Bagian 2. Tsurayya Parawansa

1590 Words
Kecambah kecil mulai tumbuh menjadi sebatang pohon dan terus bertumbuh hingga tinggi menjulang. Cabangnya merebak ke segala arah, daunnya rindang dan hijau. Saat angin bertiup, satu-satu daun keemasan meninggalkan rantingnya dan memenuhi kesabaran tanah dalam menanti. Di bawah sana, jauh di dalam tanah, akar pohon terus menjalar, semakin jauh, sampai tersimpul dengan akar pohon lain. Keduanya saling terhubung, menopang kehidupan di atas tanah meski tersembunyi. Di sini, di bawah pohon rindang dengan batang yang seperti dililit akar, aku sedang bermain ayunan seorang diri. Derit ayunan terdengar mistis setiap bergerak, hawa dingin malam membuatku semakin merasa sendiri. "Sedang apa di sini sendirian?" Aku tidak tahu dari mana dia berasal, tiba-tiba di ayunan sebelah ada seorang pria tua yang duduk dan ikut bermain. Aku tidak menjawab, bibirku terlalu kaku untuk bisa bergerak. Bukan karena takut, aku hanya sedang malas berbicara dengan orang lain. "Siapa namamu?" Pria tua itu kembali bertanya, tapi aku masih enggan menjawab, hanya mengalihkan pandangan ke langit. Di sana, ada bintang-bintang yang tidak pernah gagal membuatku terpesona dengan keindahannya. "Tsurayya," ucapnya keras kepala. Meski aku tidak pernah menanggapi, tapi dia terus saja berbicara. Kali ini aku menghentikan gerakan mengayun, membuat suasana sesaat hening tanpa derit ayunan. Mataku beralih pada sosok di sebelah. Pria tua itu memiliki wajah yang membuatku bertanya-tanya tentang sosok ayah. Hari ini, satu-satunya keluarga yang kumiliki, meninggalkanku di tempat asing. Melepaskan genggaman jemari kecil yang berusaha menahannya, perempuan yang selalu kupanggil mama selama sembilan tahun tetap pergi tanpa menoleh. "Apa itu?" tanyaku pada pria tua yang kini tersenyum lembut. Tangannya terulur, menyentuh puncak kepalaku dan membelainya sayang. "Bintang-bintang itu, namanya Tsurayya. Kamu tidak tahu?" Aku menggeleng pelan, lalu kembali melihat bintang yang masih tetap cantik di atas sana. "Itu terdengar cantik, seperti wujudnya," ucapku pelan. Aku memejamkan mata, masih dalam posisi menengadah. Sudut mataku terasa panas dan butiran hangat menetes perlahan. Rasanya sesak ketika mengingat bagaimana mama memanggilku selama ini. Bocah sialan, hanya itu panggilan yang bisa kuingat. Aku tidak tahu di mana letak salahku, tapi mama terus marah-marah setiap hari. Sampai hari ini, sikapnya berubah sangat manis. Mama mengajakku pergi membeli baju, dan makan bakso, lalu berakhir di sini. Sebuah rumah dengan banyak anak-anak, yang akhirnya membuatku sadar, bahwa diriku baru saja dibuang. "Tsurayya nama yang cantik, sama seperti kamu," ucap pria tua itu yang membuat dadaku semakin sesak. Cantik? Apakah itu sebuah lelucon? Kalau iya, leluconnya benar-benar payah. Kalau aku cantik, anak-anak di sekitar rumah tidak akan menjauhiku, dan aku pasti punya teman di sekolah, 'kan? Tidak, aku sama sekali tidak punya teman. Bahkan guru di sekolah juga memanggilku dengan nama Bocah Sialan karena mama yang memberitahukan itu pada mereka. "Bocah sialan." Aku mengucapkannya dengan sangat lirih. "Maksud kamu?" Aku tersenyum getir sambil mengusap air mata, lalu melihat ke arah pria tua yang kini memandangku dengan wajah penasaran. "Orang-orang selalu memanggilku itu. Apa aku bisa menyebutkannya sebagai namaku di depan Kakek?" Aku pikir dia akan tertawa, seperti bocah laki-laki yang pernah kutemui beberapa hari lalu. Ternyata tidak, pria tua itu malah tersenyum lembut. "Tidak, itu bukan namamu. Mulai sekarang, kamu harus memberitahukan pada orang-orang bahwa namamu adalah Tsurayya." "Tsurayya?" Aku kembali melihat bintang-bintang di atas sana. Seperti ada tiga titik yang saling terhubung dan membentuk sebuah garis. "Apa mereka tidak akan marah kalau aku meminjam nama mereka?" "Tidak akan, asal kamu juga bisa bersinar seperti mereka." Pria itu merogoh sesuatu dari saku jas. Sebuah pena hitam dengan corak keemasan, dan terlihat bercahaya di bawah langit malam. "Kamu bisa menulis?" Aku mengangguk. "Bagus, mulai sekarang, kamu tidak boleh mengatakan bahwa dirimu bocah sialan lagi. Kamu adalah Tsurayya, kamu cantik dan bersinar, juga bisa membuat orang lain percaya bahwa kamu adalah keajaiban." Dia mengulurkan pena itu dan menyerahkannya padaku. Aku semakin merasa kalau pria tua ini memiliki masalah otak. Leluconnya semakin tidak masuk akal. Keajaiban? Keajaiban macam apa yang membuat orang lain lari saat melihatku? Aku mengambil pena itu lalu memegangnya menggunakan tangan kiri, kemudian menempelkan punggung tangan kananku ke dahinya dan dahiku bergantian. "Kakek, sepertinya kakek sakit, ya? Omongan Kakek mulai melantur. Lebih baik Kakek masuk ke rumah itu dan pergi tidur." Aku menunjukkan rumah yang ada di belakang kami, tapi pria tua itu menggeleng saat pandangannya mengikuti telunjukku. "Aku tidak tinggal di sana." "Lalu?" Dia hanya tersenyum dan menepuk puncak kepalaku dua kali. "Mulai sekarang belajarlah menulis. Tuliskan hal-hal baik untuk orang di sekitarmu menggunakan pena itu, nanti kamu akan menemukan keajaiban." Aku melihat pena di tangan, lalu kembali pada wajah si pria tua. Dia masih menampilkan sebuah senyum yang membuat kepalaku mengangguk tanpa menunggu perintah dari otak. Pria tua itu berdiri dan hendak pergi, tapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbicara tanpa menoleh. "Tsurayya, ingat, mulai hari ini namamu adalah Tsurayya. Tsurayya Parawansa. Kamu harus mengingat itu seumur hidup." Kalimatnya seperti sihir yang membuat otakku benar-benar terpengaruh untuk mengingatnya. Sejak delapan belas tahun lalu, Tsurayya Parawansa menjadi identitas baru untukku. Satu hal lagi yang membuatku semakin takjub, ketika aku menuliskan sesuatu untuk orang lain dengan pena itu, maka dengan sangat ajaib, semuanya benar-benar terjadi. Aku mengayun-ayunkan pena di tangan, menyandarkan punggung dengan kedua kaki naik ke kursi yang kududuki. Aku masih memikirkan alur yang tepat untuk membuat kisah hidup Gibran. Kepalaku terasa berat ketika mengingat berkas yang diberikan Nyonya Diana. "Tidak pernah punya pacar dan selalu menolak untuk menikah. Ya, Tuhan ... apa dia memiliki penyimpangan seksual? Bagaimana bisa seorang pria tiga puluh empat tahun tidak pernah pacaran?" Aku mengacak rambut frustrasi. "Kamu sedang membicarakan diri sendiri, ya?" Airin meletakkan novel yang sedang dibacanya. Dia berdiri di dekatku dan berbicara dengan nada mengejek. Mulutnya seperti tidak punya filter untuk menyaring omongan ketika bicara denganku. "Kamu sedang membicarakan diri sendiri, ya?" Aku mengulangi kalimatnya nada menye-menye dan bibir monyong sana-sini untuk mengejek. "Aku kan masih dua puluh tujuh tahun, dan aku punya sembilan plus dua puluh tiga pacar yang jauh di sana." Airin melayangkan novel The Secret of Venus yang lumayan tebal itu ke kepalaku. "Yak! Kenapa kamu memukulku, Mak Lampir!" teriakku sambil mengusap puncak kepala yang terasa sakit. "Biar kamu kembali ke dunia nyata. Sudah tua masih saja sibuk fangirling. Kamu pikir EXO sama NCT-mu itu akan peduli kalau kamu mati sebagai jomblo abadi?" Ya, Tuhan ... sungguh, aku ingin sekali menyumpal mulut pedasnya itu dengan kaos kaki yang belum dicuci. Dia perlu diberi pelajaran sepertinya. Aku menyeringai ketika sebuah ide muncul di kepala. Tanganku menowel lengannya yang hanya mengenakan dress kuning gading tanpa lengan. "Ah, kamu ini, kenapa pura-pura tidak peka begini? Aku tidak punya pacar kan karena ...." Mataku mengedip cepat sambil memamerkan senyum menggoda. "Eh, apa-apaan kamu, Ayy? Kenapa mendadak jadi seperti ini?" "Tidak mendadak, kok, Rin. Kita sudah cukup lama saling mengenal, 'kan? Kamu juga sering menginap di rumahku yang kamu bilang mirip kandang tikus ini. Apa kamu tidak bisa merasakan sesuatu di antara kita?" Airin terus mundur seiring langkahku yang semakin mendekat. Wajahnya sangat lucu saat sedang ketakutan begitu. "Ayya! Berani mendekat kubunuh kamu!" Bentakannya membuatku tidak bisa menahan tawa. "Hahaaa! Dasar Mak Lampir! Bahkan kalau aku seorang pria sekalipun, aku akan berpikir tujuh puluh kali untuk bisa menyukai gadis bermulut wasabi sepertimu." Aku tertawa sampai memegangi perut saking lucunya wajah Airin. "Yak! Ayyaaa!" Gadis itu mengambil bantal dan menyerangku dengan pukulan bertubi-tubi. Bukan hanya mulutnya yang pedas seperti wasabi, tapi pukulannya juga sangat kuat. Sungguh, followers instagramnya yang bejibun itu pasti tidak akan menyangka, gadis yang mereka puja-puja seperti peri itu tidak lebih dari Mak Lampir berwajah imut dengan kelakuan bar-bar dan tidak berperi ke-Tsurayya-an. Dering ponsel menginterupsi pertarungan bantal kami. Aku menghentikan pergerakan tangan Airin dan mengangkat telepon dengan napas yang masih belum teratur. "Hallo, ada apa, Nyonya Diana?" ''Nona Turayya, apa kamu sedang b******a siang hari begini, kenapa terengah-engah begitu?'' Ya Tuhan, sungguh malang nasibku, kenapa aku selalu dipertemukan dengan makhluk-makhluk cantik yang tidak berperi seperti Airin dan Nyonya Diana ini? Menyebalkan! "Ah, Nyonya, kalau Anda tahu seharusnya menunggu setidaknya sepuluh menit lagi untuk menelepon setelah aku menyelesaikannya," jawabku tak kalah sinis. Aku adalah tipe orang yang tidak perlu menunggu lama untuk membalas apa yang dilakukan orang lain. Aku tidak sesabar itu. ''Woaaah! Anak jaman sekarang memang tidak punya adab, kenapa bicara kasar seperti itu dengan orang tua?" Aku bisa membayangkan bagaimana wajah kesal perempuan itu di ujung sana, dengan alis mirip celurit dan mata kucing. "Lupakan. Ada apa, Nyonya?" ''Ada apa katamu? Apa kamu lupa dengan tugasmu? Kamu harus menulis kisah untuk putraku. Kenapa dia masih sama saja seperti kemarin?'' Oh, Tuhan ... sungguh, dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, kenapa harus orang-orang tak sabaran seperti Nyonya Diana yang mendatangiku sebagai klien? "Nyonya, aku membutuhkan waktu untuk menuliskan kisah yang tepat, tapi jika Nyonya sudah tidak sabar, Nyonya bisa datang kemari dan mengambil kembali uang Nyonya." Itu hanya omong kosong, sungguh. Aku sudah memberikan uangnya pada ibu panti tempat tinggalku dulu untuk biaya sekolah anak-anak. Kalau sampai Nyonya Diana benar-benar datang, aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikan uang segepok itu. ''Ti-tidak, Nona ... bu-bukan begitu maksudku, tapi bukankah sebaiknya Nona sudah mulai melakukan riset seperti yang Nona katakan kemarin?'' Aku mengembuskan napas lega ketika mendengar kalimatnya yang terbata. "Tentu, aku pasti akan segera melakukannya. Nyonya tenang saja. Duduk dan tunggu dengan sabar, sebentar lagi, Nyonya pasti akan bertemu dengan menantu paling diidamkan oleh seluruh mertua di dunia ini." Aku segera menutup panggilan setelah mengucapkannya. Benar kata seseorang di masa lalu, dia pernah mengatakan padaku, apa pun masalah yang ada, kita hanya perlu menghadapinya dengan berani dan percaya diri. Dengan begitu, semesta pasti akan memberikan kekuatan dan keajaibannya pada kita. Energi positif selalu datang pada orang-orang yang berpikir positif. Bukan begitu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD