Chapter 2

1034 Words
“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Sambut seorang wanita yang bekerja di sebuah toko boneka dengan senyum ramahnya pada seorang pelanggan yang datang. Tidak, lebih tepatnya itu adalah tokonya sendiri. Dialah Indira Alexandria. Seorang wanita cantik berusia dua puluh lima tahun yang masih melajang. “Aku mencari boneka untuk hadiah ulang tahun untuk temanku, dia sangat suka dengan boneka babi” Ucap sang pelanggan. “Baiklah. Silakan ikut saya, Nona” Ujar Indira sembari memandu sang pelanggan untuk mengikutinya. Setelah sampai, ia pun menunjukkan koleksi boneka-boneka babinya pada pelanggan tersebut. Ia juga merekomendasikan beberapa boneka yang menurutnya bagus. Seusai memilih boneka, pelanggan tersebut membayar dua buah boneka yang ia pilih di meja kasir. Setelah selesai, pelanggan tersebut pergi sementara Indira terdiam merenung di tempatnya. Ia teringat dengan salah satu pelanggan tetapnya yang juga selalu membeli boneka babi setiap minggu selama dua tahun belakangan. Maka dari itu, ia selalu menyiapkan model terbaru dari koleksi boneka babinya. Namun minggu ini, pria itu belum datang. Sejujurnya ia sangat penasaran untuk siapa pria itu membeli boneka-boneka itu? Karena tidak mungkin pria itu membeli boneka tersebut untuk dirinya sendiri. Untuk saudaranya? Atau kekasihnya? Kalau memang untuk kekasihnya, berarti hubungan mereka berdua berjalan dengan baik karena hingga minggu lalu, karena pria itu masih datang untuk membeli bonekanya. Sebenarnya ia ingin bertanya pada pria itu tapi ia urungkan karena takut kalau ia terlalu melewati batas antara penjual dan pembeli. Ia juga tidak ingin membuat pelanggannya merasa tidak nyaman. Pria itu juga sepertinya sangat pendiam dan entahlah, dingin mungkin? Maka dari itu, ia hanya bisa menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Ditengah lamunan Indira, tiba-tiba ponselnya berbunyi yang menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Ia pun segera mengambil ponselnya yang berada di saku celananya. *** From : Tony Kau sedang apa? *** *** To : Tony Memangnya apa lagi kalau bukan bekerja? *** *** From : Tony Kau ada waktu malam ini? ***              ***            To : Tony Tidak bisa. Hari ini aku harus berada di toko hingga malam karena Cahya tidak bisa masuk hari ini ***                  ***               From : Tony Baiklah. Kalau begitu besok saja ***                ***               To : Tony Ok ***               Setelah selesai membalas pesan dari pria bernama Tony tersebut, Indira kembali menyimpan ponselnya di atas meja. Cahya merupakan satu-satunya karyawan yang ia miliki. Ketika Indira berjaga hingga sore, maka Cahya akan berjaga saat Indira pulang hingga malam. Namun hari ini wanita itu tidak bisa datang lantaran memiliki urusan mendadak. Tak lama kemudian, ponsel Indira kembali berbunyi menandakan ada telepon yang masuk. Lebih tepatnya video call. Dengan senyuman di wajahnya, ia pun segera mengangkat telepon tersebut. Mama is calling... “Halo, Ma” Sapa Indira pada sang Ibu, Ana Elisa, menggunakan bahasa isyarat. “Halo. Kamu sedang apa, sayang?” Tanya Ana yang juga menggunakan bahasa isyarat. Yap, Ana merupakan penderita tuna wicara dan tuna rugu. Wanita paruh baya itu tidak bisa mendengar dan berbicara hingga ia hanya bisa berkomunikasi melalui bahasa isyarat. Maka dari itu, ia selalu menelepon sang putri menggunakan video call agar ia bisa berkomunikasi dengan lancar. “Hanya duduk-duduk, sedang tidak ada pelanggan” Jawab Indira. “Kamu mau dibuatkan apa untuk makan malam nanti?” Tanya Ana. “Hari ini aku akan berada di toko sampai malam karena Cahya tidak bisa datang. Jadi sepertinya aku akan makan di luar malam ini” Jawab Indira membuat Ana sedikit kecewa. “Baiklah kalau begitu. Hati-hati saat pulang nanti. Akhir-akhir ini banyak kejadian begal di televisi” Ucap Ana. “Iya, Ma. Mama juga jangan lupa kunci pintu dan jendela” Ujar Indira. “Tentu” Ucap Ana. “I love you, Ma” Ujar Indira. “I love you too, sayang” Ucap Ana dengan senyumnya. Indira pun memutuskan panggilan videonya sebagai akhir dari perbincangan mereka. Dan sekali lagi, ia kembali meletakkan ponselnya di atas meja sembari menghela nafas. Ana merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya. Ayahnya telah lama meninggal dan kedua orang tuanya pun merupakan anak tunggal jadi ia tidak memiliki kerabat lain. Maka dari itu, ia sangat menyayangi sang Ibu. Sebisa mungkin, ia selalu membuat Ana tersenyum dan tidak melakukan pekerjaan yang berat karena ia tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang ia sayang setelah satu-satunya hal yang berharga baginya direnggut begitu saja. Indira menghela nafas dan berusaha melupakan semuanya. Tapi bagi Indira, melupakan itu semua sangat sulit baginya karena tubuhnya terus saja bergerak tak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dan itulah yang ia lakukan setiap hari. Melupakan tapi tetap melakukannya tanpa aba-aba sedikit pun. -------                    “Al” Panggil Macy, sang Ibu saat Aldrich baru saja memasuki mansion. “Iya, Mom” Ucap Aldrich seraya berjalan mendekat ke arah sang Ibu yang juga berjalan ke arahnya. “Tadi Mommy menemukan boneka Ev di kamarmu, apa kamu yang memindahkannya?” Tanya Macy yang membuat Aldrich langsung merutuki dirinya sendiri. “Ah, iya Mom. Kemarin Ev meminta salah satu foto bonekanya dan aku lupa mengembalikannya kembali” Jawab Aldrich. “Oh, baiklah. Kalau begitu, nanti kembalikan lagi boneka itu ke kamar Ev. Orang-orang bisa salah paham kalau boneka itu adalah milikmu jika melihatnya di kamarmu” Ucap Macy tepat sasaran. “Baik, Mom” Ujar Aldrich. “Mommy mau ke mana?” Tanyanya saat menyadari sang Ibu membawa tas tangannya. “Mommy mau ke rumah Aunty Rachel. Dia bilang mau membuat brownies jadi Mommy dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu” Jawab Macy. “Mau Al antar?” Tawar Aldrich. “Tidak perlu, tadi El bilang dia akan mengantar Mommy. Mungkin sebentar lagi dia akan datang” Tolak Macy bertepatan dengan suara klakson mobil yang berbunyi beberapa kali serta teriakan Delwyn yang memanggil-manggil sang Ibu. “El sudah datang, Mommy pergi dulu. Nanti Mommy akan bawakan brownies saat pulang” Pamit Macy kemudian mengecup pipi Aldrich. “Iya, Mom. Hati-hati” Ucap Aldrich yang hanya di balas gerakan tangan oleh sang Ibu sebagai tanda ‘Ok’ tanpa berbalik. Aldrich pun terkekeh melihat tingkah sang Ibu. Walaupun usianya tak mudah lagi, tapi kelakuannya masih seperti anak remaja. Begitu pula dengan sang Ayah, Will. Sedetik kemudian, mata Aldrich langsung terbelalak dan segera pergi menuju kamarnya. Setelah sampai di kamarnya, ia lantas segera mengambil boneka babi yang tengah duduk manis di atas tempat tidurnya. Ia memeluk boneka itu sembari menghela nafas. Untungnya ia bisa melewati pertanyaan sang Ibu dengan aman. Tak ingin membuang waktu, ia pun segera keluar dari kamarnya menuju kamar Evelyn sembari membawa boneka babi itu lalu meletakkannya kembali ke tempatnya dengan rapi. Tak apa, sebelum tidur ia akan mengambilnya kembali. Begitulah pikirnya seraya tersenyum. -------                  Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD