3. D-N-A

1815 Words
ARDRA POV Menyibukan diri itu merupakan salah satu jurus terjitu untuk mengalihkan perhatian. Sejak aku pindah ke rumah Ayah, aku jadi makin sibuk. Bangun lebih pagi karena harus mengarungi kemacetan jalanan pagi hari, lalu tidur lebih malam karena banyak yang harus diurus. Tubuhku sanggup? Yaa gak terlalu sih, kalau gak ada kopi dan rokok mungkin aku sudah sekarat. Seminggu terakhir ini 3ACorps sedang ramai, ada anak-anak sekolah yang mau bikin baju kelas buat lomba senam, sampai ibu-ibu komplek yang mau outbond. Kerjaan gak bisa ditinggal barang sedetik, bahkan napas aja nyuri-nyuri waktu. Ini membuat aku sudah tak bisa lagi membuntuti Nares, meskipun aku tetap dapat laporan dari Vizar, katanya Nares sekarang merokok. Dia sering ikut anak lelaki di kelasnya nongkrong dan mulai coba-coba. Tentu, aku pedih mendengarnya. Sekalut apa pikirannya sampai ia berani mencoba untuk merokok? Nares itu anaknya cari aman. Aku tahu itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Ia tipe anak yang ngikutin arus tenang, dia tipe yang 'yaudah lah gak apa-apa, yang penting gue selamet.' jadi merokok merupakan hal yang luar biasa jika itu dilakukan Nares. "Dra! Ayo balik! Kelar nihh!" Seruan Azmi membuatku tersadar ke alam nyata. "Udah kelar semua Mi?" Tanyaku. "Udah, besok yang anak SMA itu lo yang temuin ya? Pagi jam 9 bisa?" "Oke." "Yuk deh! Balik kan lo?" "Iye balik." Azmi segera meraih kunci mobilnya dari gantungan, lalu berjalan keluar. Aku juga mengambil kunci mobilku. "Bye!" Serunya. Aku mengangguk. Kami pisah di parkiran. Kubiarkan Azmi keluar lebih dulu, lalu aku menyusul. Aku tak mengarahkan mobilku ke jalan pulang, tapi ke arah kota. Bogor lewat pukul sepuluh malam. Bogor ada di jam-jam terbaiknya. Jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan yang menyala, taman-taman kota yang memanjakan mata. Semua terlihat jauh lebih indah jika dilihat pukul sepuluh malam lewat. Dari arah jalan Sudirman, aku turun ke jalanan sempur, lalu belok kiri ke arah taman kencana. Aku masuk ke perumahan ini, lalu diam di depan tanah kosong. Dari tempatku diam, aku bisa memandang rumah berwarna krem, lampu depan dan samping rumah menyala namun lampu bagian dalam sudah mati. Ada satu ruangan di lantai dua yang lampunya masih menyala, dan mataku terfokus pada cahaya itu. Aku tak tahu letak kamar Nares di rumah itu, apa di lantai dua atau lantai satu? Apa cahaya lampu yang kulihat itu berasal dari kamarnya atau tidak. Tapi, lagi-lagi aku mempercayai instingku. Aku percaya kalau itu berasal dari kamar Nares. Dia belum tidur. Aku diam sampai lampu kamar itu mati, sekitar pukul setengah satu malam. Apa yang ia lakukan sampai semalam itu? Bukankah paginya ia harus kuliah? Kuputar mobilku, serkarang mengarahkannya menuju rumah Ayahku. Sekian puluh menit di jalan, aku masuk ke rumah dan disambut oleh Ayah yang masih menonton TV. "Dari mana aja kamu?" Tanya Ayah saat aku hendak mencium tangannya. "Muter-muter Yah. Nyari udara malem." Jawabku sembari duduk di samping Ayah. "Kamu udah gede, tapi kamu tetep anak Ayah, Dra." "Ya iyalah!" "Maksud Ayah tuh... kamu bebas menentukan hidup kamu seperti apa, tapi jangan yang menghancurkan kamu." Kata Ayah. Aku diam. "Kakakmu cerita sama Ayah. Kamu patah hati, bener?" Aku tersenyum kecut, Daru udah mulai bocor sekarang. Gak asik! "Patah hati itu wajar Dra. Semua orang pernah patah hati. Tapi kok kamu kaya gak berusaha lepas dari rasa sakit. Kamu tahu? Luka itu perkara tinggali atau tinggalkan, dan kamu punya sepasang kaki. Harusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." Ayah memulai ceramahnya. "Yes, Sir. But I'm just trying to enjoy the pain." Kataku. Ayah langsung tersenyum, mengacak rambutku. Ah, aku rindu masa kecilku, saat aku digendong dipundak Ayah dan akulah yang mengacak rambutnya. "Lucu kamu tuh! Cari cewek lain sana." "Move on kan gak sekedar punya pacar baru, Ayah." Kataku. "Iya tahu, tapi kalo kamu punya cewek kan kamu gak harus terpaku ke yang lama. Ada yang kamu urusin." "Engga ah, nanti aja." "Yaudah! Masuk kamar sana. Udah malem banget ini!" "Siap ayah!" ** "Kak, kalau mau pesen baju tapi satuan bisa?" Tanya anak SMA bernama Melly ini. Melly dan seorang temannya yang pagi ini kutemui untuk mengambil baju pesanan mereka. "Bisa, tapi ya harganya beda." Kataku. "Kalo minta di-desain di sini boleh?" "Boleh." Melly mengangguk senang, tapi aku melihat maksud lain dari semua pertanyaannya itu. "Bisa minta kontak Kakak?" Tanyanya. "Bukannya udah ada kontaknya Arvan ya? Sama aja kok." Kataku. Nah ini nih motif sebenarnya dibalik setiap pertanyaan tadi. "Kak Arvan itu yang kemarin ya? Agak judes tau Kak." Katanya. Akhirnya aku memberikan nomorku, demi profesionalitas kerja, yasudah lah. Anggep aja ini kaya ke bengkel. Kamu bisa bebas pilih mau dilayani mekanik yang mana. "Makasih ya Kak! Nanti aku chat Kakak deh!" Aku mengangguk. Melly langsung berbalik dan menarik temannya keluar dari ruko. "Eh bego! Bajunya masa ditinggal!" Seru temannya. Keduanya tertawa lalu berbalik. "Mau dibantu angkatin?" Tanyaku. "Boleh Kak Ardra." Ujar Melly dengan suara yang dimanis-maniskan. Aku hanya tersenyum lalu mengangkat dua kardus baju ke luar, Melly membuka bagasi mobilnya, aku langsung memasukannya. "Makasih ya Kak." Katanya. "Sip! Sama-sama. Kalau mau bikin baju lagi, ke sini aja." Kataku. "Iya Kak pasti, bye!" Serunya. Aku mengangguk, ikut melambaikan tangan. Setelah Melly dan temannya itu pergi, aku masuk ke ruko. Duduk-duduk santai di ruang tamu yang dijadikan ruangan resepsionis ini. Sumpah sih, ini semua kerjaan udah beres, Azmi dan Arvan lagi anter barang yang sudah selesai, aku kosong, gak ada kerjaan. Seharian di ruko, akhirnya aku menutup ruko ini pukul empat sore, asik juga bisa pulamh siang ke rumah Ayah. Rasanya sudah berminggu-minggu aku pulang malam terus. Satu jam lebih di jalan, aku sampai di rumah. Kuparkirkan mobilku di samping motornya Daru, lalu masuk ke rumah. Di dalam rumah, ada Daru, Dara, Gina dan Hafiz, anak-anak tetangga yang umurnya tidak berbeda jauh denganku. "Rame amat?" Kataku begitu masuk. "Sini lo!" Seru Daru, aku mengangguk lalu menggeser Hafiz. "Apaan dah?" "TK yang di depan, mau ada study tour ke dufan, ngajak anak-anak muda sini buat jadi panita, biar ada partisipasi gitu antara warga sama guru dan murid-murid. Kita lagi rapat." Jelas Daru. "Buset, anak TK? Kita jadi babysitter gitu?" Tanyaku. "Yaa bisa dibilang gitu, kepala sekolah udah bikin proposal dan diterima. Nah ada beberapa nama yang ditunjuk jadi panitia, kebanyakan yang udah lulus SMA sih." Lanjut Daru. "Emang lo anak muda Kak?" Tanyaku, beberapa dari kami yang kumpul langsung nyengir. "Kak Daru kan belum nikah, jadi yaa termasuk anak muda lah." Ujar Dara. "Ciye dibelain!" Ledekku, Daru langsung pasang wajah kesal. "Ini anak bikin rusuh aja, lo kalo gak mau ngikut mending masuk kamar sana, main burung!" Seru Daru, kali ini gue yang diketawain bocah-bocah kampret. "Iye, iye sayang, ayok ah lanjut!" Goda gue ke Daru. *** Ke dufan bareng bocil-bocil pun jadi, seneng sih, cuma?? Gosh aku tuh mau banget ke dufan sama Nares, kita pernah bikin rencana, sudah hampir terlaksana tapi batal karena malamnya Nares demam, tentu saja paginya aku lebih memilih menjenguknya, menghabiskan waktu berjam-jam di ruang tamu rumahnya sambil nonton serial The Flash dari laptopnya, Nares berbaring di sofa, aku di karpet. Sesekali ia mengusap rambutku. Bayangkan. Itu jauh lebih seru dibandingkan semua wahana yang ada di dufan. "Kak Ardra, gue takut deh." Ujar Dara yang tiba-tiba ada di sampingku. "Takut? Takut kenapa?" "Kak Daru, deketin mulu." Aku langsung tertawa mendengar itu. Bagus juga si Daru, udah ada pergerakan. Kayanya dia emang mau melepas masa lajangnya untuk gadis di sebelahku ini. Good deh! "Masa sama jarum tato gak takut tapi sama keringet kudanil macem Kak Daru takut sih?" Tanyaku. Ya, Dara memang bertato, dan tatonya tuh lucu, gambar bunga-bunga kayak di gendongan jarik emak-emak.          Kaya cewek-cewek yang lagi kawinan gitu loh, tapi dia mah permanen. Keren sihh. Sama kaya aku, dia juga sering bikin ulah di komplek. Dara itu versi cewek dari aku kayanya, cuma lebih kalem dan nurut aja, karena cewek. "Jarum tato nyakitinnya pasti, Kak Daru?" Ujarnya. Aku nyengir lagi. "Udeh, hari ini lo sama gue aja deh Dar, biar Kak Daru gak gangguin." Kataku. Sekalian lah, enak kan kalo aku bisa promosiin Kakakku tersayang itu sama anak ini. Kali aja beres wisuda Dara langsung nikah sama Daru, dan hastag DaraDaruHalal terealisasikan tahun depan. "Tapi jangan bilang-bilang Kak Daru kalo gue cerita ya Kak?" "Siap!!" Hari ini sih judulnya happy-happy, gak awasin bocil-bocil, tau kenapa? Orang tua mereka ikut, sob. Kan ini panitia jadi kaya gak ada guna gitu. Tapi gak apa lah, lumayan aku dapet liburan gratis. Aku dan Dara terpisah dari rombongan, sesekali aku mengatakan pada Dara tentang kelebihan-kelebihan Kak Daru. "Dia tuh anak kesayangan Ayah deh!" Kataku. "Kenapa?" "Sesalah apapun Daru, kayaknya Ayah gak pernah mukul dia. Beda sama gue." "Waah?!" Seru Dara. "Iya. Kalo matanya Daru gak minus, udah jadi tentara dia." "Kenapa lo gak mau jadi tentara Kak? Keren kali kaya bokap lo, apalagi bokap gue, keren banget!" "Gak mau aja, gak minat." Dara mengangguk, kami berjalan ke wahana kicir-kicir, mengatri dalam diam karena aku bingung mau bahas apa. Jangan terus-terusan bahas Daru, nanti si Dara eneg. Tiba giliran kami, aku langsung mencari tempat, seperti sebelumnya, Dara di sampingku. "Kak, gue takut pusing deh naik ini." "Merem!" Saranku. Dara mengangguk. Wahana berjalan dan terdengar jeritan dari orang-orang yang naik, Dara jerit kenceng banget dan aku tertawa, entah kenapa naik wahana gini tuh geli, bukan pengin teriak tapi malah pengin tertawa. Permainan selesai, Dara terlihat pucat dan jalannya sedikit oleng. Kuraih lengannya agar tak jatuh. "Sorry nih, tapi pegangan aja dulu, gue ngeri lo tiba-tiba jatoh!" Kataku, Dara hanya mengangguk dan memijat-mijat pelipisnya. "Mau minuman gak lo? Coklat deh? Kita cari minum yuk?" Ajakku. Detik berikutnya, Dara muntah di pinggiran, dekat tanaman-tanaman yang menghiasi tempat ini. "Bentar! Gue beli air Dar." Kataku, aku langsung berlari mencari kedai terdekat yang berjualan minum. Kembali, kuberikan air tersebut dan Dara langsung kumur-kumur. "Cemen lo! Gitu aja muntah." "Huh! Gue terima deh tawaran lo, cari es coklat." Katanya. "Hop-hop mau?" "Boleh." Aku kembali menggengam tangannya sambil berjalan, jaga-jaga kalau dia tiba-tiba jatuh. Kami berjalan ke arah wahana halilintar, tadi kalau gak salah aku liat ada stand hop-hop berdiri di sana. Kami sampai, begitu aku hendak buka suara untuk memesan, aku kaget melihat sosok yang sedang berdiri di dekatku ini. Nareswari! Ya, Bidadariku berdiri di dekatku, jaraknua hanya sehasta dan ia sedang merokok. "Estu?" Panggilku tak percaya. Aku menyebut nama panggilannya agar ia sadar kalau aku memanggilnya, dia pernah bilang kalau dia tak terbiasa dengan panggilan Nares. Ia menoleh, lalu memasang wajah kaget, sama sepertiku. Tatapannya kemudian jatuh ke lenganku yang menggenggam lengan Dara, aku langsung melepasnya, takut ia berfikir yang tidak-tidak. "Ngapain?" Tanyaku. Bodoh! Aku tahu dia ngapain di stand hop-hop! Harusnya aku tanya kabarnya. Bodoh! Ardra! Bodoh! "Beli minum." Jawabnya kalem, sedikit tersenyum, lalu ia memandang ke arah Dara. Duh, aku tidak ingin ia salah paham. Bisakah ia kuculik sebentar? Melepas semua kerinduan yang selama ini mengendap di dadaku? "Mbak!" Si penjual Hop-hop memanggilnya. Lalu ia menerima minumannya sambil membayar. "Dra, duluan yaa, itu yang di samping Ardra, duluan yaa, permisi!" Katanya dengan nada lembut dan senyum yang manis. Lalu ia berjalan cepat tanpa aku sempat membalas ucapnnya. "Estu!" Aku memanggilnya lagi, ingin rasanya berlari dan menahannya untuk tidak pergi, tapi kakiku terasa berat sekali. "Duluan ya Dra! Sorry! Ditunggu Papa!" Serunya sambil menoleh lalu pergi meninggalkanku. "Estu!" Aku memanggil namanya lagi, kali ini ia tak menoleh. Ia menjauh, kembali ke Papanya, kembali ke keluarganya, ke Mamanya. Aku tahu, Nares pasti akan memilih keluarganya dari pada aku. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang baru dan Nares bukan tipe manusia yang berani menghadapi resiko besar. Bukan salahnya, dia juga korban. "Kak jadi pesen gak?" Dara menyadarkanku. "Lo aja deh Dar, gue mau duduk dulu, lemes." Kataku sambil menjauh dari stand hop-hop dan duduk di kursi semen yang ada. Jatuh hati dan patah hati disaat yang bersamaan ternyata seperih ini ya? Bisakah aku mati rasa, Tuhan? **** TBC Thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD