2. Move

1469 Words
ARDRA POV Bulan-bulan berlalu, dan aku punya gelar baru sekarang; penguntit. Sekarang, tiap ada waktu kosong, pasti kugunakan untuk mengetahui keberadaan Nares, bisa lewat beberapa temannya, atau kadang aku memang sengaja membuntutinya, hanya untuk tahu dia baik-baik saja. Ya, aku memang dilarang menampakan diri lagi di hadapannya, tapi tak ada yang pernah bilang kalau aku tak boleh melihatnya dan mejaganya dari jauh. Jadi, kurasa hal ini sah-sah saja kulakukan. Pukul sebelas malam, aku sampai ke ruko baru yang sudah kutempati selama dua bulan terakhir ini. Lampu lantai satu bagian dalam masih menyala, sepertinya Arvan masih ada di dalam kalau dilihat dari motor yang terparkir. Setelah memarkirkan motor, aku langsung masuk ke dalam dan menyapa salah satu temanku ini. "Belum balik Van?" Tanyaku sambil duduk di kursi. Rukoku ini sama seperti tempatku sebelumnya, hanya saja tempat ini dua setengah lantai, ada rooftop yang bisa dipakai untuk menjemur hasil. "Dra! Gue tau sih lo lagi gak enak hati. Cuma, gimana yaa gue bilangnya." Ujar Arvan sambil menumpuk kaus. "Apa?" Tanyaku. "Gak enak gue sama lo. Tapi dari pada ngomong di belakang kan mending langsung ya?" "Apaan sih? Lo kaya orang baru aja." "Lo kenapa sih? Gue kenal lo dari TK, Dra. Patah hati kali ini sedahsyat apa sampe berkali-kali kiriman baju lo lupain? Gak follow-up konsumen pula!" Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaannya. "Gue tahu lo baru putus, tapi man! Ini udah tiga bulan? Sebulan awal gue ngerti dah, tapi ini? Ada yang harus nampar lo Dra, biar lo sadar. Gue bersedia jadi orang yang nabok lo paling kenceng kalo itu bisa bikin sahabat gue balik lagi." Kata Arvan. Aku tertawa meledeknya. "Come on Dra!" "Kasih gue waktu." Kataku. "Berapa lama lagi anjing??" "Tiga hari lagi dan gue janji semua normal." "Oke!" Arvan setuju, ia bangkit, sudah selesai, lalu menepuk bahuku sebelum keluar ruko. Aku diam di tempat. Saat suara motor Arvan sudah tak terdengar, aku menutup pintu ruko ini dari luar, lalu kembali masuk lewat pintu samping, langsung naik ke lantai dua. Aku membuka kunci pintu masuk. Ya, seperti sebelumnya, lantai dua kujadikan tempat tinggal pribadiku, hanya saja kali ini tempatnya lebih kecil. Hanya ada satu kamar, satu ruang bersantai dan kamar mandi. Aku tidur di sofa sambil memandang layar ponselku. Memandang sosok yang kujadikan homescreen ini.          Aku merindukan dia. Aku rindu bercanda dengannya, aku rindu duduk bersama sambil menceritakan pengalaman seru kami, dan aku rindu santai-santai berdua dengannya sambil menonton tayangan TV yang di-mute. Kutarik nafas panjang, lalu membuka gallery, mengganti homescreen tadi dengan gambar logo usahaku 3A Corps! Semoga, ini jadi awal yang baik untuk melupakan masa lalu. Semoga. Aku harus fokus pada hidupku, bukan berarti berhenti mencintainya. Aku hanya merasa harus bertanggung jawab dengan hidupku, bertanggung jawab pada tugas dan pekerjaanku, tanggung jawab pada orang-orang di sekelilingku. Soal hati? Biar aku saja yang mengatasinya, tak perlu melibatkan banyak orang. Ada yang bilang; Cinta itu judi yang tidak mengenal mata uang. Saat pilihanmu membawa kekalahan, hidupmu menjadi barang gadaian. Dan saat ini, aku kalah! *** "Rumah udah laku, Dra. Lo mau ruko ini dibeli apa gimana? Duitnya cukup kok. Utang lo juga lunas." Ujar Kak Daru saat kami bertemu di rumah Ayah. "Menurut lo, Kak?" "Yeh nanya balik! Lo nyaman gak di tempat sekarang?" "Selama anak-anak gak ngeluh, kayanya sih oke. Cuma ya emang agak kecil." Jelasku. "Cari ruko yang gedean gimana?" "Cariin ya!" "Oke!" "Oh iya Kak, kayanya gue full di sini aja deh. Gue udah pindahin baju sebagian." Kataku. "Eh? Seriusan dek?" "Iye, gue butuh suasana baru. Gue ngerasa barang-barang lama gue kaya kotak kenangan tau gak!" "Najis! Lo kaya baru sekali pacaran aja!" Ledek Daru. Ya, Daru tahu semua. Aku butuh alasan kenapa aku tiba-tiba ingin jual rumah dan pindah ke ruko. Jadi kuceritakan semua masalahku padanya. Syukurlah, Daru mengerti. "Dua tahun, bro!" "Sepuluh tahun juga kalo bukan jodoh, bisa apa lo?" "Bisa ke dukun! Hahaha!" Jawabku asal. "Gue suruh Ayah tembak lo nanti!" Aku tertawa sambil memasukan daun melinjo dan kacang panjang ke dalam panci. Kalian tahu aku dan Daru sedang apa? Yak! Masak. Masak tiap senin di rumah Ayah itu wajib. Meskipun kami sudah besar, mandiri dan punya kesibukan masing-masing, kami sudah berjanji dan berkomitmen akan selalu ada hari untuk Ayah dalam setiap minggunya. Karena kami hanya punya beliau. Bunda kami sudah meninggal bertahun-tahun lalu karena kanker. Cancer... an abnormal cell changed everything. "Dek, lo yang goreng paru ya? Gue kebelet! Itu sayur udah gue bumbuin kok!" Ujar Daru, aku mengangguk. Daru itu kaya burung, makan dikit langsung eek. Aku pernah ledekin dia untuk bawa pispot portable kemana-mana, tau apa? Aku langsung dihajar sama dia. Daruprada itu duplikat Ayah. Dia ingin jadi TNI, tapi sayang, kutu buku dengan mata minus 4 membuatnya harus mengubur mimpinya. Dia gak bisa jadi tentara. Dulu, dia pernah memaksaku untuk mewujudkan mimpinya, dan aku tentu saja menolak. Aku enggan hidup dalam mimpinya orang lain, aku ingin menjalani hidup berdasarkan pilihan yang  kubuat, bukan orang lain. Makanan sudah selesai kumasak. Menu hari ini sayur asem, paru goreng, sambel petai bikinan Daru yang baunya sanggup membuat hidung sakit dan tahu-tempe. Aku dan Daru duduk di ruang keluarga menunggu Ayah pulang. "Lo kapan sih mau nikah? Mapan udah, pacar tinggal mungut, cewe manapun pasti pada mau sama lo!" Tanyaku pada Daru. Sebenernya aku gak suka nanya ginian, gak pernah juga nanya karena menganggap itu privasinya. Tapi, kemarin Ayah bahas pengin punya cucu, jadi yaaaa... ngerti lah ya! "Gak tahu, gue belum siap aja Dek. Lo aja duluan." "Gue? Nikah? Ama kecebong?" "Hahaha lo sensian banget najis. Terus lo pikir gue nikah sama siapa? Domba garut!" Ujarnya. "Lo masih tergila-gila sama Dara yaa? Deketin bedon! Jangan cuma dipandangin. Rumahnya deket dari sini, kepleset aja nyampe, samperin! Bilang gini 'Dara, mau kah kamu mewujudkan cita-citaku?' gitu Kak, kali aja dijawab 'yes Mas Daru!'" Kataku. "Cita-cita? Apaan emang cita-cita gue menurut otak lo yang sableng itu?" "Bikin IG rame dengan hastag DaruDaraMenujuHalal, DaruDaraMeniqa, DaruDaraSyiapMalamPertama!" "Sakit jiwa emang lo!" "Tapi mau kan??" Ledekku, kali ini Daru terdiam. Suara Ayah pulang mengintrupsi ledekanku selanjutnya. Kami langsung bangkit dan menyambut Ayah. Kejutan, Ayah gak datang sendiri, tapi bertiga sama Hilmi anak tetangga sebelah dan satu lagi yang sedari tadi kami bincangkan, Dara. Speak of the devil! "Tadi Ayah ketemu Dara sama Hilmi di depan, Ayah ajak aja sekalian." Kata Ayah, Kak Daru mengangguk canggung dan aku tersenyum, sesekali menyikut rusuknya yang dibalas dengan menginjak kakiku. "Udah makan deh yuk! Kak Daru udah masak spesial loh... buat Dara!" Kataku dengan nada becanda, Ayah langsung tersenyum, Daru memandangku dengan tatapan membunuh, Dara dan Hilmi terlihat bingung. Kami pindah ke meja makan, aku mengambil kursi tambahan karena meja makan kami kecil, dan hanya terdapat empat kursi, jadi aku mengambik kursi kayu di teras untukku duduk. "Hil gimana jadi anak SMA?" Tanyaku membuka obrolan. "Asik Kak Ardra. Tapi kesel deh, ada aja yang ngajak tawuran, ehh!" Hilmi keceplosan, ia melirik tak enak ke Ayah. Ya, sekolahan di sini itu masih banyak yang suka tawuran, itu adalah salah satu alasan kenapa Ayah memasukkanku ke boarding school, supaya aku gak terlibat tawuran antar sekolah, ataupun tawuran antar anak-anak tentara yang beda batalyon. "Sekolah kamu gak ngasih surat peringatan, Hilmi?" Tanya Ayah. "Gak ada Om, kan gak ketahuan." Ayah mengangguk mengerti lalu melanjutkan makanannya. Aku membuka obrolan kembali, kali ini nanya-nanya Dara yang lagi sibuk skripsian. "Capek kuliah mah, nikah aja Dar." Kataku sambil tersenyum. "Belum ada jodohnya, Kak Ardra." Katanya kalem. "Nyarinya jangan yang jauh-jauh, kali aja ada yang deket." Kataku, di sampingku, Daru langsung menginjak kakiku. "Yang deket? Pohon belimbing depan rumah?" Tanya Hilmi membuat kami tertawa. Selesai makan, Ayah pamit ke ruang kerjanya. Dara dan Hilmi tidak langsung pulang, kami berempat langsung menuju ruang tamu, begitu akan duduk aku langsung menarik Hilmi di sampingku, biar Daru bisa duduk berdua Dara. "Mi, pijitin!" Aku mengangkat kakiku ke pangkuannya. Bocah ini langsung menurut. "Selalu ya lo!" Seru Daru. "Mangkanya kaya gue, main sama bocah kan jadi punya anak buah! Ya gak, Mi?" "Iya Kak, Kak Ardra mah the best in town lah!" Sahut Hilmi. "Noh denger! Emang elo, buku mulu yang lo pacarin!" "Bodo! Yang penting gue gak pernah patah kaki, patah tangan, patah idung terus patah hati disaat yang bersamaan ya!" Seru Daru. Wah sial! Ini si kakak kampret kenapa bahas kondisiku saat ia menjemput aku di klinik? "Ohh jadi sebulan kemarin di gips tangan sama kakinya patah kak?" Tanya Dara, dia mulai ikut obrolan. "Iye Dar. Dihajar sama mantan calon mertua! Udah cuma calon, eh sekarang jadi mantan. Kasian ya?" Seru Daru. Ini anak satu kalo ledekin suka pengin puas, awas aja, tunggu pembalasanku. "Yang mana kak yang patah?" Tanya Hilmi yang sedang memijiti kakiku. "Betis kiri, gak patah sih... begitulah." Sahutku. Hilmi langsung ber-ohhhh ria. "Tapi mending ah, Kak Ardra mah punya sejarah. Kak Daru mana?" Tanya Dara. "Mampus lo!" Seruku. "Mending kamu baca buku sejarah dunia deh Dara, ngapain ngurusin cinta-cintaan, kamu masih kecil tau." Sahut Daru, sok kalem. "Cihhh kecil? Si Dara udah 22 kali coy! Elo aja ketuaan!  Umur 30 kok belom pacaran!" Ledek gue. "Ck! Dar, Mi. Kalian beruntung loh masing-masing jadi anak tunggal. Stress sumpah kalo punya adek macem upilnya undur-undur kaya Ardra gini. Pengin buang ke got rasanya!" "Malah asik kali Kak, punya temen berantem. Dari pada aku, berantemnya sama anak tetangga." Ujar Dara. Gue nyengir langsung. "Ciye banget kan Kak! Gue dibelain!" Kataku. Kak Daru terlihat sok gak peduli. Aku melirik ke Dara yang duduk di samping Daru, ia tersenyum. Eh tunggu, kok senyumnya mendadak manis sih?? **** TBC Thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD