DUA

1601 Words
Clarissa   Aku sudah sampai di rumah Alec, sudah hampir sebulan aku tidak mampir. Aku memencet bel dan tak berapa lama kemudian seseorang membuka pintu. “Yaa ampun, Sasa udah lama ih gak main ke sini!” Seru Ibun ketika melihatku, bundanya Alec. “Iya Bun, aku lagi asik baca buku kemaren-kemaren jadi pengen diberesin dulu.” Sahutku. “Ayo masuk!” Ajak Ibun. “Ibun sendiri? Alice mana?” Tanyaku. “Masih di kampus kayaknya.” Aku duduk di ruang keluarga rumah Alec. Entahlah aku merasa luka di hatiku terkoyak lagi sedikit. “Ibun kira kamu sibuk sama pacar baru!” “Ya ampun Bun, aku gak kepikiran buat cari pacar!” Kataku. “Kenapa Sa? Udah hampir 2 tahun Alec pergi. Ibun aja udah ikhlas!” Seru Ibun. “Aku ikhlas Bun, Alec pergi. Cuma yaa gitu, aku gak bisa lupain Alec.” Kataku. “Ibun gak minta kamu lupain anak Ibun, Sa. Ibun pengen kamu move on. Ibun gak mau hidup kamu stuck karena Alec meninggal.” Aku terdiam. Biasanya aku dan Ibun mengobrol hal yang ringan. Seputar masakan atau gossip para artis. Tapi kenapa hari ini Ibun membahas kematian Alec? Yaa Alec Prawira Hadi. Tunanganku yang meninggal hampir 2 tahun lalu, satu bulan sebelum hari pernikahan kami. Aku tak suka membahas kematiannya. Itu terlalu menyedihkan. Aku belum mau membahas hal seperti itu. “Bun, jangan bahas ini yaa.” Pintaku. Ibun mengangguk, lalu bangkit menuju dapur. Aku sudah terbiasa dengan rumah ini, karena seperti rumah keduaku. Namun sejak Alec pergi, rumah ini menjadi asing untukku. Aku ke sini karena tak mau hubunganku dengan keluarga Alec berakhir dengan kematiannya. Aku sayang pada Ibun dan Adiknya Alec: Alice. Mereka juga keluarga bagiku. Tak berapa lama Ibun kembali dengan dua gelas cokelat hangat. “Diminum, Sa!” Kata Ibun seraya duduk di sampingku. Aku meraih gelas cokelat itu lalu menyesapnya sedikit. “Sa, terakhir kamu ke rumah kapan?” Tanya Ibun. Aku tahu rumah apa yang dimaksud Ibun. Rumah yang dibeli Alec untuk kami. Rumah yang belum sempat kami tinggali bersama. “Gak tahu bun. Hampir 2 bulan kayaknya.” Jawabku. “Minggu lalu Ibun ke sana, bawa Mba Sari biar sekalian diberesin!” “Terima kasih yaa, Bun!” “Kamu kenapa gak tinggal di sana aja, Sa?” Tanya Ibu. “Itu bukan rumah aku, Bun. Aku gak bisa tinggal di situ!” Jawabku. “Itu rumah kamu sayang, Alec beli rumah itu buat kamu. Rumahnya pun atas nama kamu. Kamu berhak banget tinggal di situ!” “Alec beli rumah itu bukan buat aku, Bun. Dia beli rumah itu buat tinggal sama aku. Alec gak ada sekarang, jadi aku juga gak bisa tinggal di situ.” “Gak bisa gitu sayang. Kamu gak boleh menghindar dari semua yang berhubungan sama Alec. Tapi Ibun masih bersyukur kami mau ke sini nengok Ibun sama Alice. Kamu tau kan Ibun sayang sama kamu. Ibun udah anggep kamu anak sendiri.” “Iyaa Bun. Aku juga udah anggep Ibun itu Ibuku sendiri kok. Tapi aku masih proses Bun.” “Ibun ngerti sayaang, ngerti kalau kamu mungkin yang paling sedih Alec pergi. Tapi gak boleh gitu terus, nak. Ibun pengen kamu bahagia!” Tak terasa sebulir air mata turun kepipiku. Kenapa aku ke sini hari ini? “Aku udah pernah bahagia ko, Bun!” Yaa, saat bahagiaku itu dulu, 7 tahun bersama Alec. Mungkin cukup jika dijadikan kenangan untuk seumur hidup. “Kamu harus bahagia lagi, Sa!” Aku hanya mengangguk. Kemudian ponselku berdering.   Kinan calling...   “Sebentar, Bun.” Kataku kemudian bangkit dan mengangkat telefon.   “Kenapa, Ki?” “Lo di mana? Kumpul yuuk entar malem.” “Di rumah Alec. Sama siapa aja?” “Sama Rachel sama Dara.” “Okee, obrolin aja di group. Gue ngikut aja.” “Okee!” Kemudian aku memutus sambungannya dan kembali duduk di samping Ibun.   “Kinan, Bun.” Kataku memberitahu Ibun walau Ibun tak bertanya. Ibun tersenyum. “Kenapa emang kalo bukan Kinan? Ibu malah lebih seneng kalo kamu di-telefon cowok!” Kata Ibun menggodaku. “Aku suka kok telefonan sama Ariel!” Kataku. “Ah Ibun tau, Ariel mah sahabat kamu dari dulu. Udah nikah juga kan dia.” Aku tersenyum. “Bun aku gak bisa lama-lama yaa? Paling jam 7 aku pulang. Temen-temen ngajak main.” “Iya, Sa. Tapi makan di sini dulu yaa!” “Iyaa, Bun, siap!” Lalu aku membantu Ibun menyiapkan masakan untuk makan malam. Saat sedang memasak, Alice pulang. “Ya ampun, Kak Sasa. Kangen akuu!” katanya sambil memelukku. “Sama, kaka juga kangen!” Kataku sambil membalas pelukan Alice.   ***   Makan malam selesai, tak berapa lama aku pamit pulang, bukan pulang melainkan ke Cafe Outer Space, untuk kumpul bersama para sahabatku. Sudah ada Kinan dan Dara saat aku datang. Tak lama Rachel pun muncul. “Ini ada acara apa sih, Ki? Tumben yang ngajak kumpul lo. Bukannya gue.” Kata Dara. Lalu Kinan mengeluarkan 3 buah paper bag dari bawah meja. “Nih buat kalian!” Seru Kinan. “Apaan nih?” Tanyaku sambil meraih paperbag itu. “Bahan, Ki?” Seru Dara setelah melihat isinya. “3 bulan lagi gue nikah. Itu bahan buat kalian jadi bridesmaid gue. Yang kece yaaa!” “Anjirrrr!! Lo gak bilang apa-apa udah mau nikah aja? Kapan Armand ngelamar lo?” Tanya Rachel. “Kaga pake gitu-gituan gue. Dia langsung ngajak gue ke wedding planner hahaha.” jawab Kinan. “Gila emang lo berdua, udah setaun padahal tinggal bareng!” Kataku. “Tinggal lo Sa yang belum nikah. Mau kapan?” Tanya Kinan. “Iya sih, anak gue aja udah bisa lari masa lo nikah aja belum?” Kata Rachel. “Gak asik lo!” Seruku. Aku tahu mereka mau aku move on. Aku sudah move on. Tapi aku belum ingin mencari orang lain. Mereka-mereka ini pernah ada di saat terendah dalam hidupku. Mereka tau sakitnya aku. Dulu jangankan becanda soal nikah. Ngobrolin Alec aja mereka gak berani. “Cari pacar baru, Sa. Udah dua tahun. Alec ikhlas kalo lo punya pacar. Udeh 26 umur kita lo, paling muda  emang baru 24 tapi mau ampe kapan single?” “Nanti deh, kalo ketemu yang cocok gue gak bakal ngelak haha!” Jawabku asal.   ** **   MARCO   Pukul 3 pagi dan ponselku berdering nyaring.   Riana calling...   “Kenapa Ri?” “Anu dok, ada pasien harus operasi satu jam lagi!” “Gak ada dokter jaga?!” “Ada, cuma bukan bedah jantung, dok!” “Yaudah, saya siap-siap!” “Oke dok!” Aku langsung bangkit. Ya aku seorang dokter bedah, lebih spesifik lagi ya bagian jantung. Kapanpun ada panggilan untuk operasi dadakan, aku harus sigap. Pekerjaan ini lah yang membuatku jadi jauh dan tidak bisa menghabiskan waktu dengan anakku, Bhagas. Aku bergegas ke rumah sakit, melakukan pekerjaanku untuk membantu orang lain. Saat aku tiba tim ku sudah menyiapkan semuanya. “Udah siap semua, Ri?” Tanyaku pada Riana. “Udah dok. Tapi kantung darah lagi di ambil sama Vito.” “Oke, langsung mulai aja.” Proses pengangkatan 3 peluru dari rongga d**a korban berjalan baik. Aku menyelesaikan tugasku dengan baik. Lagi dan lagi. Sudah pukul 6 sekarang. Aku harus bergegas pulang. Aku tidak mau melewatkan waktu bersama Bhagas. Saat aku sampai rumah, aku bersyukur saat melihat mobil khusus Bhagas belum berangkat. Aku langsung masuk ke rumah dan menemukan Bhagas sedang sarapan. “Morning, Aga. Maaf yaa tadi Ayah harus operasi dulu!” kataku. Bhagas hanya mengangguk. “Hari ini ayah yang anter yaa ke sekolah!” Kataku. Bhagas langsung mengangguk antusias. Ia pun senyum. Aku membalas senyumnya. “Ayah, Miss Anna kayaknya udah gak ada di sekolah deh.” Kata Bhagas saat kami dalam perjalanan menuju sekolahnya. “Kenapa? Kok kamu bilang gitu?” “Abis dari hari Senin gak pernah keliatan, tapi pas hari Senin sama Rabu ada Miss baru yang suka temenin Aga di ruang seni.” “Siapa?” “Aga gak tahu, Yah. Tapi baik suka temenin Aga main keyboard.” “Coba nanti ayah ngobrol sama Madam Patricia yaah.” Kataku. Bhagas mengangguk.   Akulah yang meminta Madam Patricia memberi satu guru untuk mengawasi dan membimbing Bhagas. Karena Bhagas sangat pendiam dan tidak mau bergaul dengan temannya. Aku sangat senang saat tau Miss Anna yang menjadi guru wali Bhagas, karena ia seorang psikolog. Tapi selama setahun Bhagas sekolah, tidak ada perubahan sampai saat ini Bhagas sudah mulai duduk di kelas 2. Padahal dulu, saat ia pertama kali aku mengadopsinya, ia adalah anak yang ceria, aktif dan lincah, sekarang ia mau bicara banyak hanya denganku. Semua terjadi saat aku bercerai dengan Melisa. Melisa, mantan istriku. Menolak mempunyai anak dulu, hampir 2 tahun kami menikah dan ia tetap belum mau punya anak. Akhirnya aku memutuskan mengadopsi anak, tujuannya agar aku mempunyai teman, karena Melisa sangat sibuk dengan fashion show-nya atau apalah itu, ia seorang desainer baju.   Tujuan lain mengadopsi Bhagas adalah aku mengira kalau ada anak kecil di rumah Melisa akan senang. Nyatanya aku malah semakin sering bertengkar dengannya. Ia menggugat cerai tanpa alasan jelas sebulan setelah aku mengadopsi Bhagas. Sejak saat itu Bhagas pendiam. Aku membawa Bhagas ke psikolog anak agar ia bisa seperti dulu. Namun psikolog bilang kalau Bhagas trauma, ia mengalami semacam keyakinan bahwa ia tak diinginkan. Mengingat ia berasal dari panti asuhan dan saat tinggal di rumahku Melisa selalu ribut. Tapi aku selalu memperlakukannya dengan baik. Menganggapnya anak kandungku. Karenanya ia hanya mau berbicara banyak denganku. Bahkan dengan Ibu dan Adikku pun ia hanya sedikit bicara.   Aku hanya ingin Bhagas seperti anak lain. Ceria, berlarian ke sana-kemari, nakal atau apapun. Tapi ia hanya menyukai musik dan gambar. Ia sangat pandai bermain piano. Ia sangat jago melukis. Bahkan ia sering menjuarai lomba sejak TK. Aku sangat bangga padanya.   “Ayah, Aga langsung ke kelas yaa!” Serunya saat sudah sampai. “Oke, son. Ayah ke ruang Madam Patricia baru ke rumah sakit. Kalo bisa nanti siang ayah yang jemput, oke?” “Oke!” Jawabnya lalu ia lari menuju kelasnya. Aku menuju ruang kepala sekolah. Mengetuknya beberapa kali lalu membuka pintunya. “Permisi, Madam Patricia!” Sapaku. “Oh, Pak Marco. Ayo masuk!” Aku masuk dan duduk di kursi di hadapan meja Madam Patricia. “Ada apa ya, Pak Marco?” “Gini, Madam. Kata Bhagas Miss Anna udah hampir seminggu gak keliatan. Saya cuma mau memastikan. Miss Anna ke mana ya?” “Oh God. Saya lupa kasih tahu Pak Marco. Miss Anna pindah ke Kalimantan. Tapi saya tugasin guru baru kok, Miss Clarissa!” “Sorry? Miss Clarissa? Dia guru apa ya?” Tanyaku berusaha memastikan kalau Bhagas diawasi oleh orang yang tepat. “Miss Clarissa guru IPA. Dia ngajar kelas 3 dan 5.” “Guru IPA madam? Maaf tapi kalau Miss Anna yang seorang psikolog aja gak bisa deket sama Bhagas apalagi seorang guru IPA? Maaf Madam bukannya saya ingin merendahkan bahwahan Anda.” “Miss Clarissa kemarin laporan sama saya, dia bilang dia udah lumayan deket sama Bhagas.” Jawab Madam Patricia santai. “Deket gimana? Bhagas aja gak tahu namanya siapa pas saya tanya.” “Sebentar Pak Marco, saya panggil Miss Clarissa aja yaa. Biar enak ngobrol langsung.” Lalu Madam Patricia bangkit dari kursinya dan keluar ruangan. Aku tahu Madam Patricia bukan orang sembarangan, ia juga tidak akan sembarangan menugaskan orang untuk mengawasi dan membimbing anakku. Hanya saja, masa seorang guru IPA yang ditugaskan untuk mengawasi anakku? For God's sake. *** TBC                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD