Chapter 3

1275 Words
“Indira pulang~” Seru Indira saat memasuki rumahnya walau ia tahu kalau Ana tak dapat mendengar teriakannya. Indira melepas sepatunya kemudian menggantinya dengan sendal rumah lalu semakin masuk ke dalam menuju kamar sang Ibu. Setelah masuk, ia menemukan Ana telah tertidur pulas. Ia pun menghampiri Ana, duduk di sampingnya lalu menggenggam tangan sang Ibu. Indira menatap Ana cukup lama.    Setiap hari, ia selalu agar sang Ibu tetap sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan Yesus. Indira tersenyum melihat Ana kemudian mengecup keningnya penuh kasih lalu pergi dari sana dan masuk ke kamarnya. Saat ia melepas tasnya, ponselnya kembali berbunyi.    Gilang is calling...    Indira tersenyum kemudian langsung menjawab teleponnya. “Halo” Sapa Indira kemudian menekan tanda speaker pada ponselnya lalu meletakkannya di atas meja. “Halo. Kau sudah pulang? Kata Tony kau berada di toko seharian” Tanya pria bernama Gilang tersebut. “Ya. Aku baru sampai di rumah” Jawab Indira sembari mengganti pakaiannya. “Bagaimana hari ini?” Tanya Gilang. “Ya, begitulah” Jawab Indira. “Berhenti mengatakan itu. Kau terdengar sangat menyedihkan” Pintah Gilang membuat Indira terkekeh. “Hei! Aku serius” Serunya. “Iya, iya” Ujar Indira sembari mengambil ponselnya lalu menon-aktifkan mode speaker-nya kemudian meletakkannya di telinga. “Oh ya, bagaimana keadaan Ibumu?” Tanya Gilang. “Dia baik-baik saja dan aku sangat bersyukur untuk itu. Saat ini dia sudah tidur” Jawab Indira sembari duduk di atas tempat tidur. “Baguslah. Titip salamku untuknya besok saat dia bangun” Pintah Gilang. “Tanpa kau katakan pun dia sudah tahu kalau kau menitipkan salam untuknya karena kau meneleponnya setiap hari” Ujar Indira yang kali ini membuat Gilang terkekeh.    “Baiklah. Sudah dulu kalau begitu. Kau istirahat saja. Aku yakin kau sangat lelah karena seharian di toko” Ucap Gilang. “Ya, dan sepertinya aku butuh pijatan sekarang” Ujar Indira yang kembali membuat Gilang terkekeh. “Kalau begitu aku akan mengirimkan seorang tukang pijat  ke sana melalui mimpimu” Canda Gilang membuat mereka berdua tertawa. “Akan kutunggu” Ucap Indira. “On her way” Ujar Gilang. “Baiklah. Bye” Ucap Indira. “Bye” Ujar Gilang. Indira pun memutuskan sambungan teleponnya masih dengan senyuman di wajahnya bertepatan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Ia pun menengadahkan kepalanya melihat ke arah pintu. “Ma” Ucap Indira dengan bahasa isyarat pada Ana yang tengah berjalan masuk untuk menghampirinya. “Ada apa? Kenapa Mama bangun? Apa Mama membutuhkan sesuatu?” Tanyanya.    “Tidak. Tidak. Tadi Mama terbangun dan ingin mengecek apa kau sudah pulang atau belum” Jawab Ana. “Kalau begitu kembalilah tidur. Nanti Mama sakit” Ucap Indira. “Mama tidak akan sakit hanya karena mengecek keadaan putri Mama” Ujar Ana membuat Indira terkekeh. “Kalau begitu Mama akan kembali ke kamar” Lanjutnya yang dibalas anggukan oleh Indira. Namun saat Ana hendak keluar, Indira menahan lengan wanita paruh baya itu dengan memegang lengannya.    “Ada apa?” Tanya Ana. “Tadi Gilang menelepon dan dia titip salam untuk Mama” Ucap Indira membuat Ana tersenyum. “Ya, tadi dia juga sudah menelepon Mama sebelum tidur” Ujar Ana. “Astaga, dia mengerjaiku” Ucap Indira seraya memasang ekspresi terkejut membuat Ana terkejut. “Sepertinya dia tidak bermaksud seperti itu” Ujar Ana dengan tatapan penuh artinya. “Jangan mulai, Ma. Kami bertiga hanya sahabat. Aku, Gilang, Tony, dan Mama tahu itu” Ucap Indira. “Tapi Mama yakin kalau Gilang berbeda” Ujar Ana. “Ma...”                        “Iya, iya, Mama mengerti. Mama hanya bercanda” Potong Ana. “Mama masuk ke kamar dulu. Selamat tidur” Lanjutnya. “Selamat tidur” Ucap Indira. Setelahnya, Ana benar-benar pergi dari sana. Indira menghela nafasnya dengan tatapan yang tertuju pada pintu yang baru saja di lalui sang Ibu. Dalam benaknya, ia selalu membenarkan bahwa mereka bertiga memang hanya bersahabat. Sahabat.    Tak ingin memikirkan hal itu terlalu lama, Indira memutuskan untuk tidur. Ia lantas menyimpan ponselnya di meja nakas lalu berbaring di tempat tidur seraya menutupi setengah tubuhnya dengan selimut kemudian menutup matanya menuju alam mimpi.    -------                           “Ini laporan kinerja karyawan bulan lalu yang Anda minta, Pak” Ucap Leah, sekretaris Aldrich seraya memberikan sebuah map pada pria itu. “Terima kasih, Lea” Ujar Aldrich sembari mengambil map yang diberikan Leah. “Sudah tugas saya, Pak. Kalau begitu saya permisi” Pamit Leah kemudian keluar dari ruangan Aldrich yang kini telah menjabat sebagai CEO perusahaan. Pria itu mengikuti jejak sang Ayah menjadi penerus perusahaan di usia muda walau Will terkadang ikut menangani masalah perusahaan.    Aldrich lantas membuka map yang berisikan beberapa berkas tersebut. Melihat dan membaca beberapa grafik dan angka yang berada di sana. Pendapatan perusahaan bulan lalu menurun tiga persen. Ia ingin memastikan apakah itu karena kinerja para karyawan yang menurun atau alasannya memang ada di pasaran.    Dan setelah ia cek lebih lanjut, ternyata dugaannya benar. Penurunan pendapatan perusahaan memang disebabkan karena kinerja karyawan yang menurun membuat Aldrich menghela nafas. Pria itu pun terdiam selama beberapa saat di tempatnya memikirkan jalan keluar untuk masalah ini.    Jika ia menekan para karyawan untuk menaikkan kinerja mereka, maka yang terjadi pasti sebaliknya. Kebanyakan dari mereka akan mengalami stres berlebih dan kinerja mereka akan semakin menurun.    Aldrich mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja sejenak sebelum menekan tombol interkom di sudut mejanya yang dapat terhubung langsung dengan sang sekretaris.    “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya Leah. “Panggil George ke sini” Pintah Aldrich. “Baik, Pak” Ucap Leah. Tak lama kemudian, pria bernama George pun masuk ke dalam ruangan Aldrich setelah meminta izin tentu saja. George merupakan pria yang menjabat sebagai General Manager di sana.    “Anda memanggil saya, Pak?” Tanya George. “Ya, aku ingin kau mengumumkan sesuatu” Ucap Aldrich seraya menyatukan kedua tangannya di atas meja. “Silakan, Pak” Ujar George. “Saya ingin mengadakan perlombaan yang berlaku untuk semua tim. Perlombaan untuk meluncurkan produk baru yang berkualitas untuk dipasarkan empat bulan dari sekarang. Mereka tidak perlu persetujuan saya untuk produk tersebut karena tiga produk yang paling diminati di pasaran akan mendapatkan hadiah. Hadiah untuk tim pemenang pertama sebesar lima puluh juta, hadiah kedua sebesar tiga puluh lima juta, dan hadiah ketiga sebesar dua puluh juta. Khusus pemenang pertama, tim mereka akan mendapat tambahan gaji lembur untuk empat bulan. Sementara tim yang tidak memenangkan hadiah utama akan diberikan gaji lembur untuk dua bulan” Jelas Aldrich.    “Apakah kriteria untuk menjadi pemenang hanya berdasar pada produk yang memiliki minat paling banyak di pasaran, Pak?” Tanya George. “Tidak. Selain produk, mereka juga akan dinilai melalui kinerja mereka selama empat bulan itu. Jadi mereka harus bisa menyesuaikan waktu untuk pekerjaan harian dan perlombaan ini” Jawab Aldrich.    “Baik, Pak” Ucap George. “Satu lagi, lomba ini tidak diwajibkan untuk diikuti oleh semua tim. Lomba ini hanya untuk mereka yang berminat. Dan tolong berikan padaku daftar tim yang mendaftar untuk lomba ini” Pintah Aldrich.    “Kalau begitu, kapan batas akhir untuk pendaftarannya, Pak?” Tanya George. “Minggu depan dan pengumumannya akan diumumkan di akhir bulan ke empat” Jawab Aldrich. “Baik, Pak” Ujar George. Setelahnya pria mudah tersebut pamit dari ruangan Aldrich bertepatan dengan interkom yang berada di sudut mejanya berbunyi.    “Ada apa?” Tanya Aldrich. “Saya ingin mengingatkan bahwa Anda memiliki pertemuan dengan Pak Suhendra di restoran Sky satu jam lagi, Pak” Jawab Leah. “Baiklah. Siapkan mobil. Sepuluh menit lagi saya akan berangkat” Pintah Aldrich. “Baik, Pak” Ujar Leah. Aldrich lantas segera menandatangani beberapa berkas yang menurutnya lumayan penting sebelum berdiri dari duduknya lalu pergi dari sana setelah memakai jasnya. Leah pun telah menunggu pria itu tepat di depan pintu kemudian mereka bersama-sama turun ke lobi di mana sebuah mobil telah menunggu untuk mengantar mereka ke restoran Sky.    Setelah sampai di restoran tersebut, Aldrich langsung menuju ke ruangan tempat pertemuannya dengan pria bernama Suhendra tersebut dilakukan. “Pak Aldrich” Sapa Suhendra begitu melihat Aldrich memasuki ruangan tersebut. “Pak Suhendra” Balas Aldrich seraya menghampiri pria paruh baya yang masih bugar tersebut. “Bagaimana kabarmu, Nak?” Tanya Suhendra sedikit berbasa-basi. “Baik” Jawab Aldrich singkat. Tanpa membuang waktu, mereka pun langsung membicarakan mengenai tujuan pertemuan mereka hari ini yang ditutup dengan makan siang bersama setelah mereka mencapai sebuah kesepakatan.    Setelah selesai, Suhendra bersama sekretarisnya pergi dari sana lebih dulu meninggalkan Aldrich dan Leah yang menatap kepergiannya di depan pintu.    “Al” Panggil seorang wanita sembari menghampiri Aldrich. -------                            Love you guys~         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD