira sempat menawarkan pula baju ganti untuk Tiffany. Namun, perempuan itu menolak dengan alasan tak enak dan karena tak mau membuat Tiffany tak nyaman, Indira tak memaksa. "Kalau ada apa-apa chat saya ya, Mbak. Tadi kan Mbak udah simpan nomor saya," kata Indira sebelum meninggalkan kamar Tiffany. "Saya di lantai atas." "Iya, Mbak Indira. Sekali lagi makasih ya untuk pertolongannya," kata Tiffany. "Saya mungkin udah ketangkap kalau seandainya tadi enggak ketemu Mbak." "Sama-sama, Mbak." Tak ada perbincangan, setelahnya Indira bergegas menuju kamar dan setibanya di sana, dia mendapat panggilan dari Marvin sehingga sebelum mengganti baju, Indira menyempatkan diri untuk menjawab panggilan dari suaminya itu. "Halo, Mas." "Mana kabar udah nyampenya, Sayang?" tanya Marvin tanpa basa-basi. "Aku ngecek hp berkali-kali, tapi kamu enggak ada chat. Udah sampai apa belum?" "Maaf, Mas, tadi tuh ada urusan dulu jadi belum sempat ngabarin," ucap Indira. "Aku aman kok, udah sampai dan ini lagi di kamar." "Urusan apa?" tanya Marvin. "Enggak ada sesuatu terjadi sama kamu, kan?" "Aku baik-baik aja, Mas, cuman tadi di jalan pulang taksi yang aku tumpangi tuh hampir nabrak perempuan terus aku nolongin dia karena katanya dia lagi di kejar orang." "Terus?" "Ya aku bawa dia ke taksiku, Mas, dan dia cerita semuanya terus ya aku kasihan," kata Indira. "Dia butuh uang banyak buat lunasin hutang mendiang Papanya dan hal itu bikin aku punya ide." "Ide apa emang?" "Nawarin dia buat jadi ibu pengganti," kata Indira sambil tersenyum. "Karena tadi aku ngomong ke kamu pengen segera punya anak dan pengen pake ibu pengganti, aku coba kasih tawaran buat dia ngandung anak kita dan Mbak itu bersedia, Mas. Aku jelasin ke dia kalau ibu pengganti yang aku maksud tuh bukan perempuan yang harus tidur sama kamu biar punya anak dan dia paham. Dia ngerti kalau tugasnya cuman ngandung anak kamu sama anak aku dan ya ... sekarang dia ada di rumah karena aku suruh Mbaknya buat nginap biar besok kamu bisa ketemu dia." "Sayang, kamu gegabah," ucap Marvin yang membuat Indira mengerutkan kening. "Kamu terlalu baik dan percayaan sama orang tanpa cari tahu dulu siapa sebenarnya dia." "Tapi kan-" "Kalau dia jahat gimana?" tanya Marvin. "Kalau ceritanya cuman karangan, gimana?" "Aku yakin bukan, Mas," kata Indira. "Mbak. Tiffany baik dan aku percaya dia enggak bohong." "Tiffany?" tanya Marvin. "Iya, Mas. Namanya Tiffany Jelita," kata Indira. "Dan dia seumuran sama kamu cuman belum nikah karena sesuatu." "Kamu tahu darimana namanya Tiffany Jelita?" "Dari Mbaknya langsung, Mas," kata Indira. "Kenapa? Kamu kenal?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD