Fitrah Cinta

2949 Words
Berbagai macam kata keluar selayaknya seorang calon wakil rakyat yang ingin duduk di DPR, tentu banyak janji-janji manis yang dilontarkan. Hingga banyak yang tetap duduk di kantin yang menyimak beragam orasi yang dituturkan oleh calon ketua dan wakil BEM fakultas. Biar tidak bertubrukan jadwal dan tempat dengan tim lawan, kali ini yang menjadi tempat ajang promosi adalah kantin setelah kemarin sore mereka menyasar aula dan gedung auditorium. Anne yang baru saja tiba di pintu masuk kantin, ikut menaruh perhatian pada suara-suara orasi yang penuh janji tapi tidak terlalu muluk. Menurut Anne, itu masih bisa dibuktikan. Kalau janji itu terlalu muluk, maka Anne pun akan ogah menyimak orasinya. Jadi, berhubung ini adalah janji yang sekiranya logis dipikirannya, Anne mendengar saja. Sementara Nia sudah kabur, ikut menyempil di salah satu meja kosong bersama kakak tingkat. Jihan dan Raina masih berdiri, mengantri di kasir bersama Anne. Kantin di fakultasnya mewajibkan kepada mahasiswa untuk membayar dulu makanan lalu membawa struknya ke konter-konter makanan yang ingin dibeli. Pembayaran dilakukan terpusat di kasir-kasir yang tersedia dan dibayar dengan kartu mahasiswa yang sudah terintegrasi dengan tap cash alias non tunai. Ketika sudah memberikan struk makanan kepada penjual, makanan akan disiapkan dan dibawa oleh mahasiswa berdasar nomor antrian kalau pembelinya banyak. Makanan diambil sendiri oleh mahasiswa di konter makanan untuk dibawa ke meja makan. Usai makan pun, mahasiswa juga yang membawa tempat makanannya menuju meja tempat cuci piring. Yang mencuci tentu petugas pencuci piring. Ah ya, tentu saja para penjual di sini dilengkapi peralatan makan yang higienis dan sanitasi baik pada diri pribadi penjual maupun tempatnya. Selain itu, tersedia beberapa kran dan sabun cuci tangan disudut-sudut kantin sehingga mahasiswa bisa mencuci tangan dengan mudah. Kini Anne sudah duduk bergabung dengan teman-teman sejurusannya sambil membawa sepiring sate kambing dan lontong. Tak lupa, ia mencuci tangan dan berdoa sebelum makan. Sampai saat.... "Perkenalkan teman-teman di sini, saya Hamas, Kedokteran UI. Mungkin banyak yang belum mengenal saya. Di sini saya akan....." Anne terbatuk-batuk mendengarnya. Kaget begitu mendengar suara dan nama itu. Sementara lelaki itu terus berbicara serius di depan sana sambil memperkenalkan diri. Anne tentu kaget. Tak menyangka kalau lelaki yang beberapa kali berhadapan dengannya adalah calon ketua BEM di fakultasnya. Jihan menyodorinya botol minuman miliknya yang telah diisi ulang dengan air di dekat ruang kelas tadi. Ia segera meneguknya dengan cepat-cepat lantas mengerjab-erjab. Matanya masih perlu memastikan kalau ia tak salah lihat. Telinganya juga perlu memastikan kalau ia tak salah mendengar namanya. "Hamas?" lontarnya tanpa sadar. Hal yang membuat Jihan menoleh. Perempuan itu satu-satunya yang mendengar celetukan Anne barusan. Karena yang lain sibuk terpesona oleh tampang ganteng milik Hamas. Bahkan Nia melupakan niatnya untuk makan di sini demi menyimak wajah tampan itu. Padahal tadi, gadis itu yang berteriak-teriak agar mereka segera berangkat ke kantin. "Kenapa Ann?" Anne menggeleng. Ia buru-buru menyuapi lontong agar masuk dengan cepat ke dalam mulutnya daripada dicurigai. "Kok gue baru liat ya?" celetuknya lagi pada diri sendiri. Jihan kembali menatapnya lantas terkekeh kecil. Gadis itu menyenggol lengannya. "Lu ke mana aja? Dari kemarin-kemarin juga si Nia sama Raina itu ngomongin kak Hamas, Ann," tutur Jihan sambil geleng-geleng kepala. Kadang Anne bukannya kudet alias kurang update tapi ia memang kurang perduli pada hal-hal semacam itu. Yah baginya itu sesuatu yang tak penting. Toh, ada banyak hal penting di dalam kehidupan Anne. Misalnya, hapalan Qurannya yang masih mentok karena terlalu sibuk mengurus kuliah. Ah, kadang Anne silaf sih. Memang susah menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. "Sekarang tuh, orangnya di depan." Anne berdeham, ia mencoba mendongak dan melihat sosok Hamas di depan sana. Lelaki itu masih dengan serius berorasi. Dalam hati, Anne memuji yang disambung dengan istigfar. Ya Allah, dosa gak sih kalau Ann bilang dia ganteng banget? @@@ Anne gak pernah merasa seperti ini sebelumnya, maksudnya tertarik pada seorang lelaki. Meski di SMA-nya dulu banyak stok lelaki ganteng, tapi belum ada yang membuatnya terpikat. Jangan kan terpikat, melirik pun tidak. Mungkin saat itu, Anne hanya berpikir tentang jurusan apa yang akan diambilnya saat lulus SMA nanti. Ia sibuk memikirkan masa depannya sembari sibuk menjadi pembicara di berbagai seminar muslimah. Hebatnya Anne diusia muda, ia meang sudah cukup banyak dikenal. Meski bukan yang dikenal-kenal amat. Mungkin ia harus berterima kasih pada wajah cantik yang selalu membaut cetar di hari pertama masuk sekolah. Begitu pula yang terjadi di masa kuliahnya. Saat masuk kuliah kini, di tahun pertama, namanya melambung sebagai gadis paling cantik diangkatannya. Tapi ia malah sibuk menyusun rencana dan target semasa kuliah. Entah menjadi bagian dari berbagai organisasi kampus, mapres fakultas atau rencana magang di luar kegiatan kampus. Mana ia peduli denhmgan kepopuleran dan kecantikan itu. Di tahun kedua ini, ia sudah mulai merealisasikannya satu per satu. Ia sudah melamar menjadi anggota BEM meski belum diumumkan karena pemilihan ketuanya saja baru akan dilakukan dua minggu lagi. Utuk mapres, ia sedang mempersiapkan diri meski baru bisa ikut di tahun depan. Untuk magang, sudah beres sejak sebulan lalu karena koneksi keluarga. Kini ia tinggal menjalani semuanya dan mengatur jadwal sebisanya. Biar tidak ada yang terbengkalai. Lalu tiba-tiba urusan asmara ini merecokinya? Awalnya, ia hanya kagum pada suara ngajinya. Pertama, karena mengingatkan Anne pada Ando. Kedua, ah seharusnya menjadi yang pertama tapi ya sudah lah. Kedua, lelaki itu mengingatkannya pada Allah melalui ayat yang dilantunkannya. Gimana? Kece gak? Ketiga...sumfah Anne gak lihat tampang meski ia terpesona saat melihat lelaki itu memakai sepatu di depan mushola dengan wajah yang basah dengan air mata. Menurutnya, selain bekas wudhu, wajah itu terlihat sangat tampan karena air mata yang mengingat pada Tuhannya. Astagfirullah.... Anne kembali ber-istigfar. Ia bahkan tak mengedip saat Raina yang duduk di depannya, dengan jahil, mengulurkan tangan, meraba-raba penglihatan Anne yang fokus ke depan. "Ann! Mau sampe kapan di sini?" tanya Raina sambil terkekeh-kekeh. Anne tersadar lantas terbatuk-batuk ketika menyadari bahwa lelaki yang ia kira masih berorasi di depan sana kini malah sudah duduk santai di depan mejanya. Bahkan lelaki ganteng itu duduk menghadap ke arahnya sambil tersenyum-senyum kecil menanggapi obrolan sahabatnya yang duduk membelakangi Anne. Anne segera berdiri dari bangkunya. Ia akhirnya tersadar kalau sedari tadi terlalu asyik sendiri termenung sambil menghabiskan makanannya. Lalu ia segera menyusul sahabat-sahabatnya yang sudah berjalan jauh sampai.... "Ann! Tasnya ketinggalan!" teriak perempuan yang merupakan salah satu teman organisasi Anne yang duduk di meja sebelah mereka. Anne meringis sambil tertawa kecil. Sahabatnya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Ia segera balik badan dan mengambil tasnya. Saat ia menyambar tasnya, saat itu lah ponselnya jatuh ke lantai yang mengundang banyak mata menatap. Termasuk lelaki yang sedari tadi asyik mengobrol dengan para sahabatnya. "Ya ampun, Ann! Gak bisa apa gak ceroboh sehari aja?" omel Jihan yang sudah datang mendekat dan membantunya memberesi ponselnya yang tercerai berai. Ponsel tua yang ia miliki sejak SMA dan masih bertahan hingga kini sepertinya akan pensiun. Bahkan sebelum jatuh pun, sebetulnya ponsel itu sudah sekarat. Daddy-nya bukannya pelit sehingga tidak memberikan Anne uang untuk membeli ponsel baru. Tapi Anne yang malas membeli ponsel baru. Tapi kini, bahkan ponsel itu tak mau menyala. Memang sudah waktunya padahal Anne malas sekali menggantinya dengan yang baru. Wayan yang tersadar kalau tatapan sahabatnya teralihkan, iseng menoel bahunya kemudian terkekeh kecil saat dipelototi. Sementara Anne sudah grasa-grusu sibuk memasang casing ponselnya yang lepas. Yaah....kalau begini ia akan merayu daddy-nya untuk membeli ponsel baru. "Yaah...gak mau nyala lagi," tuturnya usai percobaan ketiga. Jihan mengambil alih ponselnya dan mencoba menyalakannya. Tapi sama. Tidak mau menyala sama sekali. "Udah heh! Beli baru aja lah," tutur Jihan yang geleng-geleng karena Anne merebut ponsel itu dari tangannya untuk mencoba menyalakannya kembali. "Lu nyimpen nomer bokap gue kan, Ji?" "Gak cuma bokap, nyokap lu sampe kakak ipar lu ada semua!" tutur Jihan yang membuat Anne terkekeh. Maklum lah, ia kan bukan tipe yang selalu stay diponsel. Jadi, keluarganya malah lebih sering menghubungi Jihan kalau ia susah dihubungi. "Buruan! Entar kita ketinggalan kelas lagi," tuturnya padahal masih ada lima menit sebelum jadwal kuliah dimulai kembali. Tapi Anne terpaksa berlari terburu-buru mengejar langkahnya. Ia hampir tersandung dengan batu andai Jihan tak segera memegang tangannya. Hamas yang memerhatikan sedari tadi, tersenyum kecil. "Si Jihan kenal tuh, temennya keknya," tutur Wayan saat dua perempuan itu sudah keluar dari kantin. Ia juga tak mengenal Anne bukan karena Anne jarang terlihat. Tapi, Wayan juga ikut exchange program sama seperti sahabatnya. Kalau Jihan sih ia kenal, baru kemarin kenal sih lebih tepatnya. Karena ternyata, gadis itu tetangga depan apartemennya. "Mau kenalan gak? Mumpung orangnya--" Hamas memukul bahunya lantas beranjak dari bangku. Wayan terkekeh. Helah, sahabatnya ini. Bilang aja kalau mau kenalan tapi pura-pura malu! Hahaha!Ah....biar jatuh cinta, Hamas tahu kok fitrahnya. Karena cinta itu kan suci jadi ia tak mau merusaknya dengan cara yang tidak benar menurut-Nya. Uhuy! @@@ "Hujan asam," gumam Anne. Ia hanya sok tahu sebenarnya. Yeah, gegara melihat hujan yang turun di ibu kota begini sambil menunggu daddy dan mommy-nya yang sedang dalam perjalanan menjemputnya. Orangtuanya kan baru pulang dari Tangerang tapi mampir dulu ke kampusnya. "Hujan asam dapat terjadi secara alami diakibatkan oleh semburan gunung berapi dan proses biologis dalam laut, rawa, dan tanah..." Seseorang yang entah dari mana tiba-tiba muncul dan ada di sebelahnya. Berdiri dan seolah menemaninya menunggui hujan di lobi fakultas. Anne menoleh dan kaget dalam satu waktu. Kejadian ganjil lainnya adalah lobi fakultas hari ini begitu sepi. Mungkin sudah menjelang magrib? Tapi ah....masih lima puluh menit lagi azan magrib berkumandang. Lalu? Kok sepi? Mungkin sudah pulang, jawab hati kecil Anne. Kenapa lelaki itu bisa di sini maksudnya. Aaaah, Anne hampir menepuk keningnya kalau tak ingat ada lelaki ini. Ia tak mau dikira gadis aneh yang suka berkelakuan aneh juga walau juga cantik. Hihihi. Abaikan pikirannya yang mulai absurd jika berhubungan dengan lelaki ini. "Namun penyebab hujan asam yang terbesar adalah aktivitas di sekitar lingkungan yang dilakukan oleh manusia misalnya aktivitas industri, emisi kendaraan, pabrik pengolahan pertanian, pertanian itu sendiri, peternakan dan lainnya. Gas buangan yang dihasilkan dalam aktivitas-aktivitas tersebut akan terbawa angin di atmosfer sebelum berubah menjadi asam." Anne berdeham. Ia tak meminta satu orang pun untuk bercerita proses terjadinya hujan asam. Ia juga tak perduli. Ia hanya sering mendengar karena hal itu memang sering dibicarakan bukan? Dan lagi, Anne bukan anak lingkungan. Ia anak kedokteran. Oh ayo lah, lelaki ini. Bagaimana jika Anne menawarinya untuk berbicara hal lain? Tentang cinta misalnya? Hihihi. Kalau sedang sendiri, Anne mungkin sudah terkikik-kikik geli dengan pikiran centilnya. Dan ia baru sadar jika memiliki sisi itu. Ia pikir, hanya Adel yang memiliki. Aarrgh, kenapa ia sering kali membicarakan sepupu nakalnya yang satu itu di dalam kepalanya? Ooh mungkin karena gadis kecil itu sering kali menganggunya akhir-akhir ini. "Anne Fahira Adhiyaksa," tuturnya yang membuat Anne menoleh. Ia kaget karena lelaki ini tahu namanya. Nama lengkap pula. "Benar?" lanjutnya dengan tatapan lurus ke depan. Sejak awal kemunculannya pun, ia tak sedikit pun menatap Anne. Bahkan cenderung menghindar. Bukannya tidak sopan. Tapi ia hanya berusaha menjaga pandangannya agar tak dikelabui setan walau kadang terlambat. Lantas bagaimana ia bisa tiba di sini? Hihihi. Tentu saja karena melihat gadis ini sendiri berdiri di sini. Ia baru saja kalah dengan setan rupanya. "Aku lihat namamu sebagai salah satu pembuat kliping berita Palestina di mading." Anne tak tahu harus menanggapinya dengan seperti apa. Jadi ia hanya diam sambil menyimpul senyum dalam-dalam. "Hamas Muttaqi Zulfiqar," lanjutnya lagi. Anne kembali menoleh. Ia kan gak bertanya balik? Sementara lelaki itu berdeham dengan tatapan yang dalam menembus hujan. Walau langit gelap dan cahaya lampu lobi cukup terang, percaya lah, bagi Anne lelaki itu jauh lebih meneranginya. Eeaaak! As-ta-ga, Anne, apa yang dipikirkannya barusan? "Tahu apa arti Hamas?" tanyanya yang kemudian ia jawab sendiri. "Antusias. Muttaqi..," ia mengambil nafas. "Yang takut pada Allah. Dan Zulfiqar..." "Nama pedang Ali bin Abi Thalib?" sambung Anne yang baru saja bersuara. Lelaki itu tersenyum kecil. Anne benar. Itu nama Ayahnya. Tapi Ayahnya tidak seperti pedang yang keren itu. "Kalau Anne?" tanyanya dan itu terdengar sangat aneh bagi Anne. Ia terbiasa mendengar orang-orang menyebut namanya tanpa 'e' jadi hanya 'Ann' meski memang namanya Anne. Tapi di rumah dan keluarga besarnya juga begitu. Mommy-nya juga bilang kalau cara menyebut namanya memang tanpa 'e' meski ada 'e'-nya. Aneh? Anne berpikir malah keren. "Bertanya orangnya atau artinya?" tanya Anne yang entah kenapa jadi sok ramah pada lelaki dan jangan bilang kalau ia mulai genit sekarang... Lelaki itu terkekeh. "Unik karena dari semua angkatan cuma kamu yang punya nama itu." "Memuji?" Lelaki itu terkekeh lagi. Ia menggeleng lemah. "Orangtuamu pandai membuat semua orang mengingat namamu." Anne mengangguk-angguk dengan sedikit pongah. Ia hanya bercanda dengan sikapnya sekaligus geli. Omong-omong sejak kapan Anne yang kadang judes, jutek bin serius ini mendadak konyol seperti ini? "Jadi?" "Kesimpulan itu hanya membuat sebuah akhir dari tulisan," tutur lelaki itu. Kata lainnya, ia tak mau mengakhiri obrolan absurd ini dengan Anne. Tapi Anne memaknainya sebagai lelaki aneh yang punya cara tersendiri untuk menjadi magnet bagi Anne. Atau karena Anne aneh juga? Tapi kalau Anne aneh, diumpamakan sebagai magnet maka mungkin akan saling tolak-menolak? Ya kan? "Oh ya, aku Ann. Tadi sudah tahu namaku. Tapi angkatanku belum kan?" tanyanya lantas berlanjut, "dua tahun dibawahmu." Lelaki itu tersenyum simpul. Simpulannya membuat lesung pipi yang tak begitu terlihat itu terbingkai sempurna dimata Anne. Omong-omong, Anne jadi lebih sering ber-istigfar gegara ketemu lelaki ini. Tapi bagus bukan? Itu tandanya Anne semakin rajin mengingat Allah. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk. Agak malu menanyakan hal itu. "Hah?" Anne tentu bingung dengan maksud dari pertanyaannya. Sementara Hamas berdeham. "Maksudku, kejadian waktu di depan apartemen yang nyaris menabrakmu." Aaaah. Anne baru ingat. Ia bahkan hampir lupa dengan kejadian itu. "Kalau apa-apa, aku tidak akan di sini sekarang." Hamas tersenyum simpul. Jantungnya semakin keras mendangdut. Ia takut, detaknya terdengar oleh Anne yang berdiri tak jauh darinya. Tapi tenang, perlahan suara detak jantungnya malah tersamarkan oleh suara hujan yang kini kian menderas. Anne hanya termangu menatap langit yang begitu gelap itu. Walau ia tak merasa gelap karena ada.... "Hujan semakin lebat. Pulang naik apa?" tanyanya mengalihkan pertanyaan. Kali ini hendak menatap Anne tapi Anne malah melambaikan tangan ke arah mommy-nya yang baru datang sambil membawa payung. Ia tersenyum senang melihat kemunculan mommy-nya. Ia ingi beristirahat. Beraktivitas seharian di kampus tanpa jeda itu memang melelahkan. Walau disaat seperti ini, ia mulai merasa senang dan....ah ya, kehadiran lelaki ini. "Mom!" "Daddy-mu parkir di depan. Parkiran fakultas sudah penuh jadi gak bisa parkir di dalam," tuturnya sambil menyampirkan payung lantas baru tersadar kalau ada lelaki di dekat Anne. "Eh, mommy ganggu?" tanya Sara yang membuat Anne memutar bola matanya. Habis ini, ia pasti jadi bahan ledekan. Mommy-nya selalu seperti ini tiap ada lelaki yang mencoba mendekatinya. Walau akhirnya, tak akan pernah melangkah jauh menilik daddy-nya yang entah kenapa begitu galak pada lelaki-lelaki itu. "Assalamualaikum, Tante," dan Hamas langsung mengulurkan tangan. Sara menyambutnya dengan senyuman yang mengembang. Anne berdesis dalam hati. Ia tahu itu wajah menggoda milik mommy-nya dan tentu saja sedang menggodanya. "Saya Hamas, kakak tingkatnya Ann, cuma berdiri di sini menunggui hujan, Tante," lanjutnya yang membuat Sara terkekeh. Omong-omong Sara suka dengan cara bicaranya yang ramah dan cara berkenalannya yang unik. Juga tampangnya eeeh! Sara menjawab salamnya lantas membiarkan lelaki itu menyiumi tangannya. Baru pertama kali bertemu, tapi sudah memikat hati Sara. Kalau Feri sampai tahu, anak lelaki ini mungkin akan tamat riwayatnya hari ini. Apalagi dengan beraninya berdiri di sebelah anak gadisnya. Hihihi! "Jadi, hanya menunggui bukan menemani?" ledek Sara yang disambut pelototan anak gadisnya. "Mom!" Sara terkekeh begitu pula dengan Hamas. Ah, ia suka dengan cara ibunya Anne bercanda. Tampak ramah dan anggun dalam satu waktu. Dan Hamas menyadari wajah bule itu. Aaah, cantik sekali seperti anaknya yang blasteran walau ibunya ini benar-benar versi yang agak berbeda. Mungkin karena gen Anne merupakan campuran gen antara Sara dan Feri. "Pamit, Kak," tutur Anne kemudian. Cepat-cepat ia gandeng mommy-nya dan melebarkan payungnya serta membawa mommy-nya menuju mobil daddy-nya sebelum urusan dengan Hamas menjadi lebih panjang. Kadang mommy-nya ini terlalu kepo. Hamas bisa diwawancarai Sara sampai satu minggu dan itu juga belum tentu selesai. "Hati-hati, nak. Jangan terlalu sering menunggui hujan," pesan Sara sebelum balik badan dan itu membuat Hamas terkekeh kecil. Sara terkekeh. "Padahal mom belum bertanya banyak loh," tuturnya dan mulai mengajak Anne berjalan santai. Sara janji tak akan melangkah balik ke belakang untuk menggodanya dan Hamas tentu saja. Ia juga ingin pulang. Dan lagi, suaminya sudah menunggu mereka di dalam mobil. "Anaknya ganteng, mom suka!" "Mom!" Sara terkikik-kikik. "Sepertinya juga baik dan sopan!" "Mom!" Kali ini Sara tertawa lepas. "Menyukai lelaki itu normal, Ann. Bukan sebuah dosa. Lagi pula, Ann sudah besar sekarang." Anaknya hanya mendengus. Sara malah memeluknya dengan sayang kemudian melambaikan tangan ke arah mobil. Feri sudah menunggu di sana. "Bagaimana kalau mommy beritahu daddy-mu soal ini?" "Mom!" Suara Anne makin naik. Sara tergelak. Ia senang sekali menggoda Anne. "Mom hanya bercanda. Lagi pula, mom hanya khawatir kalau kamu akan menjomblo lama gegara jodoh seperti abang sepupumu itu. Hanya karena daddy-mu yang lebay itu." Anne hanya mengerucutkan bibir. Ia tidak akan separah abang sepupunya yang satu itu tentu saja. Urusan jodoh ini pun masih lama. Ia punya cita-cita lain yang perlu ia gapai bukan sekedar mengurus percintaan seperti ini. Untuk sementara ini sih begini. Tidak tahu ke depannya nanti akan bagaimana. Yang jelas, manusia hanya dapat berencana tapi segala sesuatu yang terjadi itu, Allah lah yang menentukan. Sementara Hamas hanya mengamati dua perempuan yang pergi meninggalkannya itu dengan senyuman tipis sambil menggaruk tengkuk. Tiba-tiba ia merasa malu. Aaah, urusan asmara ini. Ia tidak bisa menyangkalnya jika hatinya tiba-tiba terpaut pada gadis blasteran itu. Bukan cantiknya yang menjadi utama. Juga panjang jilbabnya. Tapi ini adalah murni ketulusan hati yang ingin mencintai. Karena ia tak pernah seperti ini sebelumnya pada perempuan mana pun. Perempuan itu satu-satunya yang membuatnya berpaling dan dalam sekejab, membuatnya kembali merancang ulang perencanaan masa depan yang ingin ia raih. Boleh kah, ia memasukan gadis itu menjadi salah satu bagian dari kehidupannya di masa depan? Menjadi bidadari surganya, misalnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD